Rabu, 29 Mei 2013

ما أنواع البدع ؟ و هل الأذان الثاني يوم الجمعة من البدع ؟

بالزر الأيمن ثم حفظ باسم
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد) وقال أيضاً: (عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي)، .....! أذان واحد، ثم زاد الأذان الثاني لصلاة الجمعة، هل هذه الزيادة تعتبر من البدع، أم من السنة، وما هي البدع وما هي أقسامها؟

بسم الله الرحمن الرحيم الحمد لله وصلى الله وسلم على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن اهتدى بهداه، أما بعد: فهذه الأحاديث التي ذكره السائل أحاديث صحيحة يقول النبي -صلى الله عليه وسلم-: (من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد) متفق على صحته من حديث عائشة -رضي الله عنه-، وفي لفظ يقول -صلى الله عليه وسلم-: (من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد) أخرجه مسلم في صحيحه، ويقول -صلى الله عليه وسلم-: (إياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة) والبدعة هي التي يحدثها الناس في الإسلام في الطاعات والقربات يقال لها بدعة، ما أحدثه الناس في التعبد يقال له بدعة، مثل بدعة الاحتفال بالمولد، مثل بدعة البناء على القبور واتخاذ المساجد على القبور والقباب، وما أشبه ذلك مما يحدثه الناس، ومعنى "رد" يعني مردود، لكن ما فعله عثمان من الأذان الثاني في خلافته ليس من البدع؛ لأن الرسول -صلى الله عليه وسلم- قال: (عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي)، وهو من الخلفاء الراشدين، وقد أحدث الأذان الثاني وهو الأول للمصلحة لمصلحة المسلمين حتى ينتبهوا للجمعة، ولهذا أقره الصحابة في زمانه، وعمل به المسلمون بعده؛ لأنه داخلٌ في قوله -صلى الله عليه وسلم-: (فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ)، وهكذا ما فُعل في عهده من جمع المصحف، كان الناس يحفظون القرآن في صدورهم، ففي زمانه خافوا خاف الناس أن يضيع منهم القرآن، فاجتمع رأي الصحابة على أنه يكتب في المصاحف حتى يبقى بين أيدي المسلمين وحتى يُحفظ، وكان هذا من الأعمال الطيبة التي وفق الله الصحابة لها، وهكذا ما فعله عمر -رضي الله عنه- من جمع الناس على إمام واحد في التراويح في رمضان، وكانوا في عهد النبي -صلى الله عليه وسلم- يصلون أوزاعاً في المسجد كلٌ يصلي لنفسه، أو يصلي مع اثنين أو ثلاثة أو أربعة أو أكثر، ثم جمعهم عمر على إمامٍ واحد؛ لأنه رأى أن هذا أولى من تفرقهم، وتأسى بالنبي -صلى الله عليه وسلم- فإنه صلى بالناس في رمضان عدة ليالي جماعة في رمضان، ثم قال: (أخاف أن تفرض عليكم صلاة الليل)، فأمرهم أن يصلوا في بيوتهم، فلما توفي النبي -صلى الله عليه وسلم- انقطع الوحي وأُمن فرضها، فلهذا جمعهم عمر وصارت سنة عُمَرية، جَمْعُ الناس على إمام واحد في رمضان في التراويح....!



Kafirkah Orang Yang Tidak Mengkafirkan Orang Kafir ? (bag. 2)

PENYALAH GUNAAN KAIDAH INI OLEH KELOMPOK JAMA’AH TAKFIR WAL HIJRAH

Namun kaidah barangsiapa tidak mengkafirkan orang kafir, maka ia kafir, ini telah disalahgunakan oleh kelompok yang senang mengkafirkan kaum muslimin, yaitu kelompok jama’ah takfir dan hijarah.

Jama’ah takfir dan hijrah ini mengkafirkan kaum muslimin yang tidak sejalan dengan keyakinan Khawarij mereka dengan hujjah “barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang kafir, maka ia kafir”. Mereka juga mengkafirkan siapa saja yang tidak mengkafirkan penguasa muslim yang telah mereka kafirkan. Merekapun mengkafirkan orang-orang yang tidak mengkafirkan muslim yang melakukan dosa besar. Dalam hal ini, mereka berjalan di atas manhaj pendahulu mereka, yaitu Khawarij!


Penyalahgunaan seperti inilah yang menyebabkan terjadinya fitnah di tengah kaum muslimin, membuka pintu-pintu kejahatan, pertumpahan darah, penghalalan harta dan kehormatan di tengah kaum muslimin, wal iyadzu billah.

Initinya, kita harus memahami kaidah syari’at yang berbunyi “barang siapa yang tidak mengkafirkan orang kafir, maka ia kafir” tersebut menurut pemahaman yang telah dijelaskan dan disyarah oleh para ulama yang terpercaya, yakni ulama salaf. Jangan memahaminya secara serampangan, karena berakibat fatal dan menyeret kepada kesesatan.

SIAPAKAH JAMA’AH TAKFIR WAL HIJRAH
Syaikh Nashir bin Abdul Karim Al-Aql menjelaskan secara sekilas tentang jama’ah ini sebagai berikut.

Jama’ah takfir wal hjrah merupakan bukti keberadaan Khawarij pada abad ini. Mereka menamakan diri Jama’atul Muslimin. Muncul di Mesir dan diprakarsai Syukri Musthafa, seroang mahasiswa fakultas pertanian di Asyuth (Universitas Asyuth).

Pemikiran-pemikiran Khawarij menghinggapi pikirannya setelah ia dihukum sekitar tahun 1385H. Dia banyak mendapatkan paham ini ketika berada di dalam penjara, hingga sekitar tahun 1391H. Akhirnya jama’ahnya bertambah besar dan pemikirannya kian berkembang. Sikap mereka sangat berlebih-lebihan, hingga tokoh-tokoh mereke terbunuh setelah mereka menculik Dr Muhamamd Hussain Adz-Dzahabi.

Saya tidak bermaksud menceritakan sejarah dan kejadiannya di sini. Hanya saja yang terpenting bagi kita perlu mengetahui dasar, ciri-ciri dan sikap mereka, serta sebab-sebab yang membuat mereka sebagai pengikut hawa nafsu (Khawarij). Kita memohon keselamatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dasar pemikiran dan cirri-ciri Khawarij pada abad ini (jama’ah takfir wal hijrah) sebagai berikut.
Pertama : Mengkafirkan. Hal ini mencakup :
1. Mengkafirkan para pelaku dosa besar dan menganggap mereka keluar dari agama dan kekal selamanya di dalam neraka, sebagaimana pendapat Khawarij terdahulu.
2. Menganggap kafir siapa saja yang berbeda dengan mereka dari kalangan kaum muslimin (ulama atau lainnya), dan menjatuhkan vonis kafir ini secara mu’ayyan (terarah kepada person tertentu)
3. Mengkafirkan siapa saja yang keluar dari jama’ah mereka yang dahulu pernah bersama mereka, atau orang yang berbeda dengan dasar mereka.
4. Mengkafirkan masyarakat muslim (yang bukan dari mereka), dan menghukuminya sebagai masyarakat jahiliyah.
5. Menganggap kafir siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum Allah secara mutlak dan tanpa perincian.
6. Mengkafirkan siapa saja yang tidak mau hijrah kepada mereka dan orang yang tidak mau memboikot masyarakat dan yayasan-yayasan (organisasi-organisasi).
7. Mengangap kafir secara mutlak orang yang tidak mengkafirkan orang kafir menurut mereka.

Kedua : Kewajiban HIjrah dan Uzlah (menyendiri). Hal ini mencakup.
1. Meninggalkan masjid kaum muslimin dan tidak boleh shalat di dalamnya, walaupun harus meninggalkan shalat jum’at.
2. Tidak bergaul dengan masyarakat muslim yang ada di sekitarnya secara mutlak.
3. Tidak ikut belajar dan mengajar, serta mengharamkan masuk ke universitas-universitas dan sekolah-sekolah.
4. Tidak membolehkan menjadi pegawai negeri dan tidak boleh bekerja pada yayasan-yayasan umum, serta mengharamkan bekerja di lingkungan yang mereka sebut sebagai masyarakat jahiliyah, yaitu siapa saja yang bukan dari golongan mereka.

Ketiga : Mengajak umat agar buta huruf dan memerangi pendidikan.
Hal ini mereka serukan, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau merupakan orang-orang yang buta huruf, kecuali sebagian kecil saja. Mereka beranggapan, tidak mungkin seseorang menggabungkan antara mencari ilmu dunia dengan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti ; shalat, puasa, haji, do’a, dzikir, membaca Al-Qur’an, berjihad dan berdakwah. Menurut mereka, seorang muslim bisa mengetahui ilmu agama sekedar apa yang ia butuhkan, dengan hanya mendengarkan langsung tanpa harus belajar tulis baca terlebih dahulu, dan berbagai bentuk syubhat lainnya.

Keempat
: Sikap diam dan klarifikasi (Kaidah Tabayyun)
Yang mereka maksudkan dalam hal ini, yakni sama dengan maskud pendahulu mereka, yaitu Khawarij terdahulu. Yaitu tawaqquf (tidak menilai) terhadap seseorang yang masih belum jelas statusnya, apakah dari kelompok mereka atau bukan. Mereka tidak menghukuminya kafir dan tidak mengatakan ia muslim, kecuali setelah jelas jika ia dari kelompok mereka dan telah memba’iat imam mereka. Setelah itu, barulah seseorang tesebut menjadi seorang muslim. Bila tidak, maka ia kafir.

Kelima : Mereka mengatakan, tokoh mereka (yaitu Syukri Musthafa) sebagai imam mahdi yang muncul pada akhir zaman, dan Allah akan memenangkan agama ini dengannya, dari agama lain di muka bumi.

Keenam : Mereka memiliki anggapan, jama’ah mereka merupakan jama’ah kaum muslimin, jama’ah akhir zaman yang akan membunuh Dajjal.
 Dan menurut mereka, waktu munculnya Dajjal serta turunnya Isa Alaihis Sallam sudah dekat.

Ketujuh : Mereka mengatakan, bahwa kewajiban syariat bisa saling berbenturan.
Maksud mereka dari anggapan ini, yaitu dibolehkan meninggalkan sebagian kewajiban kewajban ketika ada hal yang lebih besar yang tidak bisa kita lakukan, kecuali dengan meninggalkan syari’at tersebut. Mereka meninggalkan shalat Jum’at, karena menganggap mereka dalam masa lemah, padahal syarat Jum’at ialah bila telah adanya kekuasaan. Sebagian kalangan mereka membolehkan mencukur jenggot, dengan dalih jenggot akan mempersempit ruang gerak dan bahaya bagi mereka.

Kedelapan : Dasar-dasar dan cirri-ciri bid’ah lainnya, seperti :
1. Pendapat tentang adanya fase hukum. Yaitu ; mereka dibolehkan meninggalkan sebahagian syari’at (shalat Jum’at dan shalat Id), serta boleh melakukan sebahagian yang diharamkan, seperti ; menikah dengan wanita kafir, mencukur jenggot dan memakan sembelihan orang kafir, karena mereka berada dalam fase lemah, sebagaimana pada masa dakwah Nabi di Mekkah
2. membuat dasar syari’at baru yang berbeda dengan manhaj Salaf. Mereka menolak ijma, melarang taklid dan ittiba (mencontoh) secara mutlak, sehingga mereka mewajibkan semua manusia untuk berijtihad.
3. Mereka tidak berpedoman kepada pemahaman para sahabat, ulama dan para imam dalam memahami Al-Qur’an dan hadits.
4. Mereka tidak mengakui khilafah Islamiyah setelah abad keempat, dan menganggap kafir abad-abad sesudah itu.
5. Mereka bersikap keras dan kasar dalam bergaul
6. Mereka merasa berilmu, sombong dan merasa lebih istimewa dari kaum muslimin yang lain.
7. Mereka menghalalkan darah dan menculik orang yang berbeda dengan mereka, bagi yang pernah bersama dengan mereka, dan menyebutnya sebagai orang murtad atau sebutan lainnya dari kalangan kaum muslimin. Aksi yang pernah mereka lakukan, yaitu menculik dan membunuh Syaikh Dr. Muhammad Hussain Adz-Dzahabi, menculik sebagian orang yang telah keluar dari jama’ah mereka dan menghabisinya, persis seperti perbuatan kaum Khawarij. Kita memohon keafi’atan dan keselamatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
8. Di kalangan mereka cepat terjadi perpecahan, permusuhan dan saling memakan di antara mereka sendiri. [12]

PENETAPAN HUKUM KAFIR DISERAHKAN KEPADA KALANGAN KHUSUS ULAMA
Dalam masalah menjatuhkan hukum kafir, Syaikh Shalih Al-Fauzan megatakan : “Tidak semua orang berhak menjatuhkan vonis kafir, atau berbicara tentang vonis kafir terhadap jama’ah tertentu, atau orang tertentu. Takfir memiliki batasan-batasan dan kaidah. Barangsiapa melakukan salah satu dari pembatal-pembatal Islam, makaia dihukumi kafir”.

Kemudian beliau melanjutkan :
Takfir merupakan masalah yang sangat berbahaya. Tidak sembarang orang bodoh berbicara tentang masalah ini terhadap orang lain. Kewenangan ini merupakan milik mahkamah syar’i, merupakan kewenangan ahli ilmu yang luas ilmunya, yang mengetahui Islam dan mengetahui pembatal-pembatalnya, mengetahui kondisi serta keadaan manusia dan masyarakat. Mereka inilah yang berhak menjatuhkan vonis kafir.

Adapun orang-orang jahil dan anggota masyarakat serta para pelajar, mereka tidak berhak menjatuhkan hukum kafir terhadap diri orang tertentu, atau jama’ah tertentu, atau negara tertentu. Karena mereka bukan orang yang ahli dalam bidang tersebut. [13]

Maraji’.
[1]. Al-Ajwaibah Al-Mutalaimah, Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid
[2]. Al-Ibthal, Syaikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid
[3]. Al-Khawarij, Abdul Karim Al-Aql
[4]. An-Nubuwwah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
[5]. Ar-Radd Alal Bakri, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
[6]. Ar-Risalah Ad-Tadmurriyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
[7]. At-Tabsir bi Qawaidut-Takfir, Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid
[8]. At-Ta’rif wat Tanbi’ah, Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid
[9]. Fatawa Lajnah Da’imah lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta, Ahmad bin Abdur-Razzaq Ad-Duwaisy
[10]. Majmu Fatawa Syaihul Islam Ibnu Taimiyyah
[11]. Minhajus Sunnah An-Nabawiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
[12]. Mujmal Masailul Iman Al-Ilmiyah Fi Ushulil Aqidah As-Salafiyah
[13]. Mukhtashar Ash-Shawaiqul Mursalah, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
[14]. Nawaqidhul Iman Al-Qauliyah wal Amaliyah, Dr Abdul Aziz bin Muhammad bin Ali Al-Abdul Al-Lathif

Sumber : Majalah As Sunnah
_________
Foote Note
[12]. Al-Khawawij, Syaikh Dr Nashir Al-Aql, hal. 132
[13] Al-muntaqa min Fatawihi (I/12)

Shoffiyah Az Zahra

Kafirkah Orang Yang Tidak Mengkafirkan Orang Kafir (1)

Dalam masalah vonis kafir, pertama kita harus mengetahui, takfir (memvonis kafir) merupakan hukum syar’i. Artinya, harus merujuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana halnya hukum-hukum syar’i yang lain. Takfir merupakan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Penerapan hukum wajib dan hukum haram, penetapan pahala dan siksa, penetapan hukum kafir atau fasiq, rujukannya ialah Allah dan Rasul-Nya. Siapapun tidak berhak menetapkan hukum dalam masalah ini. Sesungguhnya wajib bagi siapa saja mewajibkan yang telah diwajibkan Allah dan Rasul-Nya dan mengharamkan yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya” [1]


Beliau rahimahullah juga menegaskan, hukum kafir dan fasiq termasuk hukum syar’i, bukan termasuk hukum yang dapat ditetapkan oleh akal secara bebas. Orangkafir ialah orang yang telah ditetapkan kafir oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan orang fasiq ialah orang yang telah ditetapkan fasiq oleh Allah dan Rasul-Nya. [2]

Bagitu pula Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah mengatakan, takfir merupakan hukum syar’i. Orang kafir ialah orang yng telah dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya. [3]

Lebih lanjut Syaikh Shalih Al-Fauzan menjelaskan, takfir (vonis kafir) terhadap orang-orang murtad, bukanlah syari’at yang dibuat kaum Khawarij, juga tidak oleh golongan lainnya. Juga bukan dari hasil pemikiran. Namun takfir merupakan hukum syar’i yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atas orang-orang yang berhak mendapatkannya, karena melakukan salah satu dari pembatal-pembatal ke-islaman, baik pembatal qauliyah, I’tiqadiyah maupun fi’liyah, sebagaimana telah dijelaskan para ulama dalam masalah hukum-hukum bagi orang murtad. Hukum-hukum tersebut diambil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [4]

Demikian pula telah disebutkan dalam Mujmal Masailul Iman Al-Ilmiyah fi Ushulil Aqidah As-Salafiyah, takfir merupakan hukum syar’i, tempat kembalinmya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [5]

Oleh karena itu, siapapun tidak boleh menjatuhkan vonis kafir dengan dasar hawa nafsu atau akal pemikirannya. Jika ia melakukannya, berarti ia telah berhukum dengan selain hukum Allah dalam masalah ini. Oleh sebab itu, ulama Ahlus Sunnah wal tidak sembarangan dalam menjatuhkan vonis kafir terhadap orang tertentu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Oleh karena itu ahli ilmu dan Ahlus Sunnah tidak mengkafirkan orang yang menyelisihi mereka –walaupun orang-orang yang menyelisihinya tersebut mengkafirkan mereka- karenaa takfir merupakan hukum syar’Ii, dan seseorang tidak boleh membalas dengan semisalnya. Sebagaimana orang yang berdusta terhadapmu, orang yang berzina dengan keluargamu, tentu kamu tidak boleh berdusta terhadapnya atau berzina dengan keluarganya. Karena dusta dan zina hukumnya haram –berdasarkan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala- demikian pula dengan takfir, ia merupakan hak Allah. Sehingga, tidak boleh menjatuhkan vonis kafir,kecuali terhadap orang yang telah dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya” [6]

KAIDAH SYARI’AT : BARANGSIAPA TIDAK MENGKAFIRKAN ORANG KAFIR, MAKA IA KAFIR!
Maksud kaidah ini harus diperjelas. Karena merupakan kewajiban, siapa saja yang berbicara tentang masalah ilmiah, ia harus memperjelas makna istilah yang digunakan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, perkara yang diperselisihkan oleh kaum mutakahirin tentang penetapan dan penafiannya, maka bagi seseorang –termasuk dirinya sendiri- tidak wajib untuk menyepakati seseorang atas penetapan ungkapan tertentu atau penafiannya, hingga ia mengetahui maksudnya. Jika maksudnya hak maka diterima. Jika maksudnya batil, maka tidak bisa diterima secara mutlak, begitu pula tidakditolak secara keseluruhan. Ungkapan tersebut harus diperjelas dan ditafsirkan maknanya. [7]

Beliau rahimahullah juga mengatakan, ungkapan tentang hakikat-hakikat iman dengan menggunakan Al-Qur’an lebih Iebih utama daripada menggunakan ungkapan selainnya. Ungkapan Al-Qur’an wajib diimani, karen ia merupakan wahyu yang diturunkan Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. [8]

Demikian juga ungkapan, “Barangsiapa tidak mengkafirkan orang kafir, maka ia kafir”, maka kaidah ini harus diperjelas maksudnya. Jika maksudnya tidak meyakini kekafiran orang-orang yang telah dinyatakan kafir oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti Fir’aun, Abu Lahab dan sejenisnya, maka ia kafir. Atau juga mengatakan Yahudi, Nasrani, Majusi atau sejenisnya bukan kafir, bahkan meyakini mereka termasuk sebagai kaum muslimin, maka kaidah tersebut dianggap benar. Karena konsekwensinya, orang itu tidak berlepas diri dari orang-orang kafir tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka” [Al-Maidah : 51]

Dengan demikian ia telah menentang hukum Allah yang telah menjatuhkan vonis kafir terhadap orang-orang tersebut. Seperti halnya orang-orang yang meyakini kesatuan agama. Yaitu mereka bekeyakinan semua agama adalah sama. Beranggapan bahwa orang Nasrani dan Yahudi juga merupakan orang-orang muslim mukmin, ; maka orang yang berkeyakinan seperti itu bisa jatus vonis kafir,apabila telah terpenuhi syarat-syarat takfir dan tida ada lagi penghalangnya.

Syaikh Bakar Abu Zaid mejelaskan masalah ini sebagai berikut.
“Setiap muslim yang mengimani Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai nabi dan rasul-Nya, (ia) wajib mentaati Allah dengan membenci orang-orang kafir, Yahudi, Nasrani dan kaum kafir lainnya. Wajib memusuhi mereka karena Allah, tidak mencintai dan mengasihi mereka, tidak loyal dan tidak menyerahkan urusan kepada mereka, sehingga mereka beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, memeluk Islam sebagai agama mereka, dan beriman kepada Muhammad sebagai nabi dan rasul mereka. Allah berfirman.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu) ; sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim” [Al-Maidah : 51]

Di antara bukti terputusnya wala (loyalitas) antara kita dengan mereka, ialah tidak adanya waris-mewarisi antara muslim dan kafir selama-lamanya. Setiap muslim wajib meyakini kekufuran setiap orang yang menolak memeluk Dienul Islam dari kalangan Yahudi, Nasrani maupun selainnya. Wajib menamainya kafir. Wajib meyakini mereka sebagai musuh, dan meyakini mereka sebagai penduduk neraka. Allah berfirman.

“Artinya : Katakanlah : “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada ilah (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan yang mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya. Nabi yang Ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk” [Al-A’raf : 158]

Di dalam Shahih Muslim diriwayatkan, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda.

“Artinya : Demi Allah yang jiwa Muhammad berad di tangan-Nya, tidak ada seorangpun dari umat manusia yang mendengar kerasulanku, baik ia seorang Yahudi maupun Nasrani lalu mati dalam keadaan belum beriman kepada ajaran yang kubawa,melainkan ia pasti termasuk penduduk neraka”.

Oleh karena itu pula, barangsiapa tidak mengkafirkan Yahudi dan Nasrani, maka dia kafir. Ini sebagai konsekuensi dari kaidah syari’at, “barangsiapa tidak megkafirkan orang kafir, maka ia kafir”.
Kita mengatakan kepada ahli Kitab, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengatakan di dalam Kitab-Nya.

“Artinya : berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu” [An-Nisa : 171]

Sehingga, siapapun pada hari ini, tidak dibenarkan tetap bertahan memegang dua syariat tersebut, yaitu agama Yahudi dan Nasrani. Apalagi memeluk salah satu dari keduanya. Tidak dibenarkan memeluk agama, selain agama Islam. Dan tidak dibenarkan berpredikat selain sebagai muslim, atau sebagai pengikut millah ibarahim. [9]

Adapun orang-orang yang masih diperselisihkan status kekafirannya oleh para ulama, misalnya orang yang meninggalkan shalat, atau orang yang jelas melakukan amalan kekufuran namun syarat jatuhnya vonis kafir terhadap mereka belum terpenuhi, dan belum hilang penghalang-penghalang jatuhnya vonis kafir ; maka penerapan kaidah tersebut terhadap orang-orang yang berbeda pendapat dalam menjatuhkan vonis kafir merupakan perkara besar yang akan membuka pintu-pintu kejelekan, pertumpahan darah dan fitnah.

Di antara ushul Islam, yaitu wajib meyakini kekafiran orang yang tidak masuk ke dalam agama Islam dari kalangan Yahudi dan Nasrani dan selain mereka, menyebutnya kafir, bagi yang telah tegak atasnya hujjah, meyakini bahwa ia musuh Allah, musuh Rasul-Nya dan musuh orang-orang beriman, dan meyakini bahwa ia ahli neraka,sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka sendiri yang nyata” [Al-Bayyinah : 1]

“Artinya : Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka jahannam ; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk” [Al-Bayyinah : 6]

“Artinya : Dan Al-Qur’an ini diwahukan kepadaku, supaya dengannya, aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Qur’an (kepadanya)” [Al-An’am : 19]

“Artinya : (Al-Qur’an) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia dan supaya mereka mengetahui” [Ibrahim : 52]

Demikian ayat-ayat yang menyebutkan tentang kekafiran ahli kitab, dan masih banyak ayat-ayat lain yang semakna dengan itu.

Telah pula diriwayatkan dalam shahih Muslim, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada seorangpun dari umat manusia yang mendengar kerasulanku, baik ia seorang Yahudi maupun Nasrani, lalu mati dalam keadaan belum beriman kepada ajaran yang kubawa, melainkan ia pasti termasuk penduduk neraka”.

Oleh karena itu, barangsiapa yang tidak mengkafirkan Yahudi dan Nasrani, maka ia kafir. Yakni mengikuti kaidah sayari’at, “barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang kafir sesusah hujjah tegak atas diri orang kafir tersebut, maka ia kafir” [10]

Dalam fatwa yang ditanda tangani oleh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, Abdur-Razzaq Afifi, Abdullah bin Ghudayyan dan Abdullah bin Qu’ud, diajukan sebuah pertanyaan sebagai berikut.

Pertanyaan : Kami ingin mengetahui hukum orang yang tidak mengakfirkan orang kafir.

Jawab : Barangsiapa yang telah ditetapkan kekafirannya, maka wajib diyakini kekafirannya, menghukuminya dengan hukum kafir. Dan waliyul amri (pemerintah) berhak menjalankan hukuman riddah (murtad) atasnya, jika ia tidak bertuabt. Dan barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang yang telah ditetapkan kekafirannya, maka ia kafir ; kecuali jika ia masih memiliki syubhat (keragu-raguan) dalam masalah tersebut. Maka ia harus menghilangkan syubhat itu darinya.

Wabillahit-taufiq, shalawat dan salam semoga terlimpah atas Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas keluarga dan para sahabat beliau. [11]

Demikianlah perincian yang dijelaskan oleh para ulama berkenan dengan kaidah tersebut.

_________
Foote Note
[1]. Majmu Fatawa (V/545)
[2]. Minhajus Sunnah An-Nabawiyah (V/95)
[3]. Mukhtashar As-Shawaiqul Mursalah, hal. 421
[4]. Majalah Ad-Da’wah, edisi 4, Rabiul Akhir 1421H
[5]. Mujmal Masailul Iman Al-Ilmiyah di Ushulil Aqidah As-Salafiyah, yang ditulis secara bersama oleh lima orang ulama, yaitu : Husain bin Audah Al-Awaisyah, Muhammad Musa Ali Nashr, Salim bin Id Al-Hilali, Ali bin Hasan Al-Halabi dan Msyhur Hasan Salman, hal. 17
[6]. Ar-Radd Alal Bakri (II/493)
[7]. Ar-Risalah Ad-Tamuriyah, hal. 28
[8]. An-Nubuwwat, (II/876)
[9]. Lihat buku Al-Ibhtal, Syaikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid
[10]. Fatawa Lajnah Daimah Lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta, Ahmad bin Abdur-Razzaq Ad-Duwaisy
[11]. Fatawa Lajnah Daimah Lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta, Ahmad bin Abdur-Razzaq Ad-Duwaisy, pertanyaan kedua dari fatwa no. 6201

Shoffiyah Az Zahra

Selasa, 28 Mei 2013

Membagi Kerugian Dalam Mudharabah



Mudharabah adalah salah satu bentuk syarikah dalam jual beli. Islam telah menghalalkan sistem muamalah ini. Dan Islam telah melegalkan seluruh bentuk syarikah

SYARIKAH ADA DUA JENIS

Pertama : Syarikah Amlaak
Yaitu penguasaan harta secara kolektif, berupa bangunan, barang bergerak atau barang berharga. Yaitu pensyarikahan dua orang atau lebih yang dimiliki melalui transaksi jual beli, hadiah, warisan atau yang lainnya. Dalam bentuk syarikah seperti ini kedua belah pihak tidak berhak mengusik bagian rekan kongsinya, ia tidak boleh menggunakannya tanpa seijin rekannya.

Kedua : Syarikah Uquud
Yaitu perkongsian dalam transaksi, misalnya, dalam transaksi jual beli atau lainnya. Bentuk syarikah seperti inilah yang hendak kami ulas dalam tulisan kali ini. Dalam syarikah seperti ini, pihak-pihak yang berkongsi berhak menggunakan barang syarikah dengan kuasa masing-masing. Dalam hal ini, seseorang bertindak sebagai pemilik barang, jika yang digunakan adalah miliknya. Dan sebagai wakil, jika barang yang dipergunakan adalah milik rekannya.

Syarikah Uquud ini, oleh para ahli fiqih dibagi menjadi lima bagian

[1]. Syariqah Inaan
Yaitu dua orang atau lebih yang bersyarikah dengan harta masing-masing untuk dikelola oleh mereka sendiri, dan keuntungan dibagi di antara mereka, atau salah seorang sebagai pengelola dan mendapat bagian lebih banyak dari keuntungan, daripada rekannya.

[2]. Syarikah Mudharabah
Yaitu, seseorang sebagai pemodal menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola untuk diperdagangkan, dan dia berhak mendapat bagian tertentu dari keuntungan.

[3]. Sayrikah Wujuuh
Yaitu dua orang atau lebih yang bersyarikah terhadap keuntungan dari barang dagangan yang mereka beli bersama tanpa modal. Pendapatan keuntungan dibagi atas dasar kesepakatan di antara mereka.

[4]. Syarikah Abdaan
Yaitu dua orang atau lebih yang bersyarikah pada harta halal hasil usaha mereka masing-masing. Atau bersyarikah pada harta yang mereka terima dari jasa tenaga atau keahlian mereka.

[5]. Syarikah Mufaawadhah
Yaitu masing-masing pihak menyerahakn kuasa penuh atas setiap transaksi materi maupun fisik, dalam bentuk jual beli dan dalam seluruh urusan mereka tanpa menggabungkan ke dalamnya keuntungan atau hutang-piutang yang bersifat pribadi. [1]

Dalam melakukan bentuk kerjasama ini, masing-masing harus menjaga sifat amanah. Apalagi terjadi kecurangan dan penipuan dari salah satu pihak, maka bentuk kerja sama ini batal dengan sendirinya. [2]

Pembahasan masalah syarikah ini sangat panjang. Namun dalam kesempatan kali ini, kita memfokuskan pembicaraan pada salah satu bentuk syarikah, yaitu syarikah mudharabah. Lebih khusus lagi, yakni berkaitan dengan masalah kerugian yang terjadi dalam syarikah mudharabah ini.

Masalah : Pihak pemodal menyerahkan uangnya kepada pihak pengelola, lalu terjadi kerugian dalam usaha tersebut sehingga menghabiskan uang milik pemodal. Maka siapakah yang menanggung kerugian tersebut? Apakah pihak pemodal atau pengelola atau keduanya?

Jawab : Ini adalah bentuk syarikah yang disebut mudharabah. Sebagian orang, yakni penduduk Hijaz menyebutnya qiraadh. Orang-orang umum menyebutnya dhimaar. Yaitu seseorang menyerahkan hartanya untuk dikelola oleh orang lain. Satu pihak disebut pemodal, dan pihak lain disebut pengelola

Kerugian dalam syarikah seperti ini disebut wadhii’ah. Kerugian ini mutlak menjadi tanggung jawab pemodal (pemilik harta), sama sekali bukan menjadi tanggungan pihak pengelola. Dengan catatan, pihak pengelola tidak melakukan kelalaian dan kesalahan prosedur dalam menjalankan usaha yang telah disepakati syarat-syaratnya. Kerugian pihak pengelola adalah dari sisi tenaga dan waktu yang telah dikeluarkannya tanpa mendapat keuntungan.

Pihak pemodal berhak mendapat keuntungan dari harta atau modal yang dikeluarkannya, dan pihak pengelola mendapat keuntungan dari tenaga dan waktu yang dikeluarkannya. Maka kerugian ditanggung pihak pemodal atau pemilik harta. Adapun pihak pengelola, ia mendapat kerugian dari jasa dan tenaga yang telah dikeluarkannya.

Ini adalah perkara yang telah disepakati oleh para ulama, seperti yang telah ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa (XXX/82).

Ibnu Qudamah al-Maqdisi dalam kitab al-Mughni (V/183) mengatakan, “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini”.

Pada bagian lain (V/148), al-Maqdisi mengatakan, kerugian dalam syarikah mudharabah ditanggung secara khusus oleh pihak pemodal, bukan tanggungan pihak pengelola. Karena wadii’ah, hakikatnya adalah kekurangan pada modal. Dan ini, secara khusus menjadi urusan pemilik modal, bukan tanggungan pihak pengelola. Kekurangan tersebut adalah kekurangan pada hartanya, bukan harta orang lain. Kedua belah pihak bersyarikah dalam keuntungan yang diperoleh.

Seperti dalam kerja sama musaaqat dan muzaara’ah, dalam kerja sama ini, tuan tanah atau pemilik pohon bersyarikah dengan pihak pengelola atau pekerja dalam keuntungan yang dihasilkan dari kebun dan buah. Namun, jika terjadi kerusakan pada pohon atau jatuh musibah atas tanah tersebut, misalnya tenggelam atau musibah lainnya, maka pihak pengelola atau pekerja tidak menanggung kerugian sekalipun.

Masalah : Akan tetapi bagaimana hukumnya bila pihak pengelola dan pihak pemodal telah membuat syarat dan kesepakatan, bahwa kerugian yang diderita dibagi dua atau sepertiga ditanggung pihak pengelola, dan selebihnya pihak pemodal?

Jawab : Syarat dan kesepakatan seperti ini bertentangan dengan Kitabullah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakan.

“Artinya : Mengapa sejumlah orang mengajukan syarat-syarat yang tidak ada dalam Kitabullah? Barangsiapa mengajukan syarat yang tidak ada dalam Kitabullah, maka tidak diterima, meskipun ia mengajukan seratus syarat”. [3]

Ibnu Qudamah al-Maqdisi menegaskan batalnya syarat-syarat ini, tanpa ada perselisihan di kalangan ulama. [4] Ibnu Qudamah berkata, “Intinya, apabila disyaratkan atas pihak pengelola tanggung jawab terhadap kerugian atau mendapat bagian tanggungan dari wadhii’ah (kerugian), maka syarat itu bathil. Kami mengetahui adanya perselisihan dalam masalah ini.

Barangkali para pemodal akan mengatakan : “Kalian para ulama telah membuka pintu seluas-luasnya bagi para pengelola untuk mempermainkan uang kami. Apabila kami menuntutnya, mereka mengatakan, ‘Kami mengalami kerugian”.

Kalau pengelola tadi adalah orang yang lemah iman; lemah imannya kepada hari akhirat dan berani menjual agamanya dengan materi dunia, maka orang seperti inilah yang berani mempermainkan harta kaum muslimin, lalu mereka bersumpah telah mengalami kerugian. Kelonggaran ini bukanlah disebabkan fatwa dan pendapat ahli ilmu. Kewajiban atas pemilik harta adalah, mencari orang yang amanah agamanya dan ahli dalam pekerjaannya. Jika tidak menemukan orang seperti ini, maka hendaklah ia menahan hartanya. Adapun ia serahkan hartanya kepada orang yang tidak amanah dan tidak bisa mengelola lalu berkata, Ahli Ilmu telah membuka pintu bagi pengelola untuk mempermainkan harta kami, maka alasan seperti ini, sama sekali tidak bisa diterima.

Masalah : bolehkah pihak pengelola menanggung kerugian atas kerelaan darinya, tanpa paksaan?

Jawaban : Apabila pihak pengelola turut menanggung kerugan atas kerelaan darinya dan tanpa tekanan dari pihak manapun, maka hal itu dibolehkan, bahkan itu termasuk akhlak yang terpuji. Wallahu ‘alam

Masalah : Bagaimana bila pada jual beli pertama mereka mendapat keuntungan, lalu pada jual beli kedua mereka mendapat kerugian, apakah keuntungan pada jual beli pertama dibagi dahulu, lalu kerugian pada jual beli kedua menjadi tanggungan pihak pengelola? Ataukah keuntungan itu dipakai untuk menutupi kerugian, lalu sisanya dibagi kemudian?

Jawab : Dalam kasus seperti ini, keuntungan harus digunakan lebih dulu untuk menutupi kerugian. Jika keuntungan tersebut masih tersisa setelah modal ditutupi, maka baru kemudian dibagi kepada pihak pengelola dan pihak pemodal menurut kesepakatan mereka. Demikian yang dijelaskan oleh para ulama.

Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni (V/169) mengatakan :”Masalah, pihak pengelola tidak berhak mengambil keuntungan hingga ia menyerahkan modal kepada pihak pemodal. Apabila dalam usaha terjadi kerugian dan keuntungan, maka kerugian ditutupi dengan keuntungan. Baik kerugian dan keuntungan itu diperoleh dalam satu transaksi, ataupun kerugian terjadi pada transaksi pertama, lalu keuntungan dihasilkan pada transaksi berikutnya. Karena keuntungan itu hakikatnya adalah, sesuatu yang lebih dari modal dasar. Dan apabila tidak lebih, maka belum dihitung sebagai keuntungan. Kami tidak mengetahui adanya perselisihan pendapat di kalangan dalam masalah ini”.

Demikian pula yang dikatakan oleh Ibnul Mundzir dalam kitab al-Ijma (halaman 112 nomor 534). Beliau rahimahullah berkata :”Para ulama sepakat, bahwa pembagian keuntungn (itu) dibolehkan, apabila pihak pemodal telah mengambil modalnya”.

Hanya saja Ibnu Hazm menyebutkan dalam kitab Maraatibul Ijma, halaman 93, baha para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Namun kesimpulanya, pendapat yang kuat adalah yang telah kita jelaskan diatas.

Apabila keuntungan telah dihitung dan dibagikan, dan masing-masing pihak telah mengambil bagian dari keuntungan, lalau setelah itu terjadi kerugian, maka dalam kasus ini, pihak pengelola tidak berhak memaksa pihak pemodal untuk menutupi kerugian dan keuntungan yang telah dibagikan, sudah menjadi, hak masing-masing. Wallahu ‘alam

Masalah : Bagaimana bila pihak pengelola melanggar syarat atau melakukan kesalahan prosedur dalam usaha sehingga menyebabkan kerugian?

Jawab : Kerugian tersebut menjadi tanggungan pihak pengelola yang telah melanggar persyaratan yang telah disepakati, atau melakukan kelalaian, atau kesalahan prosedur. Sejumlah ahli ilmu telah menyebutkan kesepakatan ulama dalam masalah ini, di antaranya adalah Ibnu Hazm dalam kitab Maraatibul Ijma (hal. 93), dan Ibnul Mundzir dalam Al-Ijma (hal.112 nomor 535). Namun Ibnu Abi Syaibah menukil dalam Mushannaf-nya (IV/402-403) dari Az-Zuhri rahimahullah, bahwa beliau menyelisihi ijma’ ini. Demikian pula atsar dari Thawus dan Al-Hasan.

Ibnu Qudamah mengatakan dalam Al-Mughni (VII/162) : “Apabila pihak pengelola melakukan pelanggaran prosedur, atau melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukannya, atau membeli sesuatu yang dilarang untuk dibeli, maka ia bertanggung jawab terhadap harta tersebut. Demikianlah menurut pendapat mayoritas ahli ilmu”.

Namun pendapat yang kuat adalah, pihak pengelola bertanggung jawab atas kerugian tersebut, jika ia melanggar syarat. Karena seorang mukmin wajib memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Kaum muslimin harus menepati syarat-syarat yang telah mereka sepakati, kecuali syarat yang mehalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal”,

Masalah : Namun, bagaimana jika pihak pengelola melanggar syarat, akan tetapi ia mendapat keuntungan?

Jawab : Sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa keuntungan merupakan hak pemilik modal. Karena harta itu merupakan hartanya. Sebagian ahli ilmu lainnya berpendapat, bahwa keuntungan menjadi hak pengelola. Karena dialah yang bertanggung jawab apabila terjadi kerugian. Ada pula ulama yang berpendapat, bahwa keuntungan itu menjadi harta sedekah, diberikan kepada fakir miskin. Ada yang berpendapat, keuntungan diserahkan kepada pemodal. Adapun si pengelola berhak memperoleh uang jasa yang setimpal. Ada pula yang berpendapat, keuntungan tersebut dibagi menurut kesepakatan merka berdua.

Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah sebagaimana tersebut di dalam Majmu Fatawa (XXX/86-87). Wallahu a’lam

Masalah : Bolehkah pihak pengelola mencampur modal tersebut dengan hartanya? Bagaimana bila itu terjadi ?

Jawab : Ibnu Qudamah di dalam kitab Al-Mughni (VII/158) menjelaskan, pihak pengelola tidak boleh mencampur modal mudharabah dengan hartanya. Jika ia melakukan itu, lalu ia tidak bisa memilah mana hartanya dan mana modal mudharabah, maka ia menanggung kerugian yang mungkin terjadi karenanya. Karena ia yang diberi amanah, (dan) modal tersebut ibarat wadhi’ah (barang titipan)”.

Masalah : Bagaimana bila masih bersisa dari harta mudharabah, bolehkah pihak pengelola mengambilnya?

Jawab : Apabila pihak pengelola mendapati di tangannya masih tersisa harta mudharabah, maka ia tidak boleh mengambilnya, kecuali dengan izin pihak pemodal.

Ibnu Qudamah mejelaskan dalam kitab Al-Mughni (VII/171). Intinya, apabila terlihat keuntungan pada harta mudharabah, maka pihak pengelola tidak boleh mengambilnya tanpa seizin pihak pemodal. Kami tidak mengetahui adanya perselisihan di kalangan ulama dalam masalah ini. Pihak pengelola tidak berhak mengambilnya karena tiga alasan.

Pertama : Keuntungan digunakan untuk menutupi modal dasar, masih terbuka kemungkinan keuntungan tersebut dipakai untuk menutupi kerugian. Sehingga belum bisa disebut sebagai keuntungan.

Kedua : Pemilik modal –dalam hal ini- mitra bisnisnya, dia tidak boleh memotong haknya sebelum pembagian.

Ketiga : Kepemilikan atas keuntungan itu belum tetap, karena bisa saja keuntungan tersebut diambil kembali untuk menutupi kerugian. Namun, apabila pemilik modal mengizinkannya maka ia boleh mengambilnya.karena harta tersebut merupakan hak mereka berdua, dan tidak akan keluar dari hak keduanya.

Bluesky studio
Shoffiyah Az Zahra

Senin, 27 Mei 2013

Pengaruh Sihir, Nyata atau Tidak?




Adalah fakta, jika sihir memiliki pengaruh, seperti dapat membunuh orang yang terkena sihir, dapat membuat seseorang jatuh sakit, sihair dapat memisahkan antara suami dan isteri, juga bisa menimbulkan perseteruan antara dua orang yang bersahabat dan berkasih-sayang. Demikian ini termasuk salah satu aqidah Ahlu Sunnah wal Jama'ah. Yaitu meyakini bahwa pengaruh sihir benar-benar nyata dan ada.

Para ulama berbeda pendapat tentang hakikat sihir dan jenis-jenisnya, tetapi mayoritas ulama Ahlu Sunnah wal Jama'ah berpendapat, sihir dapat memberikan pengaruh langsung terhadap kematian orang yang disihir, atau membuatnya jatuh sakit, tanpa terlihat tanda-tanda lahiriyah yang menyebabkannya. Sebagian lainnya -yakni dari kalangan ahli filsafat dan kelompok Mu'tazilah- mereka mengklaim jika sihar hanyalah khayal (ilusi) belaka. [1]


Pengingkaran terhadap pengaruh sihir ini merupakan keyakinan ahli kalam dari kalangan Mu'tazilah. Keyakinan tersebut bertentangan dengan al Qur`an, Sunnah, Ijma' dan akal sehat.


Ketika menjelaskan ushul i'tiqad (pokok-pokok keyakinan) Ahlu Sunnah wal Jama'ah, Abul Hasan al Asy'ari t mengatakan: "Kami meyakini, sihir dan tukang sihir benar-benar ada di dunia ini. Dan kekuatan sihir merupakan kenyataan". [2]

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan:

"Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"(dan dari kejahatan-kejahatan wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul," [Al Falaq/113 ayat 4] menunjukkan bahwa, pengaruh sihir itu benar-benar nyata. Beberapa kelompok ahlu kalam (filosof dan kalangan Mu'tazilah) mengingkari adanya pengaruh sihir ini. Mereka mengatakan, sebenarnya pengaruh sihir itu tidak ada. Baik berupa penyakit, pembunuhan, kerasukan, keterpikatan dan pengaruh-pengaruh lain. Semua itu hanyalah imajinasi orang-orang yang melihatnya, dan bukan sesuatu yang sebenarnya". [3]

Syaikh Salim bin 'Id al Hilali menjelaskan, ayat dan hadits di atas menegaskan bahwa sihir itu memang ada. Hakikat sihir itu benar-benar nyata, sama seperti perkara-perkara lainnya. Penjelasannya :
Pertama : Dalam surat al Baqarah ayat 102, Allah menyebutkan ilmu sihir dipelajari manusia. Sihir dapat menimbulkan mudharat. Di antaranya dapat memisahkan antara sepasang suami isteri. Lalu apakah kedua hal tersebut hanya sebuah ilusi dan tipuan belaka, ataukah hakiki? Jawabannya, hal itu benar-benar hakiki.
Kedua : Allah, Dia-lah Pencipta segala sesuatu, telah memerintahkan kita agar berlindung kepadaNya dari kejahatan tukang sihir. Allah berfirman : "Dan dari kejahatan-kejahatan wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul" [Al Falaq/113 ayat 4]. Ayat ini merupakan bukti, jika sihir itu benar-benar nyata. Pengaruhnya sangat jahat dan dapat menyakiti manusia dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Al Maziri berkata: "Mayoritas Ahlu Sunnah dan jumhur ulama menegaskan, sihir memang benar nyata. Sihir memiliki hakikat, sebagaimana perkara-perkara lainnya. Berbeda dengan orang-orang yang mengingkari hakikatnya dan menganggapnya sebagai halusinasi batil yang tidak riil. Allah telah menyebutkan sihir di dalam al Qur`an, dan menggolongkannya sebagai ilmu yang dipelajari. Allah juga menyebutkan, sihir merupakan perkara yang membuat kafir dan pengaruhnya dapat memisahkan suami isteri. Semua itu tidaklah mungkin bila tidak nyata. Hadits dalam bab ini juga menegaskan bahwa, sihir itu memang benar ada. Ilmu sihir termasuk ilmu yang terkubur, dan kemudian muncul kembali. Semua itu menyanggah perkataan orang-orang yang mengingkarinya. Dan menganggapnya tidak nyata, adalah suatu perkara yang mustahil". [4]

Al Khaththabi berkata: "Sejumlah pakar ilmu pengetahuan alam mengingkari adanya sihir dan menolak hakikatnya. Sementara itu, sejumlah ahli kalam (filosof) menolak hadits ini. Mereka berkata, sekiranya sihir dapat mempengaruhi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka sihir dikhawatirkan juga mempengaruhi wahyu, syariat yang diturunkan kepada beliau. Itu artinya penyesatan umat!"

Bantahannya: Sihir memang benar ada dan hakikatnya juga ada. Sejumlah bangsa, seperti bangsa Arab, Persia, India dan bangsa-bangsa Romawi menegaskan adanya sihir. Mereka merupakan penduduk bumi yang terutama, yang paling banyak memiliki ilmu dan hikmat.

Allah telah berfirman:

"… Mereka mengajarkan sihir kepada manusia… " [Al Baqarah/2:102]

Allah juga memerintahkan kita agar berlindung kepadaNya dari pengaruh sihir. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman : " Dan dari kejahatan-kejahatan wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul" [Al Falaq/113:4].

Telah dinukil secara shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam beberapa hadits. Orang-orang yang mengingkarinya, sama artinya mengingkari sesuatu yang terlihat nyata dan pasti adanya. Para ahli fiqh juga telah menyebutkan beberapa hukuman terhadap tukang sihir. Sesuatu yang tidak hakiki atau tidak riil tentu tidak mencari kepopuleran dan kemasyhuran seperti ini. Menafikan adanya sihir merupakan kejahilan. Membantah orang yang menafikannya merupakan perbuatan sia-sia dan tak ada gunanya.[5]

Ibnul Qayyim al Jauziyah berkata dalam kitab Badaa-i'ul Fawaa-id (II/227-228) : "Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : "Dan dari kejahatan-kejahatan wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul", [Al Falaq/113:4]. Dan hadits 'Aisyah Radhiyallahu 'anha di atas menetapkan adanya pengaruh dan hakikat sihir. Sebagian ahli kalam dari kalangan Mu'tazilah dan lainnya ada yang mengingkarinya. Mereka mengatakan, sebenarnya pengaruh sihir itu tidak ada. Baik berupa penyakit, pembunuhan, kerasukan, keterpikatan atau pengaruh-pengaruh lain. Menurut mereka, semua itu hanyalah halusinasi orang-orang yang melihatnya, dan bukan sesuatu yang nyata".

Perkataan mereka ini jelas menyelisihi riwayat-riwayat yang mutawatir dari para sahabat dan para salaf, serta kesepakatan para fuqaha, ahli tafsir, ahli hadits dan para pemerhati masalah hati dari kalangan ahli tasawwuf, serta seluruh orang-orang yang berakal sehat. Pengaruh sihir itu bisa berupa sakit, perasaan berat, kerasukan, pembunuhan, perasaan cinta, perasaan benci, dan pengaruh-pengaruh lain yang terjadi pada diri manusia. Semua itu benar-benar ada dan diketahui oleh kebanyakan manusia. Kebanyakan mereka benar-benar dapat merasakan sihir itu. Allah Subhanhu wa Ta'ala berfirman: "Dan dari kejahatan-kejahatan wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul", [Al Falaq/113 : 4].

Ayat di atas merupakan dalil bahwa, an nafats (hembusan sihir) dapat mendatangkan kejelekan bagi orang yang disihir dari arah yang tidak ia ketahui. Seandainya kejahatan itu hanya bisa terjadi dengan kontak badan secara lahir -sebagaimana dikatakan oleh kelompok yang mengingkari- niscaya kita tidak perlu berlindung dari kejahatan sihir dan wanita-wanita tukang sihir itu. Dan kenyataanya, para tukang sihir itu mampu mengelabui pandangan orang-orang yang menyaksikan sihirnya, padahal jumlah mereka begitu banyak, hingga mereka menyaksikan sesuatu yang bukan sebenarnya. Dan seketika itu juga, imajinasi yang melihat menjadi berubah.

Jadi, apa gerangan yang bisa merubah perangai, perkataan dan tabiat mereka? Apa bedanya antara perubahan yang nyata itu dengan perubahan sifat-sifat rohani dan jasmani lainnya? Jika ia merubah imajinasinya, sehingga melihat orang yang diam menjadi bergerak, sesuatu yang bersambung menjadi terputus, orang yang mati menjadi hidup, maka, apakah yang menyebabkannya berubah, sehingga orang yang dicintai menjadi dibenci? Dan sebaliknya orang yang dibenci menjadi dicintai dan pengaruh-pengaruh lainnya? Allah Subhanahu wa Ta'ala bercerita tentang tukang sihir Fir'aun:

"Mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan)". [Al A'raf/7 : 116].

Dalam ayat ini, Allah Azza wa Jalla menjelaskan pandangan mereka telah tersihir. Hal itu terjadi –mungkin- dengan merubah keadaan sesuatu yang mereka lihat, yakni tali-tali dan tongkat. Misalnya tukang-tukang sihir itu meminta bantuan kepada ruh jahat atau setan untuk menggerakkannya. Hingga orang-orang yang menyaksikan menyangka tali dan tongkat itu bergerak dengan sendirinya. Demikian juga misalnya, makhluk yang tak terlihat pandangan mata itu menyeret tikar atau permadani. Sehingga, tikar dan permadani itu akan tampak bergerak dengan sendirinya, tanpa ada yang menggerakan. Padahal setanlah yang menggerakkannya. Itulah yang sebenarnya terjadi. Setan-setan telah merubah tali dan tongkat itu menjadi seperti ular. Orang yang menyaksikan mengira, benda itu berubah dengan sendirinya. Padahal sebenarnya setanlah yang merubahnya. Bisa juga hal ini terjadi, karena sihir telah merubah keadaan orang-orang yang menyaksikan itu, hingga mereka menyaksikan tali dan tongkat itu seolah bergerak. Padahal, sebenarnya tidak. Maka tidak diragukan lagi, tukang-tukang sihir itu benar-benar melakukan hal tersebut.

Adakalanya juga dengan mempengaruhi imajinasi orang-orang yang melihatnya, sehingga mereka menyaksikan sesuatu yang bukan sebenarnya. Misalnya dengan merubah benda-benda yang dilihat dengan bantuan ruh-ruh jahat atau setan.

Adapun ucapan orang-orang yang mengingkari adanya pengaruh sihir, yang mengatakan bahwa para penyihir itu membuat tali-tali dan tongkat itu bisa bergerak sebagaimana air raksa yang bisa bergerak sendiri, jelas merupakan perkataan batil ditinjau dari berbagai aspek. Sekiranya demikian, tentu gerakan itu bukan bersifat imajinatif, tetapi gerakan riil. Juga bukan merupakan sihir yang mengecoh pandangan manusia. Namun lebih tepat disebut hasil teknologi.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Musa berkata,"Silakan kamu sekalian melemparkan," maka tiba-tiba, tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat lantaran sihir mereka". [Thaha/20:66].

Sekiranya gerakan itu merupakan tipuan sebagaimana yang disebutkan oleh orang-orang yang mengingkari, tentu gerakan itu bukan termasuk sihir. Dan juga, sekiranya hal itu sebuah tipuan -seperti kata mereka- tentu cara menangkalnya ialah dengan mengeluarkan air raksa yang ada di dalamnya, dan menjelaskan hakikat tipuan tersebut. Sehingga sudah tentu tidak perlu melemparkan tongkat untuk menelannya. Tipuan seperti ini tentu tidak perlu menangkalnya dengan bantuan para tukang sihir, tetapi cukup dengan bantuan para ahli teknologi. Dan tentunya, Fir'aun tidak perlu mengagungkan para penyihir itu dan tunduk kepada mereka. Fir'aun menjanjikan kedudukan yang tinggi dan balasan yang besar bagi mereka. Tentunya tidak akan dikatakan: "Sesungguhnya ia merupakan pemimpin kalian yang mengajarkan sihir kepada kalian". Sebab, teknologi juga dikuasai oleh orang lain dalam mempelajari dan mengajarkannya. Kesimpulannya, perkataan para pengingkar adanya sihir itu, sangat jelas kebatilannya, tidak susah membantahnya".

Oleh karena itu, sangat batil anggapan sebagian orang yang mengatakan "pelajarilah sihir, namun jangan diamalkan," atau "pelajarilah sihir untuk menolak sihir," dan perkataan lainnya yang bisa menjadi penyesalan pada hari Kiamat, bagi yang mengucapkannya.[6]

Tetapi anehnya, ahli filsafat era modern ini justru sangat percaya kepada sihir dan pengaruhnya. Bahkan, mereka tidak segan-segan mempelajari dan menerapkannya.

Syaikh Akram Dhiya' al Umari menjelaskan,"Collin Wilson mengungkapkan,'Sesungguhnya Inggris dan Amerika sekarang merangkul sejumlah tukang sihir. Jumlah mereka melebihi tukang sihir yang ada sejak zaman renaisance dahulu'."

Demikianlah, ilmu pengetahuan dan peradaban modern tidak mampu membebaskan akal manusia dari belitan khurafat dan mitos. Adapun Islam, telah memutus jalan bagi para tukang sihir dan paranormal, sejak empat belas abad yang lalu.[7]

Sudah dimaklumi bersama adanya hubungan erat antara dukun dan tukang sihir dengan ahli filsafat kuno, kaum mentalis dan penyembah bintang-bintang. Sebab, antara keduanya terdapat hubungan dan nasab. Golongan yang akhir merupakan generasi penerus bagi golongan yang pertama.

Asy Syahristani menjelaskan, mereka dapat melakukan trik-trik menakjubkan yang mereka peroleh melalui pengaruh bintang-bintang yang bisa mendatangkan perkara-perkara secara menakjubkan. Ilmu sihir yang tercantum dalam buku-buku sihir, perdukunan, ilmu nujum, jampi-jampi, bacaan-bacaan, gambar-gambar, semua itu merupakan bagian dari ilmu mereka.[8]

Oleh karena itu, pengaruh sihir ini tidak dapat diingkari, baik berdasarkan syariat maupun logika. Konsekwensi dari keyakinan tentang pengaruh nyata dari sihir ini ialah, menetapkan bahwa sihir merupakan tindak kejahatan dan kriminal. Dan para ulama menjatuhkan sanksi hukum yang berat kepada tukang sihir, yaitu hukuman mati.

Syariat telah menjelaskan keharamannya dan bertindak tegas atas pelakunya, dan menjadikannya sebagai perbuatan yang setara dengan syirik. Sebab setan tidak akan membantu tukang sihir, hingga mereka kafir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebagai contoh, telah dinukil dari sejumlah tukang sihir, yaitu beberapa perbuatan keji dan kufur. Salah seorang dari mereka meletakkan lembaran mushaf al Qur`an di bawah tikar, agar dapat ia pijak dengan kakinya. Dan ada pula yang menggunakannya sebagai tissu untuk istinja`, wal iyadzu billah.

Sehingga, barangsiapa didapati melakukan praktek sihir, maka hukumnya kafir. Adapun sebagai hukumannya, maka orang tersebut dibunuh, sebagaimana telah dilakukan oleh Jundab bin Abdillah Radhiyallahu 'anhu, dan begitu juga yang diperintahkan Umar bin al Khaththab Radhiyallahu 'anhu, serta telah dilaksanakan oleh kaum Muslimin. Demikian pula telah dinukil secara shahih dari Hafshah binti Umar Ummul Mukminin Radhiyallahu 'anuma, bahwa ia telah membunuh seorang perempuan tukang sihir dan mengaku telah melakukan sihir kepadanya. Dan ini merupakan kesepakatan para sahabat Radhiyallahu 'anhum. Hal ini bertolak dari pengaruh langsung dan nyata dari praktek sihir tersebut. Kalaulah sihir hanya merupakan ilusi orang-orang yang melihatnya, atau tidak ada pengaruh terhadap yang disihir, tentu hukumannya tidak seperti itu.
Wallahu a'lam.

Maraji` :
1. Tafsir Surat al Falaq dan surat an Naas, Muhammad bin Abdul WAhhab.
2. Mausu’ah Manaahi asy Syar’iyyah, Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali.
3. Sirah Nawabiyah Shahihah, Akram Dhiyaa` al Umari.
4. Al Ibanah ‘an Ushulid Diyanah, Abul Hasan al Asy’ari.
5. Syarah Aqidatuth Thahaawiyah, Ibnu Abil 'Izzi.
6. Al Milal wan Nihal, asy Syahristaani.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun X/1427H/2006M, Rubrik Mabhats, Alamat Redaksi : Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo - Solo 57183, Telp. 0271-5891016]
________
Footnote
[1]. Silakan lihat Syarah Aqidatuth Thahawiyah, Ibnu Abil 'Izzi, hlm. 505.
[2]. Al Ibanah 'an Ushulid Diyaanah, , Abul Hasan al Asy'ari, hal. 54.
[3]. Tafsir Surat al Falaq dan Surat an Naas, Muhammad bin Abdul Wahhab, hlm. 3-4.
[4]. Dinukil oleh Imam an Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim, IV/174, dan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, X/222-223. Dan keduanya membenarkan ucapan tersebut.
[5]. Al Baghawi menukilnya dalam kitab Syarah Sunnah, XII/187-188, dan membenarkannya
[6]. Mausu'ah Manaahi Syar'iyyah, Syaikh Salim bin 'Id al Hilali, Juz 1, bab larangan sihir, dengan sedikit perubahan.
[7]. Sirah an Nawabiyah Shahihah, Akram Dhiyaa' al 'Umari, juz kedua.
[8]. Al Milal wan Nihal, hlm. 304.

Bluesky studio
Shoffiyah Az Zahra

Membongkar Kesesatan Dan Penyimpangan Gerakan Dakwah Ikhwanul Muslimin

SEJARAH IKHWANUL MUSLIMIN

Ikhwanul Muslimin adalah pergerakan Islam - yang didirikan oleh Hasan Al-Banna (1906-1949 M) di Mesir pada tahun 1941 M. Diantara tokoh-tokoh pergerakan itu ialah : Said Hawwa, Sayyid Quthub, Muhammad Al-Ghazali, Umar Tilimsani, Musthafa As-Siba`i, dan lain sebagainya.

Sejak awal mula didirikan pergerakan ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran Jamaludin Al-Afghani, seorang penganut Syi`ah Babiyah, yang berkeyakinan wihdatul wujud. Dan keyakinan bahwa kenabian dan kerasulan diperoleh lewat usaha, sebagaimana halnya menulis dan mengarang. Dia (Jamaludin Al-Afghani) kerap mengajak kepada pendekatan Sunni-Syiah [Tidak,..Demi Allah . Hal ini tidak akan terwujud.Semua ini hanyalah khayalan biasa laksana menanam di lautan.Bagaimana tidak , dapatkah api bersatu dengan air ??-cat kaki], bahkan juga mengajak kepada persatuan antar agama [lihat dakwah Ikhwanul Muslimin fi Mizanil Islam. Oleh Farid bin Ahmad bin Manshur hal. 36)]

Gerakan itu lalu bergabung ke banyak negara seperti: Syiria, Yordania, Iraq, Libanon, Yaman, Sudan dan lain sebagainya. (lihat Al-Mausu`ah Al-Muyassarah hal. 19-25). Ia (Jamaludin Al-Afghani) telah dihukumi /dinyatakan oleh para ulama negeri Turki, dan sebagian masyayikh Mesir sebagai orang Mulhid, kafir, zindiq, dan keluar dari Islam.


Farid bin Ahmad bin Manshur menyatakan bahwa Ikhwanul Muslimin banyak dipengaruhi oleh pemikiran Jamaludin Al-Afghani pada beberapa hal, diantaranya:

[1]. Menempatkan politik sebagai prioritas utama
[2]. Mengorganisasikan secara rahasia
[3]. Menyerukan peraturan hukum demokrasi
[4]. Menghidupkan dan menyebarkan seruan nasionalisme
[5]. Mengadakan peleburan dan pendekatan dengan Syiah Rafidhah, berbagai kelompok sesat, bahkan kaum Yahudi dan Nashrani. [Lihat Ad-Dakwah hal 47}

Oleh sebab itu, jamaah Ikhwanul Muslimin banyak memiliki penyimpangan dari kaidah-kaidah Islam yang dipahami As-Salaf As-Shalih. Di antara penyimpangan tersebut misalnya:

TIDAK MEMPERHATIKAN MASALAH AQIDAH DENGAN BENAR

(Syaikh Abdul Aziz bin Bazz berkata sebagaimana dalam majalah Al-Majalah edisi 806 tanggal 25/2/1416 H halaman 24 :.."Harokah Ikhwanul Muslimin telah dikritik oleh para ahlul 'ilmi yang mu'tabar ? terkenal-.Salah satunya (karena) mereka tidak memperhatikan masalah da'wah kepada tauhid dan memberantas syirik serta bid'ah.

Maka sewajibnya bagi Ikhwanul Muslimin untuk memperhatikan da'wah Salafiyah da'wah kepada tauhid, mengingkari ibadah kepada kubur-kubur dan meinta pertolongan kepada orang-orang yang sudah mati seperti Hasan, Husein, Badawi dan sebagainya.Wajib bagi mereka untuk mempunyai perhatian khusus dengan makna Laa Ilaaha Illallah Karena inilah pokok agama dan suatu yang pertama kali didakwahkan oleh Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam yang mulia di kota Mekkah!!) Bukti nyata bahwa jama'ah Ikhwanul Muslimin tidak memeperhatikan perkara aqidah dengan benar, adalah banyaknya anggota-anggota yang jatuh dalam kesyirikan dan kesesatan, serta tidak memiliki konsep aqidah yang jelas.

Hal itu juga bahkan terjadi pada para pemimpin dan tokoh-tokohnya, yang menjadi ikutan bagi anggota-anggotanya seperti: Hasan Al-Banna, Said Hawwa, Sayyid Quthub, Muhammad Al-Ghazali, Umar Tilimsani, Musthafa As-Siba`i dan lain sebagainya.

Seorang tokoh Islam (Muhammad bin Saif Al-A`jami) menceritakan bahwa Umar Tilimsani yang menjabat Al-Mursyidu Al-`Am dalam organisasi Ikhwanul Muslimin dalam jangka waktu yang lama, pernah menulis buku yang berjudul "Syahidu Al-Mihrab Umar bin Al-Khattab (Umar bin Al-Khattab yang wafat syahid dalam mihrab) "Buku ini penuh dengan ajakan kepada syirik, menyembah kuburan, membolehkan beristighatsah kepada kuburan dan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla di samping kubur. Tilimsani juga menyatakan bahwa kita TIidak Boleh melarang dengan keras penziarah kubur yang melakukan amalan seperti itu.

Coba simak teks perkataannya pada hal 225-226: "Sebagian orang menyatakan bahwa Rasulullah memohonkan ampun untuk mereka (penziarah kubur) tatkala beliau masih hidup saja. Tetapi saya tidak mendapatkan alasan pembatasan itu pada masa hidup beliau saja. Dan di dalam Al-Quran, tidak ada yang menunjukkan adanya pembatasan tersebut".

Di sini, dia menganggap bahwa memohon kepada Rasulullah sesudah kematian beliau, beristighatsah dan beristghfar dengan perantaraannya, hukumnya boleh-boleh saja. Pada hal 226 dia juga menyatakan: "Oleh karena itu saya cenderung kepada pendapat yang menyatakan bahwa beliau telah memohonkan ampunan dikala beliau masih hidup, maupun sesudah matinya - bagi siapa yang mendatangi kuburan yang mulia".

Pada halaman yang sama dia juga menyebutkan :"Oleh karena itu, kita tidak perlu berlaku keras dalam mengingkari orang yang meyakini karamah para wali, sambil berlindung kepada mereka di kuburan-kuburan mereka yang disucikan, berdoa kepada mereka tatkala tertimpa kesusahan. Yang juga mereka yakini bahwa karamah para wali tersebut termasuk kemu`jizatan para nabi."

Kemudian pada halaman 231 ia menyatakan: "Maka kita tidak perlu memerangi wali-wali Allah Azza wa Jalla dan orang-orang yang menziarahi serta berdoa disamping kuburan-kuburan mereka".

Demikianlah, tidak ada satupun bentuk syirik terhadap kuburan yang tidak dibolehkan sebagaimana yang dikatakan oleh ``Al-Mursyidu Al-`Am dari Ikhwanul Muslimin itu. Karena kegandrungannya dan kecintaannya yang mendalam terhadap bentuk-bentuk perbuatan syirik dan kufur semacam inilah, sehingga Tilimsani menyatakan: "Maka kita tidak perlu memerangi (orang yang mereka anggap) wali-wali Allah Azza wa Jalla dan orang-orang yang menziarahi serta berdoa disamping kuburan-kuburan mereka".

Tilimsani sendiri juga hidup di Mesir yang terdapat banyak kuburan-kuburan dimana dilakukan syirik terbesar, bahkan lebih besar dari syirik ummat jahiliyah pertama.Kuburan-kuburan dijadikan tempat berthawaf dan tempat memohon segala sesuatu yang seharusnya hanya ditujukan kepada Allah .

Di antara yang mereka anggap wali, kebanyakannya adalah kumpulan orang-orang zindiq dan mulhid, seperti: Sayyid Da`iyyah fathimi yang tak pernah melakukan shalat. Diantaranya juga ada Kaum Sufi yang "keblinger", seperti: Syadzili, Dasuki, Qonawi dan lain sebagainya, yang ada disetiap kota dan pedesaan. Orang-orang itulah yang jadi wali-wali mereka. Dan kuburan-kuburan mereka itulah yang dipublikasikan oleh ''Al-Mursyidu Al-`Am/pemimpin umum'' dari Ikhwanul Muslimin itu.

Dia kembali menyatakan pada halaman 231 sebagai berikut: ''Meskipun hati saya sudah demikian cinta, suka dan bergantung kepada wali-wali Allah itu, meskipun saya amat gembira dan senang menziarahi mereka di tempat-tempat kediaman abadi mereka dengan melakukan hal-hal merusak aqidah tauhid - menurut anggapannya - akan tetapi saya tidak berorientasi penuh untuk mempropagandakannya. Hal itu hanya sebatas soal intuisi/perasaan.

Dan saya katakan kepada mereka yang bersikap ekstrim dalam mengingkarinya: "Tenanglah, di dalam masalah ini tidak ada perbuatan syirik, penyembahan berhala, maupun ilhad/kekufuran.''

Maka apalagiI yang bisa diharapkan dari keyakinan yang merancukan aqidah dan tauhid, sehingga berdoa kepada orang yang sudah mati disamping kuburan-kuburan mereka kala ditimpa kesusahan dianggap hanya soal perasaan yang tidak mengandung syirik dan penyembahan berhala, seperti yang diungkapkan Al-Mursyidu Al-`Am dari Ikhwanul Muslimun tersebut ?

Mushthafa As-Siba`i, Al-Mursyidu Al-`Am dari Ikhwanul Muslimin dari Syiria pernah menggubah qashidah yang dibacakannya di kuburan Nabi. Yang di antara bait-baitnya adalah: ''Wahai tuanku, wahai kekasih Allah. Aku datang diambang pintu kediamanmu mengadukan kesusahanku karena sakit. Wahai tuanku, telah berlarut rasa sakit dibadanku. Karena sangat sakitnya, akupun tak dapat mengantuk maupun tidur.....'' [Lihat Al-Waqafat hal. 21-22]

Dari kedua bait diatas, kita dapat memahami bahwa dia telah melakukan istighatsah kepada Rasulullah yang jelas merupakan perbuatan syirik yang dilarang oleh Allah dan Rasulullah-Nya Shalallahu 'Alaihi wa Sallam .

Hasan Al-Banna juga mengambil aqidah dari thariqot sufiah quburiah yang bernama Al-Hashofiah. Dia berkata dalam kitabnya Mudzakkirot Ad-Dakwah Ad-Adalah'iah hal-27 :"Aku bersahabat dengan para anggota kelompok hasafiah di Damanhur. Dan aku selalu hadir setiap malam (bersama mereka) di mesjid At-Taubah."

Berkata Jabir Rozaq dalam kitabnya "Hasan Al-Banna bi Aqlami talamidzatihi wa ma'asirihi" hal-8 :"Dan di Damanhur mejadi kokohlah hubungan Hasan Al-bana dengan anggota-anggota al-Hashofiah,dan beliau selalu hadir setiap malam bersama mereka di masjid at-Taubah. Dia ingin mengambil (pelajaran) thariqot mereka sehingga berpindah dari tingkatan mahabbah ke tingkatan at-taabi' al-mubaya" [Lihat Da'wah al-Ikhwan al-Muslimin hal-63]

Bahkan Hasan Al-Banna sendiripun sebagai pendiri jamaah Ikhwanul Muslimin, nampak sebagai orang yang awam dalam perkara aqidah tauhid. Disebutkan dalam buku Al-Waqafat hal. 21-22, bahkan dia pernah berkata: ''Dan doa kepada Allah ababila disertai tawassul/mengambil perantaraan salah satu makhluknya adalah perselisihan furu` dalam cara berdoa, dan bukan termasuuk perkara aqidah.''

Dalam masalah asma` dan sifat Allah, dia termasuk pengikut madzhab Tafwidh, yaitu madzhab yang tidak mau tahu dan meyerahkan begitu saja perkara asma` dan sifat Allah, tanpa meyakini apa-apa. Itu adalah madzhab sesat, bukan sebagaimana madzhab As-Salaf As-Shalih yang meyakini makna-makna asma` dan sifat Allah, namun menyerahkan hakikat/bagaimana asma` dan sifat tersebut kepada-Nya.

Hasan Al-Banna menyatakan dalam buku Al-Aqaid hal. 74: ''Sesungguhnya pembahasan dalam masalah ini (asma` dan sifat), meski dikaji secara panjang lebar, akhirnya akan menghasilkan kesimpulan yang sama, yaitu tafwidh (tersebut di atas)[Syaikhul Islam berkata dalam kitabnya "Daaru ta'arubil aqli wa naqli ,Juz 1 hal 201-205 :

"Adapun tafwidh, maka sudah merupakan hal yang maklum, bahwa Allah memerintahkan kita semuanya untuk merenungi Al Qur'an, memahaminya, dan menghayatinya, maka bagaimanakah kita akan berpaling dari memahaminya dan mendalaminya,...hingga beliau berkata : "Dari sini jelaslah bahwa perkataan ahlu tafwidh yang mengaku mengikuti Sunnah dan Salaf termasuk sejelek-jelek perkataan ahlu bid'ah dan ilhad (lih pula qowaidhul mutsla hal 44 oleh Syaikh Sholeh Utsaimin)].

Tokoh besar mereka yang lain yang serupa keadaannya adalah Sa`id Hawwa. Dia beranggapan bahwa umat Islam pada setiap masanya, (lebih banyak -red) yang beraqidah Asy-`Ariyyah-Maturidiyyah (termasuk golongan pentakwil sifat). Sehingga dengan itu beliau berangapan bahwa itulah aqidah yang sah dalam Islam. (lihat jaulah fil fiqhain - Sa`id Hawwa).

Sayyid Quthub pun memiliki aqidah wihdatul wujud. Dia berkata dalam kitabnya Dzilalu Al-Qur'an jilid 6 hal-4002 : "Hakekat yang ada adalah wujud yang satu. Maka di alam ini tidak ada yang hakekat kecuali hakekat Allah. Dan di sana tidak ada wujud yang hakiki kecuali wujud-Nya. Perwujudan selain Allah hanyalah sebagai perwujudan yang bersumber dari perwujudan yang hakiki itu".

[Tentang Sayyid Qutb ,maka sungguh Syaikh Robi' Ibnu Hadi Al-Madkhali telah mewakili segenap para 'ulama dan para penuntut ilmu dalam mengungkap kesesatan dan penyimpangannya (Sayyid Qutb), yaitu dalam 4 buah kitabnya :

[1]. Adzwa' Islamiyyah 'alaa Aqidati Sayyid Quthub,
[2]. Mathoin Sayyid Quthub fii Ash-Shahabah
[3]. Al-awaashim minma fii kutubi sayyid Quthub min Al-Qawasim
[4]. Al-Haddul faashil bainal haqqi wal bathil.

Ringkasnya "celaannya” (Sayyid Qutb) kepada Musa Alaihi Salam, celaannya kepada para shahabat Radhiallahu anhum, khususnya Ustaman bin Affan Radhiallahu anhu , perkataannya bahqwa Al-Qur’an adalah Mahluk, dan WIihadtul Wujud, Menta’thil (mengingkari) sifat-sifat Allah sebagaimana Jahmiyyah, tidak menerima hadits-hadits ahad yang shahih dalam aqidah,..dsb- lebih jelasnya bacalah kitab-kitab diatas dan sudah tercetak]

Selain itu dia juga tidak bisa membedakan antara tauhid rububiah dan tauhid uluhiah. Dan dia menyangka bahwa yang menjadi perselisihan antara para Nabi dengan umat mereka adalah dalam masalah tauhid rububiah bukan uluhiah.

Dia berkata dalam Dziilalu Al-Qur'an 4/1847 : " Bukanlah perselisihan seputar sejarah antara jahiliah dan Islam, dan bukan pula peperangan antara kebenaran dan thogut pada masalah uluhiah Allah ...." dan juga perkataannya dalam hal-1852: "Hanya saja perselisihan dan permusuhan adalah pada masalah siapakah Rob manusia yang menghukumi manusia dengan syari'at-Nya dan mengatur mereka dengan perintah-Nya dan memerintahkan mereka untuk beragama dan taat kepada-Nya" [Lihat Adwa'un Islahiah karya Syaikh Robi' pada hal-65]


MENGHIDUPKAN BID'AH

Jamaah Ikhwanul Muslimin juga banyak sekali menghidupkan bidah. Sa`id Hawwa menyatakan dalam bukunya At-Tarbiyyah Ar-Ruhiyyah (pembinaan mental): ''Ustadz Al-Banna beranggapan bahwa menghidupkan hari-hari besar Islam (selain dua hari `ied), adalah termasuk tugas harakah-harakah (gerakan) Islam. Beliau juga menganggap bahwa suatu hal yang aksiomatik alias pasti, kalau dikatakan bahwa pada zaman modern ini memperingati hari besar semacam maulid nabi dan yang sejenisnya, dapat diterima secara fiqih dan harus mendapat prioritas tersendiri.

Dikisahkan juga oleh Mahmud Abdul Halim dalam bukunya Ahdats Shana`atha At-Tarikh (1/109) bahwa ia sering bersama-sama Hasan Al-Banna menghadiri maulid nabi. Ia (Hasan Al-Banna) sendiri terkadang maju kepentas untuk menyanyikan nasyid (nyanyian) maulid nabi dengan suara keras dan nyaring. Setelah menukil banyak kisah Al-Banna tersebut, Syaikh Farid berkomentar:

''Semoga Allah memerangi pelaku-pelaku bidah. Alangkah bodohnya mereka, alangkah lemahnya akal mereka. Sesungguhnya mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak pantas dilakukan bahkan oleh anak kecil sekalipun.''

Dalam lembaran-lembaran majalah Ad-Dakwah, yang dipimpin oleh Umar At-Tilimsani tatkala dia masih menjabat salah satu Mursyid partai Ikhwanul Muslimin (nomor 21 hal 16/Rabi`ul Awwal 1398 H), tercetus banyak ungkapan yang penuh dengan kebidahan dan ghuluw (pengkhutusan/berlebih-lebihan) terhadap Nabi.

Di antaranya dalam makalah di bawah judul : Fi dzikra maulidika ya dhiya` Al-Alamin (dalam memperingati hari kelahiranmu, wahai sinar alam semesta)

TA'ASHUB / FANATIK TERHADAP PENDAPAT ULAMANYA

Syaikh Muqbil menyatakan dalam Al-Makhraj Minal Fitan hal. 86: ''(banyak) dari kalangan pengikut Ikhwanul Muslimin yang mengetahui bahwa mereka bodoh dalam masalah dien. Apabila kita menyatakan kepadanya : ini halal, atau ini haram adalah sudah kita tegakkan dalil-dalilnya, ia akan mengelak sambil menjawab: Yusuf Qordhawi di dalam al-halal wal haram bilang begini, Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah, atau Hasan Al-Banna di dalam Ar-Rasail atau Sayid Quthub dalam tafsir Fi Dzi lalil Quran bilang begini! Bolehkah dalil-dalil yang jelas dipatahkan dengan ucapan-ucapan mereka?''

Karena itulah banyak diantara mereka yang masih meremehkan hukum ''merokok'' misalnya, yang telah ditegaskan keharamannya oleh ulama ahlul hadits, lewat berbagai tinjauan, karena mengikuti fatwa syaikh mereka Yusuf Qordhawi yang tidak jelas dalam menerangkan hukumnya.

MANHAJ DAKWAH YANG MELENCENG DARI SYARIAH

Kerusakan manhaj dakwah mereka diawali oleh propaganda "Tauhidu As-Sufuf" (menyatukan barisan) kaum muslimin yang mereka dengung-dengungkan. Dimana propaganda itu berkonotasi mengabaikan adanya berbagai penyimpangan aqidah yang membaluti tubuh umat Islam. Menurut mereka, cukup kita meneriakan : wa Islamah (wahai Islam), maka kita pun bersatu.

Hasan Albana pernah berkata :
"Dakwah Ikhwanul Muslimin tidaklah ditujukan untuk melawan satu aqidah, agama, ataupun golongan, karena faktor pendorong perasaan jiwa para pengemban dakwah jama'ah ini adalah berkeyakinan fundamental bahwa semua agama samawi berhadapan dengan musuh yang sama, yaitu atheisme� [Lihat qofilah Al-Ikhwan As-siisi 1/211].

Utsman Abdus Salam Nuh mengomentari ucapan itu dalam bukunya At-Thoriq ila Jama'ati Al-Umm halaman 173: "Bagaimana bisa disebut dakwah Islamiah, kalau tidak sudi memerangi aqidah-aqidah yang menyimpang, sedangkan Islam sendiri diturunkan untuk memberantas berbagai penyimpangan keyakinan dan membersihkan hati manusia dari keyakinan-keyakinan itu.

Inti pemahaman inilah yang akhirnya melahirkan gerakan yang disebut Pan Islamisme, yang menyatukan umat Islam dengan berbagai keyakinannya dibawah satu panji. Ikhwanul Muslimin juga banyak mempergunakan berbagai sarana yang tidak sesuai dengan syari'at untuk mengembangkan dakwahnya.

Diantaranya : Mengadakan pertunjukan sandiwara. Dalam hal ini, Syaikh Muqbil memberikan tanggapan :"Sesungguhnya pertunjukan sandiwara itu, kalaupun tidak dikatakan dusta, amatlah dekat dengan kedustaan. Kita meyakini keharamannya, selain itu juga bukan merupakan sarana dakwah yang dipergunakan ulama kita terdahulu."

Imam Ahmad meriwayatkan satu hadits dari Ibnu Mas'ud , bahwasanya Rosulullah bersabda : Manusia yang paling keras disikda hari kiamat nanti ada tiga : Orang yang membunuh seorang nabi atau dibunuh olehnya, seorang pemimipin yang sesat dan menyesatkan, dan pemain lakon (mumatsil). [Dalam musnadnya I/407, berkata Ahmad Syakir dalam ta'liknya IV/65 :Sanadnya shahih , dan di shahihkan pula oleh Syaikh Al Bany dalam Ash Shohihah no. 281]

Beliau melanjutkan :``Yang dimaksud mumatsil disitu adalah pelukis atau orang yang melakonkan perbuatannya di hadapan orang lain. Sebagaimana ditegaskan dalam kamus``. (lihat Al-Makhroj ? Minal Fitan halaman 90). Para ulama juga lebih mengharamkan (sandiwara) lagi, tatkala sering terjadi dalam sandiwara seseorang harus memerankan diri sebagai orang kafir, bahkan penyembah berhala yang mempraktekkan ibadahnya di hadapan patung. Dan banyak lagi yang lainnya.

[Syaikh Dr. Sholeh Al Fauzan menjelaskan :"Pendapat saya , bahwa sandiwara (itu) Tidak Boleh!! Karena bebarapa sebab :

[1]. Tujuan sandiwara adalah membuat para hadirin tertawa
[2]. Tasyabuh dengan orang-orang yang tidak baik
[3]. Cara da'wah seperti ini bukanlah cara da'wah yang dicontohkan nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam dan para Salafusholih. Sandiwara-sandiwara tersebut tidaklah dikenal kecuali dari orang-orang kafir yang menular kepada kaum muslimin dengan alasan da'wh.dpun menjdikn sandiwara sebagai wasilah da'wah “ini Juga Tidak Benar, karena wasilah da'wah adalah Taufiqiyah/ sudah tetap diatur.lih. Al Ajwibatu mufidah hal :62-63]

[Syaikh Bakar Abu Zaid berkata dalam bukunya :At-Tamstil" hal 18: "Akhirnya para ulama peneliti mengetahui bahwa bibit sandiwara ini dari syiar ibadah orang-orang Yunani." .Syaikh Hamud ibnu Abdillah at-Tuwajiri juga menegaskan :"Sesungguhnya menjadikan sandiwara sebagai sarana da'wah kepada Allah bukanlah termasuk Sunnah Rasul dan Sunnah Khulafaur Rasyidin.Akan tetapi ini adalah cara da'wah yang diada-adakan di jaman kita. Lihat Al Hujjatul Qowiyyah hal :64-64 oleh Syaikh Abdussalam Ibnu Barjas, cet Daarussalaf]

MENDAHULUKAN URUSAN POLITIK DARIPADA SYARI'AT

Meski secara lahir, jama'ah Ikhwanul Muslimin selalu menggembar-gemborkan harus tegaknya kekuasaan Islam, namun secara mengenaskan mereka hanya menjadikan itu sebagai slogan umum yang aplikasinya meninggalkan dakwah tauhid dan menjejali orang awam hanya dengan propaganda politik mereka.

Kita sudah bosan dengan dengungan politik yang membuat manusia jahil dengan agamanya, mereka hidup terpecah belah dengan tidak mengenal agamanya, tidak mengenal bagaimana shalat yang sesuai dengan sunnah RasulNya Shalallahu 'Alaihi wa Sallam .Apakah kita akan menyibukkan manusia dengan politik ???Padahal keadaan umat seperti ini ???Mengapa manusia tertipu dengan slogan ini , padahal jika mansuia belajar dien, maka dengan sendirinya manusia akan menolak yang berasal dari luar agamanya.

Contohnya, ketika mereka mengakui bahwa syarat pemimpin Islam yang ideal adalah ilmu dan taqwa, mereka justru mengangkat Mujadidi sebagai pemimpin Afghanistan, hanya demi menyenangkan banyak pihak termasuk dunia barat.

Hal itu diungkapkan oleh Abdullah Al-Azham dalam majalah Al-Jihad nomor 52 maret 1989 : "Mujadidi adalah profil pemimpin ideal menurut dunia Internasional khususnya barat. Hal itu akan memuluskan jalan Afghanistan untuk menjadi negara yang diakui di dunia secara formal....." (At-Thoriq 214) juga akan kita dapati, bahwa para pengikut gerakan Ikhwanul Muslimin lebih banyak berbicara dan mengulas tentang politik daripada aqidah, dalam majalah, buku-buku bahkan di podium-podium, sampai-sampai dikala menyampaikan khotbah jum'at."

Masih banyak lagi penyimpangan dakwah Ikhwanul Muslimin yang tak mungkin dirinci disini satu persatu. Semuanya sudah banyak diulas ulang oleh para ulama ahlul Hadits. Yang jelas, gerakan ini turut membidani kelahiran berbagai gerakan sejenis di berbagai negara. Di Libanon seperti At-Tauhid, di Palestina Hammas, di Mesir Jama'ah Islamiah, di Aljazair FIS, di Malaysia Darul Arqom, di Indonesia seperti NII (Negara Islam Indonesia) yang sebelumnya dikenal dengan Darul Islam atau DI TII, Al-Usroh, Komando Jihad, JAMUS (Jama'ah Muslimin), dan lain-lain.


Bluesky studio
Shoffiyah Az Zahra

Apa Yang Harus Anda Lakukan Dalam Kondisi Berikut (Bagian 4)



Berikut lanjutan dari serial “maadza taf’alu fii haalatit taliyah” karya Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Munajid. Pada bagian ini, kita akan lebih banyak membahas masalah lupa ketika shalat dan sujud sahwi.
Ketika shalat jamaah sedang berlangsung, tiba-tiba imam teringat bahwa dia belum bersuci, apa yang dilakukan?

Ada tiga cara yang bisa dilakukan imam:

Pertama, dia membatalkan shalat, keluar dari jamaah, dan menunjuk salah seorang di belakangnya untuk menggantikan posisinya sebagai imam hingga shalat selesai. Sebagaimana terdapat riwayat dari Umar, Ali, Alqamah, dan Atha’. Diantaranya adalah riwayat dari Umar bin Khatab radliallahu ‘anhu, bahwa setelah beliau ditikam Abdullah bin Saba’, umar memegang tangan Abdurrahman bin Auf, dan menyuruhnya untuk menggantikan posisinya. Hadits ini diriwayatkan Bukhari (7/60). Tindakan Umar ini dilakukan di depan para sahabat dan tidak ada satupun yang mengingkarinya, sehingga dihukumi sebagai kesepakatan mereka.
Kedua, imam membatalkan shalat dan tidak menunjuk pengganti. Kemudian masing-masing makmum shalat sendiri-sendiri. Ini adalah pendapat Imam as-Syafi’i.

Ketiga, imam menyuruh makmum untuk tetap diam di tempat (tidak membatalkan shalat), kemudian imam bersuci, lalu kembali ke tempat semula dan melanjutkan shalat jamaah. Ini berdasarkan hadits dari Abu Bakrah radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم، دخل في صلاة الفجر فأومأ بيده أن مكانكم ثم جاء ورأسه يقطر فصلى بهم

Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami sahabat shalat subuh. Tiba-tiba beliau berisyarat kepada para sahabat agar tetap berada di tempatnya (kemudian beliau pergi), lalu beliau kembali, sementara kepalanya meneteskan air, dan beliau shalat jamaah bersama mereka. (HR. Abu Daud no. 233 dan dishahihkan al-Albani).

Imam Abu Daud membuat judul bab untuk hadits ini:

باب فى الجنب يصلى بالقوم وهو ناس

Bab, orang junub mengimami shalat jamaah karena lupa. (Sunan Abu Daud, 1/93)
Dalam Syarh Abu Daud, Imam al-Khatabi mengatakan:
Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa jika ada imam yang shalat dalam keadaan junub, sementara makmum tidak tahu bahwa imam junub maka shalatnya tetap dilanjutkan dan tidak wajib diulangi. Sedangkan imam wajib mengulangi shalatnya. (Ma’alimus Sunan, 1/78)

Makmum melihat aurat imam terbuka dari belakang ketika shalat, baik karena bajunya robek atau terlalu ketat sehingga tertarik. Apa yang harus dilakukan makmum?

Ada dua cara yang bisa dilakukan makmum:

Pertama, dia maju kemudian membenahi pakaian imam atau menutupinya dengan kain yang lain. Cara pertama ini jika memungkinkan untuk dilakukan.

Kedua, membatalkan shalatnya dan keluar dari jamaah, kemudian mengingatkan imam. Misalnya dengan mengatakan: tutup aurat anda atau semacamnya.

Makmum yang mengetahui aurat imam terbuka tidak boleh diam saja dan tetap melanjutkan shalat. Karena dia mengetahui bahwa shalatnya imam tidak sah (dengan terbukanya aurat, pen), sehingga bermakmum di belakangnya juga tidak sah.
Demikian keterangan dari Fatwa Syaikh Ibn Baz secara lisan.

Jika imam lupa salah satu ayat yang dia baca, sementara tidak ada satupun makmum yang mengingatkannya, apa yang harus dilakukan?

Jika ayat yang kelupaan itu selain al-Fatihah maka Imam bisa melakukan beberapa pilihan:
a. Berhenti membaca dan langsung rukuk
b. Membaca ayat atau surat yang lain
Akan tetapi jika yang kelupaan adalah bacaan al-Fatihah maka wajib dibaca semuanya dan tidak boleh ada yang salah atau lupa. Karena membaca al-Fatihah merupakan rukun shalat.
Fatwa Ibnu Baz dalam Fatawa Islamiyah no. 396.

Bagaimana jika makmum lupa membaca al-Fatihah atau salah dalam membaca al-Fatihah? Padahal tidak mungkin ada yang mengingatkan.

Shalatnya makmum tetap sah, selama dia berjamaah bersama imam yang shalatnya sah. Dalilnya adalah hadits Abu Bakrah radliallahu ‘anhu, yang ikut bergabung ke dalam jamaah, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang rukuk, dan dia tidak membaca al-Fatihah.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:

زادك الله حرصاً ولا تعد

“Semoga Allah menambahkan semangatmu, dan jangan diulangi” (HR. Bukhari, no. 750)
Maksud beliau adalah jangan diulangi sikap buru-buru, karena Abu Bakrah datang sambil berlari untuk mengejar rukuknya imam.

Berdasarkan hadits ini, jika makmum lupa membaca al-Fatihah atau tidak bisa membacanya atau dia mulai ikut shalat jamaah ketika imam sedang rukuk, maka dalam kondisi ini shalatnya sah dan tidak perlu diulangi. Karena dia tidak tahu, atau lupa. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama.
Fatwa Syaikh Ibn Baz dalam Fatawa Islamiyah, 1/263

Jika ada orang yang shalat melakukan i’tidal, setelah berdiri dia ingat bahwa dia belum membaca : subhana rabbiyal adziim ketika rukuk. Apa yang harus dilakukan?

Orang ini tidak boleh kembali rukuk. Karena kesempatan membaca doa rukuk telah berlalu dengan dia mulai i’tidal. Jika dia tetap kembali rukuk dengan sengaja maka shalatnya batal. Karena dia dianggap menambahi rukun shalat, yaitu rukuk dua kali dalam satu rakaat. Jika dia kembali rukuk karena lupa maka salatnya tidak batal.

Selanjutnya, dalam kondisi lupa membaca doa rukuk, hendaknya dia melakukan sujud sahwi, jika dia salat sendirian atau menjadi Imam. Karena membaca doa rukuk hukumnya wajib dan bisa ditutupi dengan sujud sahwi jika kelupaan.

Adapun jika dia sebagai makmum maka kewajiban itu gugur, ketika dia lupa membacanya. Sehingga tidak perlu sujud sahwi.
(al-Mughni dengan as-Syarh al-Kabir, 1/679)

Jika imam salam, kemudian makmum yang masbuq berdiri untuk menyempurnakan rakaat yang ketinggalan, tiba-tiba imam sujud sahwi setelah salam. Apa yang harus dilakukan makmum tersebut?

Ada dua pilihan yang bisa dia lakukan, sesuai kondisinya:
a. Jika makmum belum berdiri sempurna maka dia kembali dan ikut sujud sahwi bersama imam.
b. Jika dia sudah berdiri sempurna maka dia tidak perlu kembali dan dilanjutkan menyelesaikan shalatnya. Kemudian setelah selesai salam, dia sujud sahwi.
(al-Mughni dengan as-Syarh al-Kabir, 1/697)

Jika imam lupa dalam bentuk meninggalkan sujud kedua, kemudia para makmum mengingatkan dengan membaca tasbih – subhanallah –, namun imam tidak paham dimana letak kesalahannya, lalu imam malah berdiri ke rakaat berikutnya, karena mengira itu yang benar, apa yang harus dilakukan makmum? 

Para ulama memberikan keterangan terkait dengan cara memahamkan imam. Diantaranya adalah dengan mengeraskan bacaan untuk rukun yang ditinggalkan. Misalnya makmum mengeraskan bacaan: ‘subhana rabbiyal a’la‘ jika yang ditinggalkan adalah sujud, atau ‘rabbighfirlii….‘ jika yang ditinggalkan adalah duduk diantara dua sujud, dst.
(al-Mughni dengan as-Syarh al-Kabir, 1/707)

Sumber : Muslimah.Or.Id
Shoffiyah Az Zahra

Apa Yang Harus Anda Lakukan Dalam Kondisi Berikut (Bagian 3)

Jika dalam suatu tempat kita tidak tahu kiblat, apa yang harus dilakukan?

Yang harus dilakukan ketika orang hendak shalat, sementara dia tidak tahu kiblat adalah
Ibn Qudamah (al-Mughni dengan as-Syarhul Kabir, 1: 490) mengatakan:

Orang yang tidak tahu arah kiblat maka dia wajib bertanya jika memungkinkan. Jika tidak maka dia boleh berijtihad (berusaha mencari berdasarkan indikator tertentu), jika dia mampu melakukannya. Jika dia tidak mampu (sementara dia rombongan) maka dia mengikuti orang yang layak untuk diikuti dalam masalah ini. Jika tidak ada yang bisa diikuti (karena sama-sama tidak tahu) maka bertaqwalah kepada Allah semampunya, dan dia boleh shalat (ke arah yang dia yakini sebagai kiblat) dan shalatnya sah (meskipun bisa jadi kiblatnya salah). Akan tetapi, bagi orang yang memungkinkan untuk mencari arah kiblat, namun dia santai dan tidak berusaha mencarinya, kemudian langsung shalat maka shalatnya batal dan wajib diulangi. Karena orang ini dianggap meremehkan (arah kiblat).

Jika dalam rombongan masing-masing anggota berbeda pendapat dalam menentukan arah kiblat. Bagaimana solusinya?

Ulama berselisih pendapat tentang bolehnya mengikuti anggota rombongan yang lain. Apakah sah shalat salah satu anggota rombongan yang bermakmum di belakang anggota rombongan yang lain, sementara keduanya berbeda pendapat dalam menentukan arah kiblat. Namun jika ada diantara mereka yang sama sekali tidak memahami kiblat maka dia harus memilih salah satu anggota rombongan yang paling bisa dipercaya dalam menentukan arah kiblat kemudian dia ikuti. (al-Mughni dengan as-Syarhul Kabir, 1:473)

Jika ada orang yang shalat berjamaah, kemudian di tengah-tengah shalat mereka sadar bahwa arah kiblatnya keliru, maka mereka harus bersama-sama mengubah arah kiblat TANPA membatalkan shalat. Demikian pula, untuk orang yang shalat sendirian. Jika di tengah shalat, dia diberi tahu bahwa arah kiblatnya salah maka wajib untuk langsung mengubah arah, tanpa membatalkan shalat, kemudian langsung melanjutkannya.
Dalilnya adalah hadis Anas bin Malik radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat menghadap ke baitul maqdis (palestina). Kemudian turun firman Allah:

قد نرى تقلب وجهك في السماء فلنولينك قبلة ترضاها فولِّ وجهك شطر المسجد الحرام

“Kami telah mengetahui bolak-balik wajahmu yang menengadahkan ke langit. Sungguh Kami akan mengubah arah kiblat ke arah yang kamu inginkan. Karena itu, hadapkanlah wajahmu ke arah masjidil haram..” (QS. Al-Baqarah: 144)

Setelah itu ada seseorang yang mendatangi bani Salamah, ketika itu mereka sedang shalat subuh pada posisi sedang rukuk di rakaat kedua, kemudian orang ini berteriak: “Ketahuilah, arah kiblat telah dipindah (ke baitullah).” Kemudian jamaah ini memutar diri mereka ke arah kiblat dalam posisi sebagaimana sebelumnya (rukuk). (HR. Muslim, no. 527)

Seorang wanita yang shalat berjamaah di balik tabir, sehingga tidak bisa melihat gerakan makmum lelaki, sementara suara imam tidak terdengar karena sebab tertentu, atau makmum ngantuk, sehingga ketinggalan beberapa gerakan imam, apa yang harus dilakukan?

Dalam kondisi semacam ini, yang harus dilakukan makmum adalah melakukan rukun yang ketinggalan, hingga bisa mengejar imam. Ada beberapa keadaan, yang bisa dibawa dalam permasalahan ini:
Pertama: imam membaca ayat sajdah, kemudian takbir. Makmum yang tidak melihat mengira imam sujud tilawah. Padahal aslinya imam rukuk. Setelah itu imam membaca: “sami’allahu liman hamidah”, sehingga makmum tadi tidak sempat melaksanakan rukuk bersama imam. Untuk kasus semacam ini, makmum tersebut harus langsung melaksanakan rukuk, i’tidal, hingga bisa menyusul imam. Karena mereka menyelisihi imam di luar kesengajaan.

Kedua, orang yang memperlama sujud agar bisa lebih banyak berdoa, sehingga dia ketinggalan rukun setelahnya bersama imam, mayoritas ulama berpendapat : orang yang ketinggalan dua rukun berturut-turut bersama imam dengan sengaja dan tanpa udzur yang dibenarkan maka shalatnya batal. (Kasyaful Qana’, 1: 467)

Dalil yang menunjukkan wajibnya mengikuti imam adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إنما جعل الإمام ليؤتم به، فلا تختلفوا عليه، فإن ركع فاركعوا، وإذا قال سمع الله لمن حمده، فقولوا: ربنا لك الحمد، وإذا سجد فاسجدوا، وإذا صلّى جالساً فصلوا جلوساً أجمعون

“Sesungguhnya imam ditunjuk untuk diikuti, karena itu, janganlah kalian menyelisihinya. Jika dia rukuk maka rukuklah kalian, jika dia mengucapkan: sami’allahu liman hamidah, maka ucapkanlah: rabbanaa lakal hamdu. Jika dia sujud maka sujudlah, jika dia shalat sambil duduk maka shalatlah kalian semua sambil duduk.” (HR. Bukhari, no. 689)

Sumber : Muslimah.Or.Id
Shoffiyah Az Zahra

Apa Yang Harus Anda Lakukan Ketika Kondisi Berikut (Bagian 2)

Berikut lanjutan dari serial “maadza taf’alu fii haalatit taliyah” karya Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Munajid:

1. Apa yang harus dilakukan, ketika kita merasa mendapat gangguan dari setan, terlintas pikiran yang mengganggu konsentrasi shalat, sehingga menyebabkan kita tidak bisa khusyu dalam shalat?
Jawab:
Kasus semacam ini pernah dialami oleh salah seorang sahabat, yaitu Utsman bin Abil ‘Ash radliallahu ‘anhu, beliau datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadukan gangguang yang dia alami ketika shalat.
Kemudian beliau bersabda:

ذاك شيطان يقال له خنزب فإذا أحسسته فتعوذ بالله منه واتفل على يسارك ثلاثاً

“Itu adalah setan, namanya Khinzib. Jika kamu merasa diganggu, mintalah perlilndungan kepada Allah dari gangguannya dan meludahlah ke kiri tiga kali.”
Kata Utsman: Aku-pun melakukannya, kemudian Allah menghilangkan gangguan itu dariku. (HR. Muslim no. 2203)

Pelajaran hadis:
1. Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita dua cara untuk menghilangkan gangguan setan dalam shalat:

a. Memohon perlindungan kepada Allah, dengan membaca ta’awudz (a-’udzu billahi minas syaithanir rajiim). Bacaan ini dilafadzkan, bukan dibatin. Dan ini hukumnya dibolehkan dan tidak membatalkan shalat
b. Meludah ringan ke kiri, bentuknya dengan meniupkan udara yang mengandung sedikit air ludah. Ini dibolehkan, dengan syarat tidak mengganggu orang yang berada di sebelah kirinya dan tidak mengotori masjid.
Allahu a’lam

2. Ketika sedang melaksanakan shalat witir, tiba-tiba di tengah shalat mendengarkan adzan subuh. Bolehkah kita melanjutkan shalat witir?

Jawab:
Ketika seseorang mendengar adzan subuh, sementara dia sedang shalat witir maka dia sempurnakan shalat witirnya dan semacam ini dibolehkan. (Fatawa Islamiyah Syaikh Ibn Utsaimin, 1:346)
Permasalahan semacam ini, sebenarnya termasuk dalam pembahasan waktu shalat witir. Ulama berselisih pendapat, apakah berakhirnya waktu shalat witir itu sampai terbit fajar ataukah sampai selesainya shalat subuh. Mayoritas ulama berpendapat, waktu berakhirnya shalat witir adalah sampai terbit fajar. Meskipun, banyak ulama lainnya yang membolehkan shalat witir setelah adzan subuh, bagi yang berhalangan, sehingga tidak bisa melaksanakannya sebelum subuh. (Mausu’ah Fiqhiyah Muyassarah)

3. Ketika seseorang belum sempat melaksanakan shalat asar karena alasan yang dibenarkan, kemudian di datang ke masjid, dan ternyata shalat maghrib telah dimulai, apa yang harus dilakukan?

Jawab:
Syaikhul Islam Ibn Taimiyah -rahimahullah- mengatakan:
Dia disyariatkan untuk melaksanakan shalat maghrib berjamaah bersama imam, kemudian shalat asar. Ini berdasarkan kesepakatan ulama. Apakah orang ini harus mengulangi shalat maghribnya, setelah mengerjakan shalat asar? Dalam hal ini ada dua pendapat:
a. Dia harus mengulangi maghribnya. Ini adalah pendapat Ibn Umar, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad.
b. Tidak perlu mengulangi maghribnya. Ini adalah pendapat Ibn Abbas, Imam Syafi’i, dan pendapat kedua Imam Ahmad.
Pendapat kedua lebih kuat. Karena Allah tidak-lah mewajibkan seorang hamba untuk melaksanakan shalat wajib dua kali, jika sikapnya ini disebabkan adanya udzur diperbolehkan. (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, 22:106)

4. Ketika seorang musafir hendak mengikuti shalat jamaah, sementara dia tidak tahu apakah imamnya itu musafir ataukah penduduk asli. Kemudian si musafir ini mengikuti shalat jamaah menjadi makmum, apakah dia niatkan untuk qashar ataukah niat sebagaimana shalatnya orang mukim, empat rakaat?

Jawab:
Yang lebih kuat, hendaknya dia melihat ciri imamnya, sehingga bisa memperkirakan apakah dia musafir ataukah mukim. Kemudian dia mengambil sikap sebagaimana dugaan kuat yang dia ketahui. Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibn Abbas, bahwa beliau ditanya: Mengapa musafir shalatnya diqashar ketika sendirian dan empat rakaat ketika menjadi makmum orang yang mukim? Beliau menjawab: “Itu adalah sunnah Abul Qasim (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam).” Hadis ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam ta’liq beliau untuk musnad Imam Ahmad.

Catatan:
Seorang musafir menjadi makmum masbuk, ketinggalan 2 rakaat, dan dia berniat qashar, karena beranggapan imamnya seorang musafir, padahal imamnya bukan musafir. Setelah salam bersama imam, dia mendapat info bahwa imam bukan musafir, maka dia harus menambahi dua rakaat lagi untuk menyempurnakan shalatnya dan sujud sahwi setelah salam. Demikian keterangan Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’, 4:356. Syaikh Muhammad al-Munajid menambahkan: Pembicaraan yang dilakukan orang ini di sela-sela shalatnya (setelah salam di rakaat kedua), tidaklah menyebabkan shalatnya putus. Namun dia dibolehkan melanjutkan dan menyempurnakan shalatnya, tanpa harus memulai dari awal. Selama pembicaraan itu bertujuan untuk kepentingan shalatnya.

5. Ketika di tengah shalat, tiba-tiba ada orang yang mengetuk pintu. Atau ada seorang ibu yang shalat, sementara bayinya melakukan tindakan yang berbahaya, apa yang harus dilakukan?

Jawab:
Dibolehkan bagi orang yang shalat untuk melakukan gerakan ringan, karena suatu kebutuhan yang mendesak, dengan syarat, tidak mengubah arah kiblatnya. Seperti membukakan pintu yang berada di arah kiblat.
Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan Abu Daud, dari A’isyah radliallahu ‘anha, beliau mengatakan:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat, sementara pintu rumah terkunci. Kemudian saya datang, dan saya minta agar dibukakan. Beliau-pun berjalan dan membukakan pintu, lalu beliau kembali lagi ke tempat shalatnya. Disebutkan bahwa pintu rumah beliau berada di arah kiblat. (HR. Abu Daud no. 922 dan dishahihkan al-Albani)

Demikian pula seorang ibu yang sedang shalat, dan dia melihat anaknya melakukan hal yang membahayakan, maka dia dibolehkan untuk melakukan gerakan ringan ke kanan, ke kiri, ke depan, atau belakang. Dan ini tidak merusak shalatnya. Termasuk dalam hal ini adalah orang yang shalat, tiba-tiba sarungnya mau lepas, maka dia dibolehkan untuk melakukan gerakan dalam rangka mengencangkan sarungnya. Bahkan, dalam kondisi tertentu yang sangat mendesak, syariat membolehkan melakukan gerakan yang banyak, meskipun menyebabkan kiblatnya berubah.

 Sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bunuhlah dua hewan yang hitam (meskipun) ketika sedang shalat, yaitu ular dan kalajegking.” (HR. Abu Daud no. 921 dan dishahihkan al-Albani)

6. Bagaimana cara menjawab salam ketika shalat?

Jawab:
Dari Shuhaib bin Sinan radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan: “Saya melewati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sedang shalat. Kemudian saya mengucapkan salam kepada beliau dan beliau menjawabnya dengan isyarat.” (HR. Abu Daud no. 925 dan dishahihkan al-Albani)
Bagaimana cara isyaratnya?

Disebutkan dalam beberapa riwayat, diantaranya dari Ibn Umar radliallahu ‘anhuma beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berangkat menuju masjid Quba untuk melaksanakan shalat. Kemudian datanglah sekelompok masyarakat anshar dan mengucapkan salam kepada beliau, ketika beliau sedang shalat. Ibn Umar bertanya kepada Bilal, “Bagaimana yang kamu lihat ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab orang anshar yang menngucapkan salam kepada beliau, sementara beliau sedang shalat?” Bilal menjawab: “Beliau berisyarat seperti ini.” Bilal membuka telapak tangannya. Salah seorang perawi yang bernama Ja’far bin ‘Aun membuka telapak tangannya, dimana bagian telapak tangan mengarah ke bawah dan bagaian punggung mengarah ke atas. (HR. Abu Daud no. 927 dan dishahihkan al-Albani)

7. Jika ada orang yang berhadats ketika shalat jamaah, apa yang harus dia lakukan untuk bisa meninggalkan tempat, tanpa menimbulkan rasa malu?

Jawab:
Hendaknya dia pegang hidungnya, kemudian keluar. Dalil tentang hal ini adalah hadis dari A’isyah, bahwa

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا أَحْدَثَ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلْيَأْخُذْ بِأَنْفِهِ ثُمَّ لِيَنْصَرِفْ

“Apabila kalian berhadats ketika shalat jamaah maka hendaknya dia pegang hidungnya kemudian dia meninggalkan tempat.” (HR. Abu Daud no. 1114 dan dishahihkan al-Albani)
Imam at-Thibi mengatakan: Adanya perintah memegang hidung ketika batal shalatnya, agar dikira dia mimisan. Dan ini tidak termasuk berbohong, namun sebatas menutupi keadaan dengan perbuatan. Tindakan semacam ini mendapatkan keringanan agar setan tidak menggodanya untuk tidak melaksanakan jamaah karena malu dengan jamaah lainya. (Lih. Mirqatul Mafatih, 3: 18)

Syaikh Muhammad Munajid memberikan komentar:
Semacam ini termasuk tauriyah yang dibolehkan dan tindakan menutupi diri dengan bentuk yang terpuji, dalam rangka menghilangkan ras malu. Sehingga orang yang melihatnya menyangka kalau dia keluar disebabkan mimisan di hidungnya. Disamping itu, manfaat lain dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini adalah untuk menghilangkan godaan setan, dengan tetap berada di shaf atau melanjutkan jamaah sementara dia berhadats. Ini merupakan tindakan yang tidak Allah ridhai. Betapa tidak, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk pergi.

8. Seseorang telah melaksanakan shalat di suatu masjid, kemudian dia berangkat menuju masjid yang lain untuk acara kegiatan tertentu, seperti kajian atau yang lainnya. Sesampainya di masjid kedua, ternyata shalat belum selesai. Apa yang harus dia lakukan?

Jawab:
Hendaknya dia masuk masjid dan langsung ikut shalat berjamaah, dan dia niatkan sebagai shalat sunnah. Shalat ini boleh dilakukan, meskipun dilakukan di waktu-waktu yang terlarang untuk shalat. Dalilnya adalah hadis dari Yazid bin Aswad radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
Saya ikut haji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau shalat subuh bersama beliau di masjid khaif. Setelah selesai shalat, beliau berbalik. Tiba-tiba ada dua orang duduk di belakang yang tidak ikut shalat bersama beliau. Beliau bersabda: “Suruh dua orang itu ke sini.” Keduanya-pun disuruh menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara badannya gemetaran (karena takut). Beliau bertanya: “Apa yang menghalangimu sehingga tidak shalat jamaah bersama kami?” Mereka menjawab: Wahai Rasulullah, kami tadi sudah shalat di jalan. Kemudian beliau bersabda: “Jangan kamu lakukan itu, jika kalian telah shalat di jalan, kemudian kalian singgah di masjid yang sedang dilaksanakan jamaah, ikutlah shalat bersama mereka. Sesungguhnya shalat yang kedua ini menjadi shalat sunnah bagi kalian.” (HR. Turmudzi no. 219 dan dishahihkan al-Albani)

Syaikh Muhammad Munajid mengatakan:
Dalam hadis di atas disebutkan bahwa kedua orang tersebut datang ke masjid setelah melaksanakan shalat subuh. Dan ini termasuk waktu terlarang. Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwatha’, dari Mihjan radliallahu ‘anhu, bahwa beliau berada di majlis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba adzan dikumandangkan. Rasulullah-pun melaksanakan shalat bersama jamaah. Sementara Mihjan tetap berada di tempat duduknya dan tidak ikut shalat berjamaah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Apa yang menghalangimu untuk ikut shalat jamaah, bukankah kamu seorang muslim?” Mihjan menjawab: “Betul, wahai Rasulullah, akan tetapi saya sudah shalat di rumahku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika kamu datang (di masjid), shalatlah berjamaah bersama masyarakat. Meskipun kamu sudah shalat.” (al-Muwatha’, 1:130 dan dishahihkan al-Albani).

Sumber : Muslimah.Or.Id
Shoffiyah Az Zahra