[8]. Mereka mengatakan: Kami terjun dalam kancah demokrasi karena alasan darurat.
Bantahannya:
Darurat menurut Ushul yaitu: keadaan yang menimpa seorang insan berupa
kesulitan bahaya dan kepayahan/kesempitan, yang dikhawatirkan terjadinya
kemudharatan atau gangguan pada diri (jiwa), harta, akal, kehormatan
dan agamanya. Maka dibolehkan baginya perkara yang haram (meninggalkan
perkara yang wajib) atau menunda pelaksanaannya untuk menolak
kemudharatan darinya, menurut batas-batas yang dibolehkan syariat.
Lalu timbul pertanyaan kepada mereka: yang dimaksud alasan itu, karena keadaan darurat atau karena maslahat?.
Sebab maslahat tentu saja lebih luas dan lebih umum ketimbang darurat.
Jika dahulu mereka katakan bahwa demokrasi itu atau pemungutan suara itu
hanyalah wasilah maka berarti yang mereka lakukan tersebut bukanlah
karena darurat akan tetapi lebih tepat dikatakan untuk mencari maslahat,
Maka terungkaplah bahwa ikut sertanya mereka dalam kancah demokrasi
tersebut bukanlah karena darurat tapi hanya karena sekedar mencari
setitik maslahat.
[9]. Mereka mengatakan: Kami terpaksa melakukannya, sebab jika tidak
maka musuh akan menyeret kami dan melarang kami menegakkan hukum Islam
dan melarang kami shalat di masjid-masjid dan melarang kami berbicara
(berkhutbah).
Bantahannya:
Mereka hanya dihantui bayangan saja; atau mereka menyangka kelangsungan
da'wah kepada jalan Allah hanya tergantung di tangan mereka saja. Dengan
itu mereka menyimpang dari manhaj an-nabawi dalam berda'wah kepada
Allah dan dalam al-islah (perbaikan). Lalu mereka menuduh orang-orang
yang tetap berpegang teguh pada as- Sunnah sebagai orang-orang pengecut
(orang-orang yang acuh tak acuh terhadap nasib umat). Apakah itu yang
menyebabkan mereka membabi buta dan gelap mata? Hendaknya mereka
mengambil pelajaran dari seorang sahabat yang mulia yaitu Abu Dzar
al-Giffari ketika Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam berpesan
kepadanya:
"Artinya : Tetaplah kau di tempat engkau jangan pergi kemana-mana sampai
aku mendatangimu. Kemudian. Rasulullah pergi di kegelapan hingga lenyap
dari pandangan, lalu aku mendengar suara gemuruh. Maka aku khawatir
jika seseorang telah menghadang Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam,
hingga aku ingin mendatangi beliau. Tapi aku ingat pesan beliau:
tetaplah engkau di tempat jangan kemana-mana, maka akupun tetap di
tempat tidak ke mana-mana. Hingga beliau mendatangiku. Lalu aku berkata
bahwa aku telah mendengar suara gemuruh, sehingga aku khawatir terhadap
beliau, lalu aku ceritakan kisahku. Lalu beliau berkata apakah engkau
mendengarnya?. Ya, kataku. Beliau berkata itu adalah Jibril, yang telah
berkata kepadaku: barang siapa di antara umatmu (umat Rasulullah) yang
wafat dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, akan masuk
ke dalam surga. Aku bertanya, walaupun dia berzina dan mencuri? Beliau
berkata, walaupun dia berzina dan mencuri". [Mutafaqun alaih]
Lihatlah bagaimana keteguhan Abu Dzar al-Ghifari terhadap pesan
Rasulullah untuk tidak bergeming dari tempat, walaupun dalam sangkaan
beliau, Rasulullah berada dalam mara bahaya ! Bukankah hal tersebut
gawat dan genting. Suara gemuruh yang mencemaskan beliau atas nasib
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Namun apa gerangan yang menahan
Abu Dzar al-Ghifari untuk menemui Rasulullah. Apakah beliau takut, atau
beliau pengecut, atau beliau acuh tak uh akan nasib Rasulullah ? Tidak !
Sekali-kali tidak! Tidak ada yang menahan beliau melainkan pesan
Rasulullah : tetaplah engkau di tempat, jangan pergi ke mana-mana hingga
aku datang!.
Keteguhan beliau di atas garis as-Sunnah telah mengalahkan (menundukkan)
pertimbangan akal dan perasaan! Beliau tidak memilih melanggar pesan
Rasulullah dengan alasan ingin menyelamatkan beliau shalallahu 'alaihi
wasallam.
Kemudian kita lihat hasil keteguhan beliau atas pesan Rasulullah
shalallahu 'alaihi wasallam berupa ilmu tentang tauhid yang dibawa
malaikat Jibril kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kabar
gembira bagi para muwahhid (ahli tauhid) yaitu surga. Seandainya beliau
melanggar pesan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam maka belum tentu
beliau mendapatkan ilmu tersebut pada saat itu !!
Demikian pula dikatakan kepada mereka: Kami tidak hendak melanggar
as-Sunnah dengan dalih menyelamatkan umat ! (Karena keteguhan di atas
as-Sunnah itulah yang akan menyelamatkan ummat -red).
Berbahagialah ahlu sunnah (salafiyin) berkat keteguhan mereka di atas as-Sunnah.
[10]. Mereka mengatakan: Bahwa mereka mengikuti kancah pemunggutan suara untuk memilih kemudharatan yang paling ringan.
Mereka juga berkata bahwa mereka mengetahui hal itu adalah jelek, tapi
ingin mencari mudharat yang paling ringan demi mewujudkan maslahat yang
lebih besar.
Bantahannya:
Apakah mereka menganggap kekufuran dan syirik sebagai sesuatu yang
ringan kemudharatannya? Timbangan apa yang mereka pakai untuk mengukur
berat ringannya suatu perkara? Apakah timbangan akal dan hawa nafsu?
Tidakkah mereka mengetahui bahwa demokrasi itu adalah sebuah kekufuran
dan syirik produk Barat? Lalu apakah ada yang lebih berat dosanya selain
kekufuran dan syirik.
Kemudian apakah mereka mengetahui syarat-syarat dan batasan-batasan kaedah "memilih kemudharatan yang paling ringan."
Jika jawaban mereka tidak mengetahui; maka hal itu adalah musibah.
Jika jawabannya mereka mengetahui, maka dikatakan kepada mereka: coba perhatikan kembali syarat-syaratnya! Di antaranya:
[a]. Maslahat yang ingin diraih adalah nyata (realistis) bukan sekedar
perkiraan (anggapan belaka). Kegagalan demi kegagalan yang dialami oleh
mereka yang melibatkan di dalam kancah demokrasi itu cukuplah sebagai
bukti bahwa maslahat yang mereka janjikan itu hanyalah khayalan dan
isapan jempol belaka.
[b]. Maslahat yang ingin dicapai harus lebih besar dari mafsadah
(kerusakan) yang dilakukan, berdasarkan paham ahli ilmu. Jika realita
adalah kebalikannya yaitu maslahat yang hendak dicapai lebih kecil
ketimbang mafsadah yang terjadi, maka kaedahnya berganti menjadi:
Menolak mafsadah (kerusakan) lebih didahulukan ketimbang mencari (mengambil) mashlahat.
[c]. Tidak ada cara (jalan) lain untuk mencapai maslahat tersebut melainkan dengan melaksanakan mafsadah (kerusakan) tersebut.
Syarat yang ketiga ini sungguh amat berat untuk dipenuhi oleh mereka
sebab konsekuensinya adalah: tidak ada jalan lain untuk menegakkan hukum
Islam, kecuali dengan jalan demokrasi tersebut. Sungguh hal itu adalah
kebathilan yang amat nyata! Apakah mungkin manhaj Rasulullah shalallahu
'alaihi wasallam dalam ishlah (perbaikan) divonis tidak layak dipakai
untuk menegakkan hukum Islam? Tidaklah kita mengenal Islam, kecuali
melalui beliau shalallahu 'alaihi wasallam?
[11] Mereka mengatakan: Bahwa beberapa Ulama ahlu sunnah telah berfatwa
tentang disyariatkannya pemungutan suara (pemilu) ini seperti: Syeikh
al-Albani, Bin Baz, Bin Utsaimin. Lalu apakah kita menuduh mereka (para
ulama) hizbi ?
Jawabannya tentu saja tidakl
Amat jauh para ulama itu dari sangkaan mereka, karena beberapa alasan:
[a]. Mereka adalah ulama dan pemimpin kita, serta pemimpin da'wah yang
penuh berkah ini (da'wah salafiyah) dan pelindung Islam. Kita tidak
meneguk ilmu kecuali dari mereka. Kita berlindung kepada Allah semoga
mereka tidak demikian (tidak hizbi)! Bahkan sebaliknya, merekalah yang
telah memperingatkan umat dari bahaya hizbiyah. Tidaklah umat selamat
dari hizbiyah kecuali, melalui nasihat-nasihat mereka setelah taufiq
dari Allah tentunya. Kitab-kitab dan kaset-kaset mereka penuh dengan
peringatan tentang hizbiyah.
[b]. Para ulama berfatwa (memberi fatwa) sesuai dengan kadar soal yang
ditanyakan. Bisa saja seorang datang kepada ulama dan bertanya:
Ya Syeikh!, kami ingin menegakkan syariat Allah dan kami tidak mampu
kecuali melalui pemungutan suara dengan tujuan untuk mengenyahkan
orang-orang sosialis dan sekuler dari posisi mereka! Apakah boleh kami
memilih seorang yang shalih untuk melaksanakan kepentingan ini?
Demikianlah soalnya!
Lain halnya seandainya bunyi soal : Ya Syeikh, pemungutan suara itu
menimbulkan mafsadah (kerusakan) begini dan begini, dengan menyebutkan
sisi negatif yang ditimbulkannya, maka niscaya jawabannya akan lain.
Mereka-mereka itu (yaitu hizbiyun dan orang-orang yang terfitnah oleh
hizbiyun) mencari-cari talbis (tipu daya) terhadap para ulama! Adapun
dalil bahwa seorang alim berfatwa berdasarkan apa yang ia dengar. Dan
sebuah fatwa ada kalanya keliru, adalah dari sebuah hadits dari Ummu
Salamah:
"Artinya : Sesungguhnya kalian akan mengadukan pertengkaran di antara
kalian padaku, barang kali sebagian kalian lebih pandai berdalih
ketimbang lainnya. Barang siapa yang telah aku putuskan baginya dengan
merebut hak saudaranya, maka yang dia ambil itu hanyalah potongan dari
api neraka; hendaknya dia ambil atau dia tinggalkan" [Mutafaqun alaih]
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam juga telah memerintahkan kepada
para qadi untuk mendengarkan kedua belah pihak yang bersengketa. Dalam
sebuah hadits riwayat Ahmad, Rasulullah berkata kepada Ali bin Abu
Thalib:
"Artinya : Wahai Ali jika menghadap kepada engkau dua orang yang
bersengketa, janganlah engkau putuskan antara mereka berdua, hingga
engkau mendengar dari salah satu pihak sebagaimana engkau mendengarnya
dari pihak lain. Sebab jika engkau melakukan demikian, akan jelas bagi
engkau, putusan yang akan diambil". [Hadits Riwayat Ahmad]
Oleh sebab itu kejahatan yang paling besar yang dilakukan oleh seorang
Muslim adalah diharamkannya perkara-perkara yang sebelumnya halal,
disebabkan pertanyaannya. Dalam sebuah hadits riwayat Saad bin Abi Waqas
radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Artinya : Sesungguhnya kejahatan seorang Muslim yang paling besar
adalah bertanya tentang sebuah perkara yang belum diharamkan. Lalu
diharamkan disebabkan pertanyaannya". [Mutafaqun Alaih]
Ibnu Thin berkata bahwa kejahatan yang dimaksud adalah menyebabkan
kemudharatan atas kaum Muslimin disebabkan pertanyaannya. Yaitu
menghalangi mereka dari perkara-perkara halal sebelum pertanyaannya.
Hendaknya orang-orang yang melakukan tindakan berbahaya seperti ini
bertaubat kepada Allah. Dan para tokoh kaum Muslimin agar berhati-hati
terhadap orang-orang semacam itu.
[c]. Lalu bagaimana sikap mereka (para Hizbiyin) tatkala telah jelas
bahwa bagi para Ulama, demokrasi dan pemilihan suara ini adalah haram
disebabkan mafsadah yang ditimbulkannya. Apakah mereka akan mengundurkan
diri dari kancah demokrasi dan pemilu itu? atau mereka tetap nekat.
Realita menunjukkan bahwa mereka hanya memancing di air keruh. Mereka
hanya mencari keuntungan untuk golongannya saja dari fatwa para ulama.
Terbukti jika fatwa ulama tidak menguntungkan golongan mereka, maka
merekapun menghujatnya dengan berbagai macam pelecehan. Wallahu a'lam.
Sumber : Majalah As Sunnah
Shoffiyah Az Zahra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar