Minggu, 28 Juli 2013

KESYIRIKAN MENURUT AL-KHUMAINI

Kesyirikan adalah menyerahkan ibadah kepada selain Allah (Silahkan kembali baca http://www.firanda.com/index.php/artikel/bantahan/128-bantahan-terhadap-abu-salafy-seri-7-qperkataan-abu-salafy-berdoa-kepada-selain-allah-tidak-mengapa-selama-tidak-syirik-dalam-tauhid-rububiyahq, juga tentang hakekat kesyirikan kafir Quraisy di http://www.firanda.com/index.php/artikel/bantahan/126-bantahan-terhadap-abu-salafy-seri-5-hakikat-kesyirikan-kaum-muysrikin-arab)    

Adapun Kesyirikan menurut Al-Khumaini hanyalah jika seseorang meyakini adanya Rob (Tuhan/Pencipta) selain Allah, adapun jika seseorang sujud dan berdoa kepada makhluk –selama tanpa disertai keyakinan bahwa makhluk tersebut adalah Rob Pencipta- maka hal ini bukanlah kesyirikan !!!

Atas dasar definisi kesyirikan ala Al-Khumaini ini maka melazimkan bahwa kaum musyrikin Quraisy dahulu tidaklah terjatuh dalam kesyirikan, karena mereka mengakui bahwasanya Pencipta hanya satu yaitu Allah. (lihat kembali http://www.firanda.com/index.php/artikel/bantahan/82-persangkaan-abu-salafy-al-majhuul-bahwasanya-kaum-musyrikin-arab-tidak-mengakui-rububiyyah-allah)

Perhatikanlah pernyataan-pernyataan Al-Khumaini berikut ini : 

PERTAMA : Meminta kepada makhluk bukanlah kesyirikan selama meyakini bahwa makhluk tersebut bukanlah Tuhan Pencipta, akan tetapi telah diberi kekuatan oleh Allah

"Karenanya jika seseorang meminta kepada seseorang selain Allah suatu amal yang penting baik amalan kecil dengan menjadikan orang tersebut sebagai Rob maka ia adalah seorang musyrik berdasarkan hukum akal dan Al-Qur'an. Adapaun jika ia meminta kepadanya dengan dasar bahwa Rob Pencipta alam telah memberikan kepadanya kekuatan dan ia butuh kepada Allah serta tidak independent dalam amalan ini maka ini bukanlah amal ketuhanan, dan meminta dipenuhinya hajat darinya tatkala itu bukanlah keysirikan" (Kasyful Asroor hal 54-55)

KEDUA : Meminta kepada mayat bukanlah kesyirikan. Bahkan meminta kepada BATU bukanlah kesyirikan!!!

Al-Khumainy berkata :

"Bisa jadi dikatakan bahwasanya kesyirikan adalah meminta mayat-mayat untuk menunaikan hajat, karena mayat tidak memberi manfaat dan mudhorot, baik mayat seorang nabi maupun seorang imam, karena mayat-mayat seperti benda-benda mati.

Jawaban atas persangkaan ini :

Pertama : Kalian tidak menjelaskan kepada kami makna kesyirikan dan kekufuran hingga kalian menganggap semua yang kami inginkan merupakan kesyirikan–berdasarkan pendapat kalian-. Dan setelah jelas bahwasanya kesyirikan adalah meminta sesuatu kepada seseorang selain Allah atas dasar ia adalah Rob (Tuhan/Pencipta), adapun selain ini maka bukanlah kesyirikan. Tidak ada perbedaan dalam hal ini antara yang hidup dan yang mati. Bahkan meminta dipenuhi hajat dari batu dan tanah maka bukanlah kesyirikan, meskipun hal ini adalah perbuatan yang sia-sia dan batil" (Kasyful Asroor hal 56)

Subhaanallah…meminta kepada batu bukanlah kesyirikan ?? inilah hakekat agama syi'ah !!!

KETIGA : Ruh seseorang setelah mati maka semakin hebat dan semakin diberi kekuatan oleh Allah dan semakin tinggi kedudukannya.

Al-Khumaini berkata "


"Kami meminta bantuan dari ruh-ruh para nabi dan ruh-ruh para imam yang suci yang telah dianugerahi qudroh (kemampuan/kekuatan) oleh Allah. Dan telah ditetapkan dengan dalil-dalil yang qot'i (pasti) serta dalil-dalil akal yang jelas dalam falsafat yang tinggi bahwasanya ruh itu tetap ada setelah kematian dan kemampuan ruh-ruh untuk meliputi alam ini secara sempurna setelah kematian lebih tinggi. Dan para ahli filsafat meyakini mustahil rusaknya ruh, dan hal ini merupakan perkara filsafat yang –sejak awal munculnya filsafat- jelas diterima oleh para ulama serta para pembesar ahli filsafat sebelum Islam dan sesudah Islam. Kemudian perkara ini jelas diterima oleh seluruh agama, baik kaum yahudi, kaum nasrani, maupun kaum muslimin, dan mereka menganggap perkara ini merupakan doruuri dan badihi (perkara pokok/mendasar/yang harus ada) dalam agama mereka" (Kasyful Asroor hal 56)

Lihatlah bagaimana aqidah Khumaini, untuk melegalkan kesyirikan meminta kepada mayat-mayat. Justru ia meyakini bahwa setelah kematian mayat-mayat lebih hebat karena telah diberi kemampuan oleh Allah untuk memenuhi kebutuhan manusia, bahkan untuk meliputi alam secara sempurna???

Dalilnya apa ..??!! tidak satu ayatpun…apalagi hadits…, yang ada hanyalah keyakinan kaum ahli filsafat yunani yang tidak beragama, bukan yahudi dan juga bukan nasoro. Itulah landasan pijakan Khumaini !!!

Bandingkanlah aqidah Al-Khumaini ini dengan aqidah kaum sufi. Dimana sebagian kaum sufi melegalkan untuk berdoa kepada wali (bahkan kepada wali yang sudah meninggal) dengan dalih bahwasanya wali telah diberi kekuasaan dengan izin Allah. Seorang tokoh sufi besar yang bernama At-Tijaani memperkuat keyakinan ini.  Berkata penulis kitab Jawaahirul Ma'aani fi Faydi Sayyidi Abil 'Abaas At-Tiijaani (Ali Al-Faasi) :

Adapun perkataan penanya : Apa makna perkataan Syaikh Abdul Qodir Al-Jailaani radhiallahu 'anhu : "Dan perintahku dengan perintah Allah, jika aku berkata kun (jadi) makan  (yakun) terjadilah" …dan juga perkataan sebagian mereka : "Wahai angin tenanglah terhadap mereka dengan izinku" dan perkataan-perkataan para pembesar yang lain radhiallahu 'anhum yang semisal ini, maka berkata (At-Tijaani) radhiallahu 'anhu : "Maknanya adalah Allah memberikan kepada mereka Khilaafah Al-'Udzma (kerajaan besar) dan Allah menjadikan mereka khalifah atas kerajaan Allah dengan penyerahan kekuasaan secara umum, agar mereka bisa melakukan di kerajaan Allah apa saja yang mereka kehendaki. Dan Allah memberikan mereka kuasa kalimat "kun", kapan saja mereka berkata kepada sesuatu "kun" (jadilah) maka terjadilah tatkala itu" (Jawaahirul Ma'aani wa Buluug Al-Amaani 2/62)
Hal ini juga dikatakan oleh tojoh sufi zaman kita yang bernama Habib Ali Al-Jufri, ia berkata bahwasanya wali bisa menciptakan bayi di rahim seorang wanita tanpa seorang ayah dengan izin Allah (silahkan lihat http://www.youtube.com/watch?v=kDPMBJ7kvfI)

Bandingkan pula aqidah Al-Khumaini ini dengan tokoh sufi zaman sekarang yang sangat digandrungi oleh aswaja Indonesia. Yaitu Muhammad Alwi Al-Maliki, ia berkata di kitabnya mafaahiim yajibu an tushohhah :

فَالْمُتَصَرِّفُ فِي الْكَوْنِ هُوَ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَلاَ يَمْلِكُ أَحَدٌ شَيْئاً إِلاَّ إِذَا مَلَّكَهُ اللهُ ذَلِكَ وَأَذِنَ لَهُ فِي التَّصَرُّفِ فِيْهِ

"Maka yang mengatur di alam semeseta adalah Allah subhaanahu wa ta'aala, dan tidak seorangpun memiliki sesuatupun kecuali jika Allah menjadikannya memilikinya dan mengizinkannya untuk mengaturnya"
Ia juga berkata tentang kondisi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam setelah wafatnya Nabi :

فَإِنَّهُ حَيِّيُ الدَّارَيْنِ دَائِمُ الْعِنَايَةِ بِأُمَّتِهِ، مُتَصَرِّفٌ بِإِذْنِ اللهِ فِي شُؤُوْنِهَا خَبِيْرٌ بِأَحْوَالِهَا

"Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hidup di dunia dan akhirat, senantiasa memperhatikan umatnya, mengatur urusan umatnya dengan izin Allah dan mengetahui keadaan umatnya"

Bandingkan pula aqidah Al-Khumaini dengan perkataan Habib Munzir berikut ini :

"Istighatsah adalah memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya, untuk sebagian kelompok muslimin hal ini langsung di vonis syirik, namun vonis mereka itu hanyalah karena kedangkalan pemahamannya terhadap syariah islam, pada hakekatnya memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya adalah hal yg diperbolehkan selama ia seorang Muslim, Mukmin, Shalih dan diyakini mempunyai manzilah di sisi Allah swt, tak pula terikat ia masih hidup atau telah wafat, karena bila seseorang mengatakan ada perbedaan dalam kehidupan dan kematian atas manfaat dan mudharrat maka justru dirisaukan ia dalam kemusyrikan yang nyata, karena seluruh manfaat dan mudharrat berasal dari Allah swt, maka kehidupan dan kematian tak bisa membuat batas dari manfaat dan mudharrat kecuali dengan izin Allah swt, ketika seseorang berkata bahwa orang mati tak bisa memberi manfaat, dan orang hidup bisa memberi manfaat, maka ia dirisaukan telah jatuh dalam kekufuran karena menganggap kehidupan adalah sumber manfaat dan kematian adalah mustahilnya manfaat, padahal manfaat dan mudharrat itu dari Allah, dan kekuasaan Allah tidak bisa dibatasi dengan kehidupan atau kematian" (Kenalilah Aqidahmu 2 hal 75-76)

KEEMPAT : Meminta kesembuhan dari tanah bukanlah kesyirikan

Al-Khumaini berkata :

"Diantara pertanyaan mereka adalah, apakah meminta kesembuhan dari tanah merupakan keysirikan atau tidak?

Jawabannya telah jelas setelah memperhatikan makna syirik. Kesyirikan –sebagaimana yang kalian ketahui- adalah keyakinan bahwasanya seseorang adalah Rob (Tuhan/Pencipta) atau ia diibadahi atas dasar ia adalah Rob, atau meminta dipenuhinya hajat kepada seseorang atas dasar keyakinan bahwa ia independent dalam memberikan pengaruh…

Jika seseorang meminta kesembuhan dari tanah atau dari apapun dengan dasar ia adalah Rob atau Syarikat Allah atau Rob lain yang berlawanan dengan Allah yang independent dalam memberi pengaruh atau atas dasar keyakinan bahwasanya penghuni kuburan adalah Rob maka ini merupakan kesyirikan, bahkan kegilaan. Adapun jika karena meyakini bahwasanya Allah maha kuasa atas segala sesuatu dan telah menjadikan kesembuhan pada semangkuk pasir untuk memuliakan orang yang mati syahid yang telah mengorbankan kehidupannya untuk di jalan Allah, maka hal ini sama sekali tidak melazimkan adanya kesyirikan dan kekufuran" (Kasyful Asroor hal 65)

Karenanya kita tidak heran jika melihat kaum syi'ah berebutan mengambil pasir yang ada di kuburan ahlul bait di Baqii' di kota Madinah.

Khumaini berdalil sesukanya…, tidak ada seorangpun yang meragukan kekuasaan Allah. Jangankan pasir…bahkan jika Allah berkehendak tentunya Allah mampu menjadikan apapun sebagai obat –bahkan kotoran-!!. Akan tetapi mana dalilnya…?, mana ayatnya…?, mana haditsnya…?, mana amal perbuatan/perkataan sahabat…?, mana perbuatan tabi'in…?, mana perbuatan/perkataan 4 imam madzhab…?, yang menunjukkan bahwa Allah telah menjadikan pasir di kuburan orang sholeh sebagai obat??

Ternyata : aqidah ini juga tersebar di kalangan sebagian aswaja yang berebut-rebutan mengambili pasir dari kuburan Gus….!!!!

KELIMA : Aqidah Syia'h : meminta syafaat kepada mayat

Al-Khumaini berkata :

"Meminta syafaat kepada mayat adalah kesyirikan"

Jawabannya sebagaimana telah lalu secara terperinci bahwasanya para pemberi syafaat setelah meninggalkan dunia ini mereka bukanlah mayat. Bahkan –sebagaimana telah kami jelaskan- akan hidupnya ruh-ruh mereka dan abadinya ruh-ruh tersebut di alam serta meliputinya ruh-ruh tersebut terhadap alam ini merupakan perkara yang jelas diterima dalam filsafat kuno dan filsafat eropa ar-ruhiyah.

Kalaulah seandainya Nabi dan Imam setelah meninggal menjadi kayu dan batu dan benda mati lainnya –sebagaimana ungkapan mereka (*yaitu kaum wahabi)-, maka lantas kenapa meminta syafaat menjadi kesyirikan?, paling parah ini hanyalah merupakan perbuatan yang tidak ada faedahnya" (Kasyful Asroor hal 93)

Perhatikanlah para pembaca, Al-Khumaini menegaskan kembali bahwasanya meminta syafaat kepada kayu, batu, dan benda-benda mati bukanlah kesyirikan, akan tetapi hanya sekedar perbuatan yang tidak berfaedah. Hanya menjadi kesyirikan menurut Al-Khumaini jika meyakini bahwa batu tersebut adalah Rob/pencipta.

Dari pernyataan Al-Khumaini ini jelas bagi kita bahwa meminta syafaat kepada mayat merupakan aqidah orang syi'ah…. Ternyata aqidah ini sangat laris di kalangan kaum sufi !!!

KEENAM : Berdoa kepada Nabi atau Imam agar Allah mengampuni dosa merupakan aqidah Syi'ah

Al-Khumaini berkata ;

"Jawabannya, sesungguhnya syafaat bukanlah amalan ilahiyah (ketuhanan), karena pada hakekatnya adalah berdoa kepada Nabi dan Imam agar Allah mengampuni dosa orang ini. Dan ini adalah perbuatan seorang hamba dan bukan perbuatan Allah" (Kasyful Asroor hal 93).

Senin, 22 Juli 2013

Bahaya Propaganda Penyatuan Agama


Segala puji hanyalah milik Allah semata, shalawat dan salam semoga tercurah atas rasul penutup yang tiada rasul sesudahnya, atas keluarga dan segenap sahabat serta orang-orang yang mengikuti beliau hingga hari kemudian kelak.

Amma ba’du.
Sesungguhnya Lajnah Da’imah bagian divisi pembahasan ilmiah dan fatwa menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang dilayangkan kepada lajnah tentang beberapa pemikiran dan makalah yang ramai dirilis di media-media informasi seputar permasalahan seruan kepada penyatuan agama, agama Islam, agama Yahudi dan agama Nasrani, serta beberapa persoalan-persoalan yang merupakan dampak dari seruan itu, seperti masalah pembangunan masjid, gereja dan tempat peribadatan yahudi dalam satu komplek, di lingkungan universitas, pelabuhan udara dan tempat-tempat umum. Berikut juga seruan mencertak Al-Qur’an Al-Karim dengan Taurat dan Injil dalam satu jilid. Dan masih banyak lagi dampak propaganda penyatuan agama tersebut. Demikian pula seminar-seminar, perkumpulan-perkumpulan dan yayasan-yayasan di barat dan di timur yang diselenggarakan dan didirikan untuk tujuan tersebut. Setelah mempelajari dan menelitinya maka Lajnah Daimah memutuskan :

1. Termasuk kaidah dasar aqidah Islamiyah yang dimaklumi dan disepakati segenap kaum muslimin adalah tidak ada agama yang benar di atas muka bumi selain Dienul Islam. Dienul Islam adalah penutup seluruh agama-agama yang ada. Dan menghapus agama, syari'at dan millah sebellumnya. Tidak ada satu agamapun di atas muka bumi yang boleh dipakai sebagai tatanan beribadah kepada Allah selain Dienul Islam.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Barangsiapa mencari agama selain daru agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi" [Ali Imron : 85]

Yaitu Islam yang dibawa oleh Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah diutus menjadi rasul, tidak agama-agama selainnya !

2. Diantara kaidah dasar aqidah Islamiyah adalah meyakini bahwa Kitabullah, yaitu Al-Qur'an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan Allah Rabbul Alamin. Meyakini bahwa Al-Qur'an menghapus kitab-kitab sebelumnya, seperti Taurat, Zabur, Injil dan lainnya, sebagai standar kebenaran kitab-kitab sebelumnya. Tidak ada satupun kitab suci yang berhak dipakai sebagau acuan dalam beribadah kepada Allah selain Al-Qur'an Al-Karim.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu : maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah dating kepadamu" [Al-Ma'idah : 48]

3. Wajib mengimani bahwa kitab Taurat dan Injil telah dihapus dengan Al-Qur'an Al-Karim, wajib meyakini bahwa keduanya telah banyak diselewengkan dan dirubah, ditambah dan dikurangi.

Sebagaimana ditegaskan dalam ayat-ayat Al-Qur'an, diantaranya firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Tetapi karena mereka melanggar janjinya. Kami kutuk mereka, dan kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat)" [Al-Maidah : 13]

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya : "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan" [Al-Baqarah : 79]

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al-Kitab, supaya kamu menyangka apa yang dibacanya itu sebagian dari Al-Kitab., padahal ia bukan dari Al-Kitab dan mereka mengatakan : 'Ia (yang dibaca itu dating) dari sisi Allah', padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah, sedang mereka mengetahui" [Ali Imran : 78]

Oleh karena itu, isi Taurat ataupun Injil yang masih orosinil telah dihapus dengan Islam, adapun selain itu telah diselewengkan dan dirubah-rubah. Telah diriwayatkan secara shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau sangat marah ketika meihat Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu memegang lembaran yang didalamnya terdapat beberapa potongan ayat Taurat, beliau berkata.

"Artinya : Apakah engkau masih ragu wahai Ibnul Khaththab ? Bukankah aku telah membawa agama yang putih bersih ? Sekiranya saudaraku Musa Alaihis salam hidup sekarang ini maka tidak ada keluasan baginya kecuali mengikuti syariatku" [Hadits Riwayat Ahmad, Ad-Darimi dan lainnya]

4. Termasuk diantara kaidah dasar aqidah Islamiyah adalah meyakini bahwa Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah penutup para nabi dan rasul, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari sorang laki-laki diantara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi" [Al-Ahzab : 40]

Tidak ada satupun rasul yang wajib diikuti selain nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, sekiranya seorang nabi atau rasul selain beliau hidup pada saat ini maka tidak ada keluasan bagi mereka kecuali mengikuti beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak ada keluasan juga bagi para pengikut mereka kecuali mengikuti beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Sebagaimana ditegaskan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firmanNya berikut ini.

"Artinya : Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi : 'Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian dating kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan bersungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya'. Allah berfirman 'Apakah kamu mengakui dan menerima pernjanjianKu terhadap yang demikian itu'. Mereka menjawab : 'Kami mengakui'. Allah berfirman : 'Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saki (pula) bersama kamu' "[Ali Imran : 81]

Nabi Allah Isa Alaihis Salam saat diturunkan pada akhir zaman juga mengikuti nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berhukum dengan syari'at beliau. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : (Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) merek dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka" [Al-A'raf : 157]

Termasuk kaidah dasar aqidah Islamiyah tersebut adalah meyakini bahwa Nabi Muhammad diutus kepada segenap umat manusia. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui" [Saba : 28]

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Katakanlah : 'Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua" [Al-A'raf : 158]

5. Diantara kaidah dasar agama Islam adalah wajib meyakini kekufuran orang-orang yang menolak memeluk Islam dari kalangan Yahudi, Nasrani maupun yang lainnya. Wajib menamai mereka kafir, meyakini bahwa mereka adalah musuh Allah, rasulNya dan kaum mukminin serta meyakini bahwa mereka adalah penduduk Neraka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata" [Al-Bayyinah : 1]

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke naar Jahannam ; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk mahluk" [Al-Bayinnah : 6]

Dan yang tersebut dalam ayat-ayat lainnya. Dalam Shahih Muslim diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, tidak ada seorangpun dari umat manusia yang mendengar kerasulanku, baik ia seorang Yahudi maupun Nasrani lalu mati dalam keadaan belum beriman kepada ajaran yang kubawa melainkan ia pasti termasuk penuduk Neraka"

Oleh karena itu pula barangsiapa tidak mengkafirkan Yahudi dan Nasrani maka dia kafir. Sebagai konsekuensi kaidah syariat.

"Barangsiapa tidak megkafirkan orang kafir maka ia kafir"

6. Berdasarkan kaidah-kaidah dasar aqidah Islamiyah tersebut dan berdasarkan hakikat syariat di atas maka propaganda penyatuan agama dan menampilkannya dalam satu kesatuan adalah propaganda dan maker yang sangat busuk. Misi propaganda itu adalah mencampur adukkan yang hak dengan yang batil, merubuhkan Islam dan meghancurkan pilar-pilarnya serta menyeret pemeluknya kepada lkemurtadan.

Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala

"Artinya : Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup" [Al-Baqarah : 217]

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka)" [An-Nisa : 89]

7. Diantara dampak negative propaganda keji tersebut adalah hilangnya pembeda antara Islam dengan kekufuran, yang haq dengan yang batil, yang ma'ruf dengan yang mungkar, dan hilangnya kebencian antara kaum musilimin dan kaum kafir. Tidak ada lagi wala' dan bara' ! Tidak ada lagi seruan jihad dan perang demi menegakkan Kalimatullah di atas muka bumi, sedangkan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) pada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah Dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk" [At-Taubah : 29]

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artnya : Dan perangilah musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi semuanya ; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa" [At-Taubah : 36]

8. Apabila propaganda penyatuan agama bersumber dari seorang muslim maka hal itu jelas termasuk kemurtadan dari agama Islam, karena jelas-jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar aqidah. Propaganda tersebut meridhai kekufuran terhadap Allah, membatalkan kebenaran Al-Qur'an, membatalkan fungsinya sebagai penghapus kitab-kitab suci sebelumnya, membatalkan fungsi Islam yang menghapus syariat-syariat dan agama-agama sebelumnya. Berdasarkan hal tersebut maka pemikiran tersebut secara syar'i tertolak, haram hukumnya berdasarkan dalil-dalil syar'i dari Al-Qur'an, As-Sunnah dan Ijma.

9. Berdasarkan uraian diatas maka.
a). Seorang muslim yang mengimani Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, Muhammad sebagai nabi dan rasulNya tidak boleh mengajak orang kepada pemikiran keji tersebut. Tidak boleh pula mendorong orang lain kepadanya dan menggulirkannya di tengah-tengah kaum muslimin. Apalagi menyambutnya, mengikuti seminar-seminar dan pertemuan-pertemuan atau menggabungkan diri dalam perkupulan-perkumpulannya.

b). Tidak dibenarkan bagi setiap muslim mencetak Taurat dan Injil, apalagi mencetaknya bersama dengan Al-Qur'an dalam satu jilid ! Barangsiapa melakukannya maka ia telah jauh tersesat. Karena hal itu berarti mecampuradukkan kebenaran (Al-Qur'an) dengan kitab yang telah diselewengkan atua dihapus (Taurat dan Injil).

c). Setiap muslim tidak dibenarkan menyambut ajakan membangun masjid, gereja dan ma'bad (tempat peribadatan Yahudi) dalam satu komplek. Karena hal itu berarti pengakuan bagi agama selain Islam, menghambat tegaknya dienul Islam atas agama-agama lainnya, dan secara tidak langsung merupakan statemen bahwa agama yang sah itu ada tiga dan pernyataan bahwa dan pernyataan bahwa penduduk ketiga agama itu sama dan bahwasanya Islam tidak menghapus agama-agama sebelumnya.

Tentu saja pengakuanm keyakinan dan kerelaan kepada hal semacam itu termasuk kekufuran dan kesesatan, serta sangat bertentangan dengan nash-nash Al-Qur'an yang sangat jelas, As-Sunnah yang shahih dan ijma' kaum muslimin. Secara tidak langsung hal itu juga merupakan pengakuan bahwa penyelewengan yang dilakukan orang-orang Yahudi da Nasrani itu berasal dari Allah ! Maha Tinggi Allah dari hal itu ! sebagaimana juga tidak dibenarkan menyebut gereja sebagai rumah Allah ! Atau mengatakan bahwa ibadah kaum Nasrani kepada Allah di gereja-gereja tersebut diterma di sisi Allah ! Sebab ibadah mereka itu tidak berdasarkan ajaran Islam, sedang Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirrat termasuk orang-orang yang rugi" [Ali Imran : 85]

Gereja-gereja itu adalah rumah kekufuran, kita berlindung kepada Allah dari kekufuran dan orang-orang kafir ! Dalam Majmu Fatawa (22/162) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata : "Gereja-gereja dan bi'ah (biara-biara) itu bukanlah rumah Allah. Rumah Allah itu hanyalah masjid. Namun gereja dan biara itu adalah rumah kekufuran, meskipun nama Allah disebut di dalamnya. Rumah itu tergantung kepada pemiliknya, dan pemiliknya adalah orang-orang kafir, maka gereja-gereja itu adalah rumah peribadatan orang-orang kafir".

10. Satu hal yang mesti diketahui adalah mendakwahi orang-orang kafir, khususnya ahli kitab adalah kewajiban kaum muslimin, berdasarkan nash-nash yang jelas dari Al-Qur'an dan As-Sunah. Hendaknya dakwah tersebut dilakukan lewat penjelasan dan dialog dengan cara yang terbaik serta tidak meninggalkan prinsip-prinsip Islam. Hal itu dilakukan agar mereka menerima Islam dan bersedia memeluknya atau dalam rangka menegakkan hujjah atas mereka. Agar orang yang binasa maka ia binasa di atas keterangan yang nyata, dan siapa yang hidup maka ia hidup di atas keterangan yang nyata pula.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Katakanlah : 'Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kaimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita pesekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Ilah selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka : 'Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)" [Ali Imran : 64]

Adapun dialog, perdebatan ataupun pertemuan dengan mereka hanya untuk mentolerir keinginan mereka, melempangkan misi mereka, mengurai simpul Islam dan mencabut akar keimanan maka hal itu adalah batil, tidak dikehendaki Allah, rasulNya dan kaum mukminin. Dan Allah sajalah yang dimohon pertolonganNya terhadap apa yang kamu bicarakan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu" [Al-Maidah : 49]

Dengan demikian Lajnah menegaskan dari menjelaskan kepada kaum muslimin, Lajnah berpesan kepada kaum muslimin umumnya dan kepada ahli ilmu khususnya agar selalu bertakwa kepada Allah dan tetap muraqabatullah (mendekatkan diri kepada Allah). Hendaknya mereka selalu melindungi Islam dan menjaga aqidah kaum muslimin dari kesesatan dan dari penyeru-penyerunya, melindungi kaum muslimin dari kekufuran dan orang-orang kafir. Dan hendaknya memperingatkan mereka dari bahaya Propaganda Sesat Penyatuan Agama yang kufur ini ! Agar mereka tidak terjerat ke dalam jaring-jaringnya. Kita memohon perlindungan kepada Allah agar seorang muslim tidak menjadi sebab masuknya kesesatan ini ke negeri kaum muslimin dan tidak menyebarkannya ke tengah-tengah mereka.

Hanya kepada Allah kita memohon, dengan asma-asmaNya yang husna dan sifat-sifatNya yang 'Ula, agar melindungi kita semua dari fitnah-fitnah yang menyesatkan dan agar menjadikan kita sebagai juru penunjuk kepada hidayah dan sebagai pelindung Dienul Islam di atas cahanya hidayah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala hingga kita bertemu denganNya dalam keadaan ridha kepada kita.

Shalawat dan salam semoga tercurah atas nabi kita Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, atas keluarga dan segenap sahabat beliau.

Wabillahi taufiq


Sumber :Lajnah Daimah Lil Buhuts Ilmiah Wal Ifta
Fatwa No. 19402 tertanggal 25/1/1418H

Ketua : Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Shoffiyah Az Zahra

Bentuk-Bentuk Ingkarus Sunnah


PENDAHULUAN

Qur’aniyun bentuknya bermacam-macam. Di Indonesia ada yang secara tegas memakai sebutan Ingkarus Sunnah untuk menyatakan bahwa pegangan satu-satunya adalah al-Qur’an. Sebenarnya gerakan ingkarus Sunnah sudah lama muncul ke permukaan, sejalan dengan munculnya firqah-firqah umat Islam. Dalam sejarah, firqah yang dari segi waktu disebutkan oleh Ulama sebagai yang muncul pertama kali di tengah umat Islam adalah Khawarij, di susul kemudian dengan kemunculan Syi’ah. Keduanya muncul pada zaman kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Hanya saja, Syi’ah waktu itu masih sangat terselubung. (Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah XIII/32,33 dan 49).

Khawarij sejak pertama kemunculannya merupakan sekelompok orang yang terkesan sangar, pemberani dan tanpa basa basi. Sedangkan Syi’ah adalah sekelompok orang yang terkenal sangat licik, salah satu aqidahnya adalah menipu. Aqidah “menipu” ini mereka istilahkan dengan taqiyah. Namun baik khawarij maupun syi’ah, sama sama jahat, kejam dan bengis terhadap lawan-lawannya, khususnya terhadap Ahlu Sunnah dan tokoh-tokohnya. Bahkan syi’ah lebih jahat lagi. (Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah XXVIII/478,479,480 dst).

Sejalan dengan kemunculan firqah-firqah itulah, penolakan terhadap sunnah berhembus kencang. Bahkan penolakan terhadap sunnah itulah yang menjadi pemicu lahirnya firqah-firqah. Baik penolakan secara total, maupun penolakan secara sepenggal-sepenggal, dalam arti; yang sesuai dengan hawa nafsu diterima, sedangkan yang tidak cocok dengan hawa nafsu ditolak.

Khawarij menolak berpegang kepada Sunnah jika menurut mereka tidak sesuai dengan zhahirnya nash al-Qur’an. (Majmu’ Fatawa XIII/48-49). Sedangkan Syi’ah menolak banyak Sunnah yang shahih hanya karena mengikuti kaidah hawa nafsu mereka. Mereka adalah makhluk terjahat di muka bumi. Mereka tidak saja menolak Sunnah, bahkan juga al-Qur’an. [Majmu’ Fatawa XXVIII/480,481,482]

Begitu pulalah seterusnya, mu’tazilah serta firqah-firqah lain, adalah kelompok-kelompok yang tidak menerima Sunnah sepenuhnya. Bahkan kemudian ada kelompok yang menolak Sunnah secara total.

SEJARAH INGKARUS SUNNAH
Sebenarnya bisa difahami bahwa benih-benih ingkarus Sunah sudah muncul bersamaan dengan lahirnya firqah-firqah di atas. Hanya saja saat itu mereka tidak dikenal sebagai gerakan ingkarus Sunnah, sebab memang bukan itulah spesifikasi kesesatannya. Tetapi firqah-firqah itulah sejatinya yang memelopori lahirnya gerakan spesifik ingkarus Sunnah, bahkan gerakan-gerakan menyimpang lain yang memiliki unsur pengingkaran terhadap Sunnah, meskipun tidak secara total, tetapi hanya secara parsial.

Khadim Husain Ilahi Najasy, seorang dosen pada fakultas Tarbiyah, Univ. Ummul Qura di Thaif, dalam bukunya menyebutkan bahwa pada akhir abad kedua Hijriyah, telah lahir gerakan yang menyerukan dihilangkannya Sunnah secara total dan bahwa Sunnah tidak boleh dijadikan sandaran dalam pensyari’atan hukum-hukum Islam. Ini katanya, akibat pengaruh syubhat yang diwariskan oleh syi’ah, khawarij dan mu’tazilah. Ia membuktikannya dengan peristiwa dialog yang terjadi antara Imam Syafi’i rahimahullah melawan salah seorang pendukung gerakan itu. Kisah itu ia nukil dari Kitab Jama’ al-Ilmi yang diterbitkan bersama Kitab al-Umm karya Imam Syafi’i. Namun menurut kesimpulannya, kemungkinan terkuat orang yang mendebat Imam Syafi’i tersebut berasal dari kelompok khawarij ekstrimis, bukan dari kelompok mu’tazilah seperti yang disimpulkan oleh Musthafa as-Siba’i dalam as-Sunnah wa Makanatuha dan Khudhari Bik dalam Tarikh at-Tasyri’ al-Islami. [Lihat al-Qur’aniyun wa Syubuhatuhum haula as-Sunnah, karya Khadim Husain Ilahi Najasy, dibawah sub judul : Mauqif al-Qur’aniyin as-Sabiqin min as-Sunnah].

Khawarij memang cenderung mengembalikan segala perkara kepada al-Qur’an saja, bahkan menuntut agar orang mengikuti al-Qur’an, tetapi mereka keluar dari Sunnah dan jama’ah (maksudnya, pemahamannya tidak mengikuti jama’ah kaum Muslimin yang ditokohi para sahabat g ). (Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah XIII/208). Berbeda dengan mu’tazilah yang tidak menolak Sunnah secara total. Golongan yang terakhir ini, kesukaannya mengotak-atik nash-nash al-Qur’an maupun Sunnah supaya selaras dengan akal pikiran mereka yang dangkal.

PERKEMBANGAN INGKARUS SUNNAH

Menurut Khadim Husain Ilahi Najasy dalam bukunya “al-Qur’aniyun” (terbitan Maktabah ash-Shiddiq, cet. I Th. 1409 H/1989 M) hal. 99, bahwa semenjak peristiwa dialog Imam Syafi’i dengan salah seorang anggauta kelompok yang menuntut disingkirkannya Sunnah sebagai sumber hukum, sampai kurang lebih sebelas abad kemudian, tidak terdengar dalam catatan sejarah adanya orang atau kelompok yang menyerukan agar Sunnah disingkirkan dari kedudukannya sebagai sumber hukum. Baru pada abad ke tiga belas Hijriyah mulai terdengar kembali adanya bencana pengingkaran terhadap Sunnah.

Disebutkan, kemunculannya diawali diwilayah yang penduduknya berbicara bahasa Arab, ada yang mengatakan di Irak, ada pula yang mengatakan di Mesir. Namun menurut Khadim Husain Ilahi Najasy, Mesir lebih mendekati kebenaran. Kemudian berkembang dan subur di India. (Lihat al-Qur’aniyun hal. 99 dan seterusnya). Pertumbuhan ingkarus Sunnah di Mesir sendiri berawal dari pengaruh-pengaruh gerakan westernisasi, disusul kemudian dengan kemunculan Jamaludin al-Afghani. Ia membikin wadah diskusi yang di dalamnya berkumpul tokoh-tokoh pergerakan seperti Muhammad Abduh, Abdul Karim Salman, Sa’ad Zaghlul dan lain-lain. Jamaludin al-Afghani adalah orang pertama yang mencetuskan gagasan nasionalisme Mesir hingga kuatnya ikatan kebangsaan dapat menggantikan ikatan agama.

Akhirnya Mesir bukan merupakan negara agama, tetapi menjadi negara bangsa Mesir yang komposisinya terdiri dari kaum Muslimin, Yahudi dan Kristen. Jamaludin percaya dengan persatuan antar tiga agama. Kondisi parah ini diperparah dengan perkembangan politik di Mesir dan penjajahan Inggris. Begitulah secara ringkas, sehingga akhirnya muncul gerakan ingkarus Sunnah, baik ingkar secara total, maupun ingkar terhadap sebagian Sunnah. Namun Ingkarus Sunnah di negeri yang berbahasa Arab ini tidak bersifat jama’ah, tetapi lebih bersifat individual.

Beberapa tokoh individu yang memelopori ingkarus Sunnah murni (total) ialah : dr. Muhammad Taufiq Shidqi (Th. 1298 – 1338 H/sekitar Th. 1880-1920 M), Mahmud Abu Rayyah, dr. Abu Syadi Ahmad Zaki (1892-1955 M), Dr. Isma’il Adham (1911-1940 M) dll.

Sementara orang-orang yang menolak sebagian Sunnah, tokoh-tokohnya antara lain : Ahmad Amin, Ahmad Fauzi, Muhammad Bakhit dan lain-lain. (Lihat al-Qur’aniyun hal. 112-203) Wallahu a’lam.

Tentu Madrasah Ishlahiyah, sebagai wadah gerakan Aqlaniyah (pengagungan terhadap akal) moderen di Mesir, merupakan gerakan yang turut serta meramaikan berkembangnya penolakan terhadap hadits Ahad. Madrasah ini didirikan pada suatu masa di tengah kolonialisme Inggris terhadap Mesir. Ajaran-ajarannya mulai menonjol di tangan Jamaludin al-Irani (yang kemudian menjadi terkenal dengan sebutan Jamaludin al-Afghani). Kemudian ajaran-ajaran Madrasah tersebut semakin populer dan mengakar pada masa kepemimpinan Muhammad Abduh. Begitulah seterusnya. Tokoh-tokoh gerakan Madrasah Islahiyah (Aqlaniyah) moderen ini antara lain; Sa’ad Zaghlul, Muhammad Farid Wajdi, Qasim Amin, Ali Abdur Raziq, Luthfi Sayyid, Mahmud Syaltut, Musthafa al-Maraghi (penyusun Tafsir al-Maraghi-pen), dan belakangan Hasan at-Turabi, Muhammad al-Ghazali, Yusuf al-Qardhawi, Fahmi Huwaidi serta Muhammad Imarah. (Lihat Maa ana ‘alaihi wa Ashabi karya Ahmad Salam, cet. I th. 1415H/1995 M, terbitan Daar Ibni Hazm hal. 33-34).

Sebenarnya akibat akhir dari perjalanan kaum Aqlaniyun (para pengagung akal) ini adalah pengingkaran terhadap wahyu dan penolakan terhadap agama, suka ataupun tidak. (Al-Aqlaniyun Afraakh al-Mu’tazilah al-Ashriyun, karya Syeikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al-Atsari, cet. I th. 1413 H/1993 M, Maktabah al-Ghuraba’ al-Atsariyah, Madinah, KSA hal. 74).

PERKEMBANGAN INGKARUS SUNNAH DI INDIA

Ternyata gerakan ingkarus Sunnahpun sampai ke India. Ada faktor-faktor yang menyebabkan lahirnya gerakan ini, yang terpenting (menurut Khadim Husain dalam al-Qur’aniyun hal. 19,20, 21, 22 dst.) di antaranya adalah :

1. Sebagai akibat logis dari benih-benih gerakan yang ditebarkan oleh anggauta kelompok Sayyid Ahmad Khan, anak seorang tokoh Muslim terkemuka India, namun sepeninggal ayahnya ia berkembang mengikuti kekagumannya pada Inggris dan akhirnya melahirkan berbagai pemikiran aneh.

2. Akibat pengaruh kolonialisme Barat.
Maka mulai tahun 1902 muncullah seorang pendiri gerakan Qur’aniyun bernama Ghulam Nabi yang dikenal dengan nama Abdullah Jakralawi. Ia memulai kegiatan-kegiatan rusaknya dengan mengingkari seluruh Sunnah Nabi n . Pusat kegiatannya di sebuah Masjid di Lahore (sekarang masuk wilayah Pakistan) bernama Masjid Jiniyan Wali.

Sebenarnya, gerakan Qur’aniyun di India mula-mula dipelopori oleh dua orang yang memiliki satu sumber perguruan, dalam waktu bersamaan ; pertama, Muhibbul Haq Azhim Abadi di daerah Bahar, India bagian timur. Kedua Abdullah Jakralawi di Lahore. Hanya saja, secara lahir orang yang pertama tidak menyelisihi kebiasaan umumnya kaum Muslimin. Ia tetap melakukan kegiatan-kegiatan Islam seperti orang Islam umumnya, namun dengan mengambil istinbath hukum hanya berdasarkan al-Qur’an tanpa merujuk kepada hadits. Hal ini menyebabkan kegiatan serta gagasannya tidak terlalu menyentakkan perhatian kaum Muslimin.

Sementara orang kedua (yaitu Abdullah Jakralawi), sejak kemunculan pertamanya sudah menyelisihi umumnya kaum Muslimin. Hal pertama yang sangat mencolok adalah perbedaan dalam masalah shalat, hingga akhirnya membentuk sebuah firqah baru dengan nama Ahli dzikir wal Qur’an.

Demikianlah seterusnya, semakin lama terjadi perbedaan yang semakin lebar antara pengikut Qur’aniyun (ingkarus Sunnah) dengan kaum Muslimin.
Dan gerakan ingkarus Sunnah murni di India, yang dipelopori oleh Abdullah Jakralawi bukan saja dianut sebagai faham individual, tetapi merupakan faham suatu jama’ah. Jama’ah sesat dan kufur.

Di sana masih banyak tokoh ingkarus Sunnah lainnya di India, namun cukuplah apa yang disebutkan di sini sebagai contoh gambaran perkembangan Ingkarus sunnah.

INGKARUS SUNNAH DI INDONESIA

Tidak banyak yang bisa disampaikan tentang ingkarus Sunnah di Indonesia, namun pada tahun delapan puluhan dan sebelumnya pernah meledak kepermukaan sebuah gerakan ingkarus Sunnah dengan tokohnya antara lain Nazwar Syamsu. Mereka mempunyai tata cara shalat sendiri. Shalat menurut mereka sama dengan dzikir. Dengan demikian jika sekelompok orang duduk dalam majelis ilmu, sudah mereka anggap melaksanakan shalat karena majelis ilmu merupakan majelis dzikir. Ini tentu akibat pengingkaran mereka terhadap Sunnah atau akibat hawa nafsu dan kejahilan mereka. Sebab di dalam al-Qur’an, menurut mereka tidak terdapat tata cara shalat secara khusus.

Mengingkari Sunnah secara demikian berarti telah mengingkari wahyu Allah dan itu adalah kufur. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman :

فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya). [An-Nisa’ : 59].

وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَي

Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). [An-Najm : 3-4].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

أَلاَ إِنِّي أُوْتِيْتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ

Ketahuilah, bahwa aku telah diberi wahyu al-Qur’an dan yang semisal al-Qur’an (yakni Sunnah) datang bersamanya. [HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Hakim dan Ahmad dengan sanad yang shahih. Lihat al-Hadits Hujjatun binafsihi fi al-‘Aqaid wal Ahkam, Syeikh al-Albani, yang di bukukan oleh Muhammad Id al-Abbasi, ad-Daar as-Salafiyah, cet. I 1406 H/1986 M. hal. 32-33, juga pada muqadimah hal. 25].

Jadi mereka adalah golongan orang yang sebenarnya menentang al-Qur’an al-Karim. Gerakan ini hingga kini masih ada, hanya suaranya tak begitu bergema. La haula wala Quwwata illa Billah. Semoga kita dilindungi dari kejahatan-kejahatan gerakan semacam ini.

BENTUK-BENTUK INGKARUS SUNNAH

Inggkarus Sunnah seperti telah diisyaratkan di atas, ada yang berbentuk total, yaitu menolak Sunnah secara keseluruhan. Dan ada yang berbentuk parsial, yaitu hanya menolak sebagian Sunnah, di antaranya hadits-hadits Ahad yang berkaitan dengan masalah aqidah atau hadits-hadits yang menurut tolok ukur logika mereka tidak masuk akal. Kelompok penolak sebagian Sunnah ini tidak menamakan diri sebagai kaum ingkar Sunnah, bahkan menolak sebutan demikian.

Bentuk Ingkarus Sunnah secara total sudah dapat terbaca gerakannya semenjak zaman Imam Syafi’i rahmahullah (seperti telah dipaparkan serba sedikit di atas) hingga zaman sekarang. Beberapa tokohnyapun sudah dipaparkan. Jika di Mesir lebih banyak bersifat individual, maka di India dan Indonesia lebih merupakan gerakan jama’ah yang terorganisir. Tetapi masing-masing memiliki daya sesatnya sendiri-sendiri.

Karena itu, dibawah ini hanya akan dipaparkan beberapa bentuk gerakan secara garis besar yang sebenarnya merupakan bagian dari ingkarus Sunnah, namun yang tentu menolak jika disebut ingkarus Sunnah. Sebab mereka beranggapan bahwa mereka tidak menolak Sunnah. Hanya karena mereka bersandar pada logika, maka mereka menolak banyak Sunnah dengan anggapan bahwa Sunnah tersebut mustahil berasal dari Nabi n .

Jika diperhatikan, penolakan terhadap Sunnah jenis ini, ada yang berbentuk individual dan ada pula yang berbentuk jama’ah.

Secara individual, gerakan ini dipelopori antara lain oleh tokoh-tokoh pergerakan seperti yang telah dikemukakan di atas. Meskipun sebenarnya tokoh-tokoh tersebut juga mewakili suatu jama’ah dan pada kenyatannya jama’ah yang dipimpinnyapun menggunakan pola-pola tokoh-tokohnya ketika berbicara tentang Islam dan perjuangan.

Misalnya adalah Muhammad al-Ghazali, seorang tokoh pergerakan kontemporer yang dilihat sepintas sepertinya ingin mengikatkan diri pada cara-cara Salaf. Namun setelah diperhatikan ternyata berlawanan dengan cara-cara salaf, bahkan manhajnya terlihat sangat bebas dan menghilangkan batas-batas pemisah antara haq dan bathil. Di satu sisi sepertinya ingin mengembalikan pada manhaj al-Qur’an, tetapi di sisi lain ternyata menghantam Sunnah dan Ahlu Sunnah.

Syaikh Ahmad Salam dalam karyanya “Maa ana ‘Alaihi wa Ashabi” (Daar Ibnu Hazm cet. I, hal. 194 dst) menukil beberapa pernyataan Muhammad al-Ghazali dari beberapa tulisannya antara lain :

“Mengaitkan diri dengan Salaf merupakan tujuan para pelaku perbaikan pada zaman kita sekarang…Tetapi apa yang kini disebut Salafiyah serta apa yang ditawarkannya sebagai jalan kembali, sungguh merupakan sesuatu yang mengherankan, sebab penawaran itu memuat sejumlah besar persoalan yang bersifat kekanak-kanakan yang semestinya harus mati, dan generasi umat sekarang tidak perlu dibebani untuk mempelajarinya” [dinukil oleh Syaikh Ahmad Salam dari buku karya Muhammad al-Ghazali: Dustur al-Wihdah ats-Tsaqafiyah hal. 130]

Pada buku lain Muhammad al-Ghazali mengatakan : “Para da’i umat Islam, baik salaf maupun khalaf seharusnya berpegang pada metodologi al-Qur’an dalam memaparkan persoalan-persoalan aqidah. Mereka hendaknya menyibukkan diri dengan mengemukakan upaya-upaya solusi Islami bagi problem-problem masa kini serta krisis-krisis moril dan materiil yang muncul. Sebab itulah sesungguhnya yang telah dikerjakan oleh generasi Salaf yang pertama, sehingga hal itu sangat membantu bagi penaklukan-penaklukan negeri-negeri Timur dan Barat. Adapun orang-orang yang kini menyibukkan diri dengan mengumandangkan perang melawan Jahmiyah, Mu’tazilah dan Asy’ariyah, maka bisa jadi mereka hanya memelihara kemenangan di medan yang tidak ada musuhnya, kemenangan dalam khayalan belaka dan tidak akan memperoleh apa-apa kecuali bayangan saja…” [dinukil dari buku Muhammad al-Ghazali “Humum ad-Da’iyah” hal. 136].

Seterusnya dalam buku Ma’allah hal. 347-348 (sesuai dengan penukilan Syaikh Ahmad Salam), Muhammad al-Ghazali mengatakan : “Merupakan keharusan bagi seorang peneliti (Muslim) manapun untuk senang melakukan ijtihad, selama ijtihadnya dipagari dengan ikatan-ikatan kokoh yang bersumber dari pendapat yang mantap dan dari luasnya pemahaman. Seseorang di antara kita ketika bersendirian saja memasuki lautan atsar yang luas, akan mendapatkan dirinya terpaksa bersandar kepada nash dan berupaya melakukan ta’wil lain atau akan mengabaikan sanadnya. Sementara sebagian orang yang lain melakukan cara sebaliknya.

Menurut saya : Sesungguhnya hal pertama yang terbaik adalah mempelajari nash-nash semuanya, kemudian mempelajari semua pendapat fikih yang diwariskan dari empat imam madzhab yang masyhur serta dari ahli-ahli fikih kontemporer lainnya, juga dari Khawarij, Zaidiyah, (Syi’ah) Imamiyah, Zhahiriyah dan seterusnya. Dengan catatan bahwa studi perbandingan ini harus bebas mutlak dan sesudahnya harus diperbolehkan bagi seorang Muslim manapun untuk memilih apa yang disukainya dari pendapat-pendapat fikih di atas, atau kalau tidak, memegangi sikap taklid kepada seorang mujtahid tertentu”.

Dari pemaparan di atas, dapat terlihat betapa kasar Muhammad al-Ghazali menyerang Ahlul Haq yang menyatakan perang terhadap ahli-ahli bid’ah seperti Jahmiyah, Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Menurutnya, itu hanyalah medan perang khayalan belaka. Tetapi pada saat yang sama mengajak membuka pintu lebar-lebar untuk menampung masukan dari pendapat-pendapat Khawarij, Rafidhah (syi’ah), Zhahiriyah dan Imam madzhab yang empat, untuk kemudian bebas memilih atau taklid.

Kesimpulan dari apa yang dikatakan oleh Muhammad al-Ghazali ialah :
1. Bahwa mengikuti jejak Salaf hanyalah dalam masalah takut kepada Allah, ikhlas, mementingkan akhirat serta dalam prinsip-prinsip keadilan dan prinsip-prinsip musyawarah serta prinsip-prinsip lainnya.
2. Bahwa Salaf tidak mengurusi masalah fiqih furu’. Memang demikianlah yang dikatakan oleh al-Ghazali. Dan ini salah besar.
3. Bahwa Salafiyah yang ada sekarang ini, tidak lain hanyalah persoalan-persoalan kekanak-kanakan, mestinya tidak perlu ada.
4. Para da’i hendaknya berpegang dengan metodologi al-Qur’an dalam maalah aqidah.
5. Adalah mungkin untuk memilih pendapat Khawarij, Syi’ah atau Zaidiyah, atau madzhab-madzhab lain, memalui studi banding yang bebas mutlak terhadap nash-nash yang ada.
6. Bahkan sangat mungkin untuk bertaklid kepada firqah-firqah serta madzhab-madzhab di atas.
7. Bahwa membongkar penyimpangan Jahmiyah, Asy’ariyah dan Mu’tazilah merupakan perang yang bersifat khayalan. Hanya akan menghasilkan bayangan-bayangan kosong. (Syeikh Ahmad Salam dalam “Maa ana ‘alaihi wa Ashabi” dengan disadur secara bebas, hal. 194-196).

Demikianlah Muhammad al-Ghazali. Dan dari kesimpulan poin no. 4, terutama jika dihubungkan dengan pernyataan-pernyataannya yang lain, terlihat bahwa ia menolak hadits sebagai sumber aqidah (khususnya hadits Ahad atau yang menurutnya bertentangan dengan logikanya).

Tokoh lain selain Muhammad al-Ghazali, misalnya adalah Yusuf al-Qardhawi. Ia hampir sama dengan Muhammad al-Ghazali dalam banyak hal, begitu pula dalam penolakan terhadap hadits-hadits yang dirasa bertentangan dengan logikanya. Ini disebabkan oleh manhaj yang ditempuh keduanya sama. Hanya saja Yusuf al-Qardhawi lebih pandai dan halus caranya daripada Muhammad al-Ghazali. [Lihat al-Aqlaniyun Afrakh al-Mu’tazilah al-Ashriyun, karya Syeikh Ali bin Hasan al-Atsari, cet. I Maktabah al-Ghuraba’ al-Atsariyah, Madinah, KSA. Hal. 71, 72, 73]. Masih banyak tokoh-tokoh lain yang senada.

Sementara contoh-contoh para penolak sebagian Sunnah yang berbentuk jama’ah, bisa disebutkan di sini secara garis besar, di ataranya : Hizbut Tahrir (HT) yang didirikan oleh Taqiyuddin an-Nabhani. Mereka secara tegas menolak hadits Ahad sebagai pedoman dalam beraqidah.

Kelompok Isa Bugis, juga banyak menolak hadits-hadits yang bertentangan dengan logika jahil mereka.

Majelis Tafsir al-Quran pun tidak mendasarkan pemahaman aqidahnya melalui nash-nash hadits, sehingga banyak persoalan aqidah yang diyakini secara keliru. Manhajnya dalam memahami Islam tidak sejalan dengan manhaj Salaf. Misalnya, keyakinan bahwa orang yang masuk neraka tidak akan masuk sorga. Mudah-mudahan pemahaman ini hanya karena ketidak mengertian, sehingga bila sudah mengerti akan berubah pemahamannya menjadi benar.

Dan di sana masih banyak kelompok pergerakan, baik atas nama individu maupun atas nama kelompok yang sadar atau tidak sadar, telah menolak hadits-hadits Nabi n hanya karena logika mereka yang dangkal tidak bisa menerimanya, padahal hadits-hadits itu telah diterima secara penuh oleh kaum Muslimin.

Sebagai gambaran bahwa pengaruh ingkarus Sunnah sudah merambah berbagai lapisan umat Islam, tampaknya contoh-contoh di atas sudah mencukupi. Wallahu a’lam.

PENUTUP
Demikianlah perjalanan sejarah ingkarus Sunnah secara ringkas hingga kini. Terlepas apakah gerakan ingkarus Sunnah di Indonesia ada atau tidak hubungannya secara struktural atau secara organisatoris dengan ingkarus Sunnah di manca negara, namun kesemuanya berpangkal dari hawa nafsu, syubhat dan kedangkalan pemahaman tentang ajaran Islam.

Disadari atau tidak, ketika seorang individu tertentu atau suatu kelompok tertentu membantah Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam secara serampangan, niscaya akan terjebak pada pengingkaran terhadap Sunnah.

Suka atau tidak suka, orang-orang yang demikian memiliki titik kesamaan (meskipun tidak total) dengan firqah-firqah kaum Muslimin yang sesat seperti Khawarij, Mu’tazilah, Syi’ah dll. Bahkan mungkin menjadi penyambung lidah atau menjadi kelompok golongan-golongan sesat tersebut.

Karenanya, semestinya orang berhati-hati dan bertakwa kepada Allah agar dirinya selamat dari ancaman siksa Allah di akhirat. Kaum Muslimin harus meluangkan waktunya untuk mempelajari ajaran Islam yang benar agar akhirnya bisa kembali kejalan yang benar. Ini bukan kegiatan yang bersifat kekanak-kanakan seperti yang dituduhkan oleh Muhammad al-Ghazali. Kaum Msulimin harus menghormati Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam secara benar dan harus menjunjung tinggi Sunnah-nya. Sedangkan Sunnah para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm juga merupakan Sunnah beliau yang harus dihormati.

Ayat berikut ini cukup sebagai bukti kongkrit dan qath’i agar umat mentaati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ

Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. [An-Nisa’ : 59].

Mentaati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm berarti mengikuti sunnahnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ ، عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذ

Wajib bagi kalian berpegang kepada Sunnahku dan Sunnah para Khulafa’ur Rasyidun, orang-orang yang mendapat petunjuk. Gigit (pegang)lah Sunnah itu dengan gigi geraham kalian. [Hadits Shahih Riwayat Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah dll. Lihat Shahih at-Tirmidzi karya Syeikh al-Albani II/341-342].

Jadi, tidak ada lagi dibalik kebenaran kecuali kesesatan. Wallahu Waliyyu at-Taufiq.

Sumber : Majalah As Sunnah

Shoffiyah Az Zahra

Menelusuri Akar Pemikiran Kaum Liberal


وَلَن تَرْضَىٰ عَنكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ ۗ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُم بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِن وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha kepada kamu sehingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. [al-Baqarah/2:120]

Di dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani tiada henti-hentinya merancang makar dan konspirasi untuk memadamkan cahaya Islam. Disadari atau tidak, pada hari ini kaum muslimin telah dijadikan target utama mereka. Dan ayat di atas, sebenarnya menggugah kaum muslimin agar menyadari bahwa musuh-musuh selalu mengintai dari segala arah untuk memadamkan cahaya Islam.

Di dalam Al-Qur‘an, jauh sebelumnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan umat Islam bahwa orang-orang kafir selalu berusaha mengeluarkan dan memurtadkan kaum muslimin dari Diinul-Islam. Itulah inti persoalannya!

Simaklah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تُطِيعُوا فَرِيقًا مِّنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Ahli Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman. [Ali ‘Imran/3:100].

Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تُطِيعُوا الَّذِينَ كَفَرُوا يَرُدُّوكُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ فَتَنقَلِبُوا خَاسِرِينَ

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mentaati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu kebelakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi. [ Ali ‘Imran/3:149].

Akhir-akhir ini banyak bermunculan pemikiran-pemikiran sesat dan nyeleneh yang dimunculkan oleh orang-orang kafir dari kalangan Yahudi, Nasrani dan sebagian kaum zindiq yang mengaku muslim. Pemikiran-pemikiran seperti ini bukanlah hal yang baru. Sebab sejak zaman dahulu, ide tersebut juga telah mencuat ke permukaan.

Slogan-slogan sesatpun bermunculan, mulai dari slogan toleransi beragama, pluralisme, [1] persaudaraan agama-agama, reaktualisasi hukum Islam, pengakuan sebagai nabi baru, pengakuan mendapat wahyu, hermeneutika,[2] liberalisasi tafsir, paham relativisme, paham inklusivisme,[3] pengakuan sebagai imam mahdi, pembaharuan syariat Islam, dan masih banyak lagi slogan-slogan lainnya. Sekularisasi dan liberalisasi agama ini dibungkus dengan atribut Islam dan diklaim sebagai bagian dari Islam. Selain itu muncul pula sebagian oknum yang berusaha menyatukan agama-agama. Mereka menyimpulkan bahwa semua agama itu pada hakikatnya sama, dan hanya penampilannya saja yang berbeda-beda. Menurut mereka, bangunan agama itu nampak sama atau serupa, atau dapat diabstrasikan menjadi sesuatu yang sama. Yang sangat disayangkan, sebagian kaum muslimin yang awam terpengaruh dengan propaganda sesat seperti ini.

Apalagi, di kalangan umat Islam, mulai muncul gejala umum yang mengkhawatirkan, yakni mudahnya mengambil dan meniru metodologi pemahaman Al-Qur‘an dan as-Sunnah yang berasal dari pemikiran dan peradaban asing. Gerakan “impor pemikiran” semakin gencar dilakukan, terutama oleh kalangan yang menggeluti Islamic Studies. Ironisnya, sedikit sekali yang memiliki ketelitian dan kritis terhadap gagasan-gagasan impor yang sebenarnya bertolak belakang dengan pokok-pokok dasar Islam dan berpotensi menggerogoti sendi-sendi akidah seorang Muslim.

Sebagai contoh, munculnya paham pluralisme (penyatuan agama) di tengah-tengah umat Islam yang diusung oleh oknum-oknum yang mengaku Islam. Sebenarnya, paham ini sudah ada pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun gerakannya dapat diredam hingga berakhirnya periode generasi terbaik.

Kemudian setelah itu, gerakan ini muncul kembali dengan membuat slogan baru untuk menipu orang-orang awam. Slogan mereka, bahwa agama-agama seperti Yahudi, Nashrani, dan Islam, ibaratnya seperti keberadaan empat madzhab fiqih di tengah-tengah kaum muslimin, semua agama pada hakikatnya menuju Allah. Slogan ini ternyata disambut baik oleh kelompok Wihdatul Wujud, al-Ittihadiyyah, al-Hululiyyah, dan yang menisbatkan diri mereka kepada Islam dari kalangan kaum mulhid, zindiq dan orangorang tasawwuf di Mesir, Syam, Persia dan di negara-negara lainnya.

Demikian pula, slogan ini disambut baik oleh kaum Syi’ah Rafidhah dan sekte-sekte lainnya. Hingga sebagian dari mereka ada yang membolehkan berpindah-pindah agama secara bebas seperti halnya berpindah-pindah madzhab. Bahkan ada pula di antara mereka yang cenderung lebih mengunggulkan agama Yahudi dan Nasrani daripada Islam. Hal ini banyak ditemukan pada sebagian orang yang banyak terpengaruh dengan ilmu filsafat.

Pada pertengahan pertama abad empat belas hijriyah, mulailah seruan penyatuan agama itu dikumandangkan, setelah sekian lama mengakar dalam dada para penganjurnya yang menampakkan keislaman namun menyembunyikan kekufuran dan kesesatan. Lahirlah sebuah organisasi yang disebut dengan Freemasonry, yakni sebuah organisasi Yahudi yang mengusung slogan Liberty, Egality, dan Fraternity (kebebasan, persamaan dan persaudaraan), dan mempropagandakan persaudaraan universal tanpa memandang etnis, bangsa, dan agama. Organisasi itu muncul dengan slogan penyatuan tiga agama besar (Yahudi, Nasrani, dan Islam), menghilangkan fanatisme agama. Menurut mereka, semuanya adalah mukmin. Tercatat sebagai orang yang ikut terlibat menyebarkan slogan ini adalah Jamaluddin bin Shafdar al-Afghani pada tahun 1314 H di Turki, dan juga diikuti oleh muridnya yang sangat gigih menyuarakannya yaitu Muhammad ‘Abduh bin Hasan at-Turkimani pada tahun 1323 H di Iskandariyah (Mesir). [4]

Paham ini terus berkembang hingga sekarang. Sejumlah orang secara terang-terangan menyerukannya, baik lewat lisan maupun tulisan. Mereka tidak malu-malu lagi menyuarakannya. Misalnya Nurcholish Madjid, ia menganggap banyak agama yang benar, tidak hanya Islam. (Teologi Inklusif Cak Nur karya Sukidi, Kompas, 2001). Saat memberi kata pengantar buku Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, hlm. 6 (Penerbit Buku Kompas, 2001), Nurcholish mengucapkan kalimat yang seolah-olah benar namun sebenarnya batil, “Kendatipun cara, metode atau jalan keberagamaan menuju Tuhan berbeda-beda, namun Tuhan yang hendak kita tuju adalah Tuhan yang sama, Allah Yang Maha Esa”.

Untuk itu, iapun mengusung teori relativisme. Ia mengatakan, “Rasa toleransi agama hanya akan tumbuh di atas dasar paham kenisbian (relativisme) bentuk-bentuk formal agama ini dan pengakuan bersama akan kemutlakan suatu nilai yang universal, yang mengarah kepada setiap manusia, yang kiranya merupakan inti setiap agama”.

Demikian juga Muhammad Ali, dosen IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang membuat tulisan di harian Republika (14 Maret 2002) berjudul Hermeneutika dan Pluralisme Agama. Ia mengajak orang agar tidak memahami ayat Allah dalam surat Ali Imran ayat 19 dan 85 dalam bingkai teologi eksklusif, yakni keyakinan bahwa jalan kebenaran dan jalan keselamatan bagi manusia hanyalah dapat dilalui melalui jalan Islam. Tapi ayat ini harus dipahami dengan teologi pluralis dan teologi inklusif.

Makanya, mereka berusaha menakwil ayatayat yang isinya mencela orang-orang Yahudi dan Nashrani. Seperti yang dikemukakan oleh Quraisy-Syihab tentang tafsir firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَلَن تَرْضَىٰ عَنكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ

(Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan ridha kepadamu sampai engkau mau mengikuti agama mereka. –Qs. al-Baqarah/2 ayat 120).

Quraisy Shihab menafsirkan, bahwa ayat di atas ditujukan secara khusus kepada orang-orang Yahudi dan umat Nasrani tertentu yang hidup pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bukan kepada umat Nasrani dan Yahudi secara keseluruhan. Sementara diijinkannya memerangi orang kafir bukan diperuntukkan terhadap umat Nasrani dan yang semacamnya yang termasuk Ahli Kitab. [5]

Contoh lain, yaitu maraknya kajian fiqh yang mereka sebut Fiqh Lintas Agama. Isinya ternyata menyerang syariat Islam dan seruan reaktualisasi hukum Islam. Mereka sebenarnya hanyalah membeo perkataan kaum orientalis Barat yang menyifati hukum dan syariat Islam sebagai hukum barbar. Menurut mereka, penerapan syariat Islam akan mendiskreditkan penganut agama lain. Mereka juga beranggapan bahwa hukum Islam merugikan kaum wanita, bertentangan dengan HAM, tidak manusiawi; seperti hukum rajam, potong tangan, cambuk dan dibolehkannya perbudakan.[6]

Pemikiran ini, mereka arahkan sebagai penolakan kepada hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang katanya tidak sesuai dengan semangat pluralisme inklusivisme. Mereka juga mencacimaki Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu yang banyak meriwayatkan hadits-hadits tersebut.

Contoh lainnya, yaitu tentang hermeneutika. Beberapa institusi pendidikan Islam sudah mengajarkan hermeneutika sebagai alternatif bagi metode penafsiran Al-Qur‘an yang selama ini telah dikenal oleh umat Islam pada umumnya. Bahkan, sekarang sudah muncul tokoh-tokoh organisasi Islam yang begitu bersemangat menyebarkan dan mengajarkan hermeneutika, dengan menyerukan agar metode tafsir “klasik” Al-Qur‘an tidak digunakan lagi!

Hermeneutika, ialah metode tafsir Bible, yang kemudian dikembangkan oleh para filosof dan pemikir Kristen di Barat menjadi metode interpretasi teks secara umum. Oleh sebagian cendekiawan Muslim, kemudian metode ini diadopsi dan dikembangkan, untuk dijadikan sebagai alternatif dari metode pemahaman Al-Qur‘an yang dikenal sebagai “ilmu tafsir”.

Jika metode atau cara pemahaman Al-Qur‘an sudah mengikuti metode kaum Yahudi-Nasrani dalam memahami Bible, maka patut dipertanyakan, bagaimanakah masa depan kaum muslimin di Indonesia? Pertanyaan ini perlu disampaikan kepada kita, termasuk kepada para “cendikiawan Muslim” itu. Kanker ganas ini sedang bekerja sangat cepat menggerogoti organorgan vital kaum muslimin. Apalagi, di kalangan umat Islam, mulai muncul gejala umum yang mengkhawatirkan, yakni mudahnya mengambil dan meniru metodologi pemahaman Al-Qur‘an dan as-Sunnah yang berasal dari pemikiran dan peradaban asing. Gerakan “impor pemikiran” semakin gencar dilakukan, terutama oleh kalangan yang menggeluti Islamic Studies (studi Islam). Sayangnya, sedikit sekali yang memiliki sikap “teliti sebelum membeli” gagasan-gagasan impor yang sebenarnya bertolak belakang dan berpotensi menggerogoti sendi-sendi aqidah kaum muslimin.

Hermeneutika merupakan salah satu produk asing yang belum lama ini dipasarkan dalam sebuah seminar nasional “Hermeneutika Al-Qur`an: Pergulatan tentang Penafsiran Kitab Suci” di sebuah perguruan Tinggi. Konon, tujuannya antara lain mencari dan merumuskan sebuah “hermeneutika Al-Qur`an” yang relevan untuk konteks umat Islam di era globalisasi umumnya, dan di Indonesia khususnya.

Karena sudah terlanjur gandrung kepada segala yang baru dan Barat (everything new and Western), sejumlah cendekiawan yang nota bene muslim itu menganggap hermeneutika bebas-nilai alias netral. Bagi mereka, hermeneutika dapat memperkaya dan dijadikan alternatif pengganti metode tafsir tradisional yang dituduh “ahistoris” (mengabaikan konteks sejarah) dan “uncritical” (tidak kritis). Kalangan ini tidak menyadari bahwa hermeneutika sesungguhnya sarat dengan asumsi-asumsi dan implikasi teologis, filosofis, epistemologis dan metodologis yang timbul dalam konteks keberagamaan dan pengalaman sejarah Yahudi dan Kristen. [7]

Di antara pendapat nyeleneh kaum liberalis ini, ialah membolehkan mengucapkan salam kepada non muslim, membolehkan mengucapkan selamat Natal dan selamat hari raya agama lain, membolehkan menghadiri perayaan hari-hari besar agama lain, membolehkan doa bersama antar pemeluk agama yang berbeda, membolehkan wanita muslimah menikah dengan laki-laki kafir, membolehkan orang kafir mewarisi harta seorang muslim, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Sumber :  Ustadz Abu Ihsan Al-Maidani

Shoffiyah Az Zahra

Liberalisme, Pluralisme Dan Inklusivisme, Dahulu Hingga Sekarang

Dahulu, kaum sufi juga memiliki keyakinan wihdatul-adyân (penyatuan agama), sebagai ekses dari keyakinan wihdatul-wujud yang mereka anut. Suatu keyakinan yang bathil, mereka mengatakan, bahwasanya Allah menampakkan diri dalam wujud segala sesuatu. Dan termasuk “sesuatu” adalah berhala dan semua yang disembah, baik berupa pepohonan, bebatuan, hewan, manusia, bintang dan malaikat. Pada hakikatnya yang disembah itu adalah Allah. Itulah makna kalimat lâ ilâha illallah menurut sangkaan kaum sufi yang meyakini wihdatul wujud.

Diantara contoh-contoh perkataan bathil dan kufur yang diucapkan oleh beberapa tokoh mereka yaitu Seperti ucapan ‘Abdul-Karim al-Jîli : Lâ ilâha illa ana, maksudnya, segala sesuatu yang disembah tidak lain adalah Aku. Akulah yang menampakkan diri dalam wujud berhalaberhala, bintang-bintang dan benda-benda itu. Akulah yang menjelma dalam wujud segala sesuatu yang disembah penganut ajaran agama manapun. Sesembahan-sesembahan itu tidak lain adalah Aku. Oleh sebab itu berhalaberhala itu Aku sebut sebagai ilâh (sesembahan).

Penyebutan kalimat ilâh bagi berhalaberhala tersebut adalah secara hakiki dan bukan majazi (kiasan). Tidak seperti asumsi ahli zhahir (maksud mereka adalah ahli hadits) yang mengatakan bahwa maksud Allah Subhanahu wa Ta’ala menamakan berhala-berhala itu dengan sebutan ilâh karena para penyembahnya menyebut sesembahan mereka dengan sebutan tersebut. Bukan maksudnya berhala-berhala itu benar-benar ilâh! Ini merupakan kekeliruan mereka (ahli zhahir) dan kedustaan terhadap Allahk. Sebab berhala-berhala itu, bahkan segala sesuatu di alam ini berasal dari Dzat Allah Azza wa Jalla.

Jadi, penamaan tersebut adalah hakiki. Karena Allahk adalah hakikat segala sesuatu. Bila Allahk menamakan sesuatu dengan sebutan ilâh, maka itu adalah penyebutan secara hakiki. Tidak sebagaimana asumsi ahli taklid yang terhijab (yang dimaksud adalah ahli ilmu), mereka mengatakan penamaan tersebut adalah penamaan secara majazi (kiasan). Berdasarkan asumsi mereka itu, berarti bebatuan, bintang-bintang, seluruh benda-benda yang disembah bukan ilâh! Dan berarti firman Allahk yang berbunyi: “Tiada sesembahan selain Aku maka sembahlah Aku” adalah tidak benar!

Yang benar ialah, Allah Azza wa Jalla menjelaskan kepada mereka (para penyembah berhala) bahwa berhala-berhala mereka itu adalah jelmaan Allahk. Artinya, status berhalaberhala tersebut sebagai ilaah adalah benar adanya. Dan yang mereka sembah itu pada hakikatnya adalah Allahk. Allahk berfirman “lâ ilâha illa ana” (tiada ilâh selain Aku). Yaitu tidak ada sesuatu apapun yang disebut sebagai ilaah kecuali Aku. Tidak ada di alam raya ini yang menyembah selain Aku. Bagaimana mungkin mereka menyembah selain-Ku, bukankah Aku telah menciptakan mereka supaya beribadah kepada-Ku saja? Dan tidak akan terjadi kecuali apa yang menjadi tujuan-Ku menciptakan mereka.

Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Setiap makhluk dimudahkan untuk sesuatu yang telah digariskan atas mereka”. Yaitu untuk beribadah kepada Allahk. Allah Azza wa Jalla berfirman: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku”. Allah kjuga berfirman: “Dan tidaklah segala sesuatu kecuali bertasbih dengan memuji-Ku”.

Dalam ayat di atas, Allahk telah memperingatkan Nabi Musa Alaihissallam, bahwa para penyembah berhala tersebut pada hakikatnya menyembah Allah Azza wa Jalla. Namun mereka menyambah-Nya melalui wujud berhala jelmaan Allah. Lalu memerintahkan Nabi Musa Alaihissallam agar menyembah Allah Azza wa Jalla dari seluruh wujud jelmaan Allah, Allah Azza wa Jalla berkata: “Tiada ilâh (sesembahan) kecuali Aku”. Yaitu segala sesuatu itu adalah Aku. Dan segala sesuatu yang Ku-sebut ilâh adalah Aku.[1]

Demikianlah penjelasan panjang lebar yang bathil lagi kufur dari al Jiili.

Contoh perkataan bathil lainnya yaitu ucapan Asy-Sya’rani : “Ketahuilah, seorang ahli tauhid selalu melaksanakan konsekuensi tauhidnya dengan cara apa saja. Meskipun ia tidak beriman kepada Kitabullah dan Rasul, ia tetap masuk surga”.[2]

Adapun Ibnu Arabi sudah kita ketahui bersama keyakinannya dalam masalah ini. Banyak pernyataan-pernyataan yang ia lontarkan dalam bukunya. Begitu pula, banyak bait-bait syair yang menunjukkan bahwa ia menganut keyakinan wihdatul-adyân. Menurutnya, menyembah patung-patung berhala itu tidak ubahnya menyembah Allah. Menurutnya, biara-biara itu sama seperti Ka’bah, gereja sama seperti masjid, seiring dengan bertukar-tukarnya penjelmaan Allah.
Dia-lah yang menampakkan diri dalam wujud segala sesuatu.

Dalam syairnya ia berkata:
Hatiku meyakini bentuk segala sesuatu
Tidak ada beda antara padang rumput tempat rusa merumput dengan biara para ruhban (ahli ibadah) tidak ada beda antara rumah berhala dengan Ka’bah begitu juga antara lembaran Taurat dengan mushaf Al-Qur‘ân
Aku senantiasa menjadikan cinta sebagai agama kemana saja kendaraanku menghadap[3]
Bagiku seluruh agama itu adalah agamaku dan imanku
Dalam kisah Bisyr, Hindun, dan saudaranya terdapat teladan yang baik bagi kita.
Begitu pula dalam kisah Qeis dan Laila, Serta kisah Mayy dan Ghailan.[4]

Dalam syair lain ia berkata:
Kadangkala aku disebut penggembala kambing di padang rumput
Kadangkala pula aku disebut rahib dan ahli nujum
Kekasihku menjelma menjadi tiga yang sebelumnya hanyalah satu.
Sebagaimana mereka menyebut satu oknum dengan beberapa identitas.[5]

Lebih jauh lagi ia mengatakan: “Seorang ahli ma’rifat yang sempurna, adalah yang dapat melihat seluruh sesembahan yang disembah menjelma dalam wujud Allahk. Oleh sebab itu, orang-orang menamakannya ilâh (sesembahan), disamping nama-nama khusus seperti batu, pohon, hewan, manusia, bintang dan malaikat. Itulah identitas khususnya. Uluhiyah, adalah sebuah martabat yang tergambar di benak penyembah berhala; seolah-olah itulah martabat sesembahannya. Namun pada hakikatnya yang terlihat oleh penyembah berhala itu adalah Allahk yang menjelma pada benda-benda khusus yang disembahnya itu”.[6]

Jadi, menurut falsafah Ibnu Arabi, penyembahan anak sapi yang dilakukan Bani Israil tidak lain adalah penyembahan Allah. Ia berkata: “Nabi Musa Alaihissallam lebih paham tentang hal ini daripada Harun Alaihissallam. Beliau menyadari apa sebenarnya yang disembah oleh para penyembah anak sapi itu. Beliau mengetahui secara pasti, Allah Azza wa Jalla telah menetapkan bahwa tidak ada sesuatupun yang disembah kecuali Allah. Dan ketetapan Allah Azza wa Jalla tersebut pasti berlaku. Oleh karena itulah Nabi Musa Alaihissallam menegur Nabi Harun Alaihissallam yang menyanggah mereka dan tidak bersikap toleran. Sebab seorang ‘arif (yang telah mencapai derajat ma’rifat), adalah yang dapat melihat Allah Azza wa Jalla pada segala sesuatu. Bahkan ia melihat Allah sebagai hakikat segala sesuatu”.[7]

Ibnu Arabi juga meyakini bahwa semua orang pasti masuk surga, tanpa pandang bulu apakah ia seorang muslim ataukah kafir. Ia berkata: “Telah nyata bagimu bahwa Allah Azza wa Jalla berada di arah mana saja. Yang berkembang di tengah-tengah manusia hanyalah sebatas keyakinan-keyakinan belaka. Semua pihak berada di atas kebenaran. Dan setiap yang benar berhak mendapat pahala. Dan setiap yang mendapat pahala pasti bahagia. Dan setiap orang yang berbahagia berarti telah mendapat keridhaan. Meskipun celaka selama beberapa waktu di Akhirat”.[8]

Ibnu Arabi juga berkata: “Adapun penghuni neraka, maka tempat kembali mereka adalah kenikmatan. Namun mereka tetap berada di neraka, sebab neraka akan berubah menjadi dingin dan penuh keselamatan setelah habis masa penyiksaan. Itulah kenikmatan penghuni neraka. Kenikmatan mereka itu seperti kenikmatan Nabi Ibrahim Alaihissallam ketika dilemparkan ke dalam api. Beliau merasa takut dan tersiksa melihat api tersebut, karena mengetahui apa yang diakibatkan oleh bakaran api itu. Beliau juga mengetahui bahwa api itu dapat membakar hewan yang ada di sekitarnya dan benda apa saja yang dikehendaki Allah Azza wa Jalla. Setelah penghuni neraka merasakan siksaan, mereka akan mendapatkan kesejukan dan kedamaian meskipun ia menyaksikan neraka. Neraka itu hanyalah neraka dalam pandangan manusia. Dan pandangan manusia bisa jadi berbeda dengan kenyataan yang sebenarnya. Itulah tajalli ilahi”.[9]

Itulah pendahulu mereka! Betapa mirip dahulu dengan sekarang. Sekarang, mereka juga menyuarakan seperti itu namun dengan nada yang sedikit berbeda tetapi dengan tujuan yang sama, yaitu menisbikan agama! Semua bertolak dari satu pijakan, yaitu kebebasan berpikir dan mendewakan akal di atas syariat.

Jadi, liberalisme sebagai sebuah paham sesungguhnya sudah lama ada, seiring dengan proses penerjemahan buku-buku filsafat Yunani, Persia dan India ke dalam bahasa Arab atas perintah al-Makmun. Sejak itu, seruan kepada wihdatul-adyân (penyatuan agama) dan penisbian nilai-nilai agama sudah terdengar. Penganut paham pluralis ini mengambil patokan tahun 1798 sebagai tonggak berdirinya paham Liberal.

Pada tahun 1798 Napoleon Bonaparte menancapkan kukunya di Mesir. Tahun itu sangat bersejarah sehingga Bernard Lewis menyebutnya sebagai “a watershed in history” dan “the first shock to Islamic complacency, the first impulse to westernization and reform” (Lewis 1964:34). Para sejarawan menyebutkan, kedatangan Napoleon di Mesir merupakan tonggak penting bagi Muslim Liberal dan juga bagi bangsa Eropa. Bagi kaum Muslim Liberal, kedatangan itu membuka mata mereka, betapa tentara Eropa yang modern mampu menaklukkan dan menguasai jantung Islam. Bagi orang Eropa, kedatangan itu menyadarkan betapa mudah menaklukkan sebuah peradaban yang di masa silam begitu berjaya dan sulit ditaklukkan. Begitu pentingnya tahun 1798 ini hingga Albert Hourani, sejarawan Inggris keturunan Lebanon, menjadikannya sebagai awal era liberal bagi bangsa Arab dan kaum muslimin. Seperti telah ia jelaskan dalam bukunya, Arabic Thought in the Liberal Age, kedatangan Napoleon ke Mesir bukan sekadar invasi militer, melainkan juga titik awal westernisasi bangsa Arab dan kaum Muslim. Hourani ini menjadikan era liberal sebagai rujukan masa kebangkitan Islam di dunia modern.

Kata liberal di sini, ialah sebuah kondisi dan suasana dimana kaum muslim bebas mengartikulasikan kesadaran budaya dan peradaban mereka. Dalam konteks Eropa, liberal mengacu kepada situasi kebangkitan dan pencerahan. Itulah sebabnya ketika karya Hourani ini diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, kata yang digunakan untuk menerjemahkan “liberal age” adalah ‘ashr al-nahdhoh, yang berarti “era kebangkitan”. Judul lengkap buku Hourani ini ialah al-Fikr al-Arabi fi asr al-nahdhoh.

Menurut Hourani, era liberal di dunia Arab dimulai antara tahun 1798 sampai tahun 1939. Selama rentang itu, dasar pemikiran seperti kemajuan, modernitas, kebebasan, dan persamaan dibincangkan secara luas.

Para pembaharu generasi awal seperti at-Tahtawi, at-Tunisi, dan al-Kawâkibi memandang kondisi kaum muslimin saat itu terbelakang, tidak semaju bangsa Eropa. Perhatian utama mereka adalah bagaimana mengubah keadaan ke arah lebih baik. Mereka selalu membenturkan kondisi keterbelakangan kaum muslimin dengan kemajuan Eropa. Persis seperti yang dipertanyakan al-Kawaakibi dalam bukunya berjudul, Limâdza Ta-akhkhara al-Muslimun wa Limâdza Taqaddama Ghairuhum (Mengapa kaum muslim mundur dan mengapa bangsa lain maju?).

Seluruh pemikiran dan gagasan yang dikemukakan para pembaharu Islam abad ke-19 berputar pada upaya menjawab pertanyaan di atas. Adalah ironis, peradaban yang pada masa silam memiliki sejarah gemilang dan kitab sucinya mewartakan “umat terbaik di dunia” (khairu ummatin ukhrijat linnas), namun ia berada pada titik nadir peradaban. Bukan hanya berada dalam keterbelakangan, tetapi juga berada dalam penjajahan bangsa lain. Mesti ada satu sebab utama, mengapa kaum Muslim terbelakang dan mengapa bangsa Eropa maju?

Rifa’a at-Tahtawi (1801-1873), adalah salah satu tokoh pembaharu generasi awal yang mencoba menjawab pertanyaan itu. Menurut at-Tahtawi, kunci pertanyaan itu adalah “kebebasan” (hurriyyah). Bangsa Eropa maju karena memiliki kebebasan. Temuan sains dan teknologi di Eropa sejak abad ke-16 didorong oleh suasana kebebasan dalam masyarakat itu. At-Tahtawi menganggap, kebebasan bukan hanya kunci bagi kebahagiaan, tetapi juga bagi keamanan dan kesejahteraan. Menurut at-Tahtawi, sebab utama keterbelakangan kaum muslimin, ialah ketiadaan kebebasan itu. Ini sudah terjadi sejak kerajaan Islam di Baghdad (abad ke-12) dan Cordova (abad ke-15) runtuh. Sebaliknya, kebebasan berpikir, yang dalam istilah agama dikenal dengan ijtihad justru dimusuhi dan diharamkan. Selama rentang abad ke-15-ke-19, wacana pemikiran Islam diwarnai dengan semangat menutup pintu ijtihad.

At-Tahtawi tak sendirian meyakini “kebebasan” sebagai kunci kemajuan suatu bangsa. Pada tahun 1878 Sa’dullah, seorang intelektual dan diplomat Turki, berkunjung ke Pameran Besar di Paris. Dalam sepucuk surat kepada teman-temannya, dia bercerita: “Di depan pintu utama, aku melihat patung kebebasan. Dia duduk dan memegang sesuatu di tangannya. Gayanya seolah sedang menyampaikan pesan: ‘Hai para pengunjung! Jika anda menyaksikan berbagai pencapaian kemajuan manusia dalam pameran ini, jangan lupa bahwa seluruh pencapaian ini adalah hasil dari kebebasan. Lewat kebebasan manusia mencapai kebahagiaan. Tanpa kebebasan, tak akan ada keamanan; tanpa keamanan, tak akan ada pencapaian; tanpa pencapaian, tak akan ada kesejahteraan; tanpa kesejahteraan, tak akan ada kebahagiaan’.” [Lewis 1964:47].

Begitulah awal mula munculnya paham kebebasan yang kebablasan ini. Para pembaharu atau liberalis muslim generasi awal melihat kebebasan benar-benar sebagai kunci kebahagiaan. Bukan hanya kebahagiaan individu, tetapi juga kebahagiaan suatu bangsa.

Yang dimaksud dengan kebebasan adalah kebebasan politik. Yaitu suatu keadaan saat individu bisa memikirkan dan berbuat sesuatu secara bebas tanpa tekanan atau larangan penguasa. Yang dimaksud dengan “penguasa” sebetulnya adalah kepala negara –raja maupun sultan- tetapi dalam pemahaman at-Tahtawi dan kelompoknya, “penguasa” adalah otoritas dalam sebuah kelompok masyarakat yang mampu mempengaruhi. Dalam hal ini, tokoh atau lembaga agama yang memiliki pengaruh politik di masyarakat bisa dianggap sebagai “penguasa”.

Generasi kedua gerakan liberalisme Islam juga menganggap kebebasan sebagai kunci utama memperbaiki keadaan kaum muslimin. Para tokoh generasi ini, seperti Muhammad Abduh yang kemudian dilanjutkan oleh murid setianya, Qassim Amin, Ali Abdur-Raziq, dan seorang murid asal Indonesia, Muhammad Tahir Djalaluddin, menganggap kebebasan sebagai modal penting merealisasikan solusi lain. Qassim Amin misalnya, menganggap kebebasan sebagai prasyarat utama bagi terwujudnya gagasan emansipasi perempuan. Amin adalah tokoh Islam pertama yang lantang menyuarakan emansipasi perempuan di dunia Islam.

Ali Abdur-Raziq (1888-1966) adalah sahabat dan pendukung Qassim Amin. Sepenuhnya ia setuju dengan gagasan emansipasi perempuan dan perlunya kaum muslimin memberi ruang “kebebasan” bagi perempuan. Tetapi, system kekuasaan yang menaungi kaum muslimin tak bersahabat pada gagasan progresifnya ini. Selama itu pula, gagasan ini tak bisa terwujud. Yang dia maksud dengan “sistem kekuasaan tak bersahabat”, adalah sistem pemerintahan khilafah.

Ketika Abdur-Raziq berbicara tentang “khilafah”, rujukannya ialah system pemerintahan Kerajaan ‘Utsmaniyah. Seperti umumnya para reformis Muslim saat itu, Abdur-Raziq juga memandang kekhalifahan ‘Utsmaniyah sebagai contoh buruk pemerintahan Islam. Pola hidup hedonistik para khalifah dengan harem dan kemewahan yang mengelilinginya kerap dikontraskan dengan kemiskinan dan kebodohan kaum muslimin ketika itu. Menurutnya, sistem khilafah bukan sistem yang ideal. Itu sebabnya, Abdur-Raziq menolak sistem khilafah. Baginya, khilafah bukan sistem politik yang diwajibkan Islam. Khilafah hanya satu dari banyak pilihan ciptaan manusia. Di era modern, ketika ada system politik yang lebih baik, sudah seharusnya kaum muslimin menyerapnya. Menurutnya, mempertahankan sistem khilafah tak hanya menghabiskan energi kaum muslimin, tetapi juga melestarikan kebodohan dan keterbelakangan.

Muhammad Tahir Djalaluddin adalah murid Muhammad ‘Abduh yang menyebarkan gagasan pembaharuan Islam di Indonesia. Selesai berguru kepada Abduh, ia meninggalkan Mesir. Karena situasi politik tak menguntungkan, ia tak kembali ke Indonesia, tetapi transit di Singapura dan mulai menyebarkan gagasan pembaruannya dari sana. Di Singapura, ia mendirikan majalah al-Imam. Nama ini terinspirasi dari panggilan akrab Muhammad ‘Abduh. Di Mesir, mereka mendirikan kelompok diskusi yang disebut madrasah al-Imam dan mendirikan partai politik yang disebut Hizb al-Imam.

Lewat Djalaluddin, gagasan pembaruan dan liberalisme Islam Timur Tengah disebarkan di Indonesia dan Malaysia. Tulisan al-Afghani dan ‘Abduh dalam al-’Urwatul-Wutsqa dan al-Manar diterjemahkan dan diterbitkan dalam majalah al-Imam. Tema tentang kemajuan, kebebasan, dan emansipasi wanita mewarnai majalah ini. Majalah al-Imam menjadi media Islam pertama yang menyebarkan gagasan liberalisme Islam di Indonesia. Pada 1911 majalah Islam lain, al-Munir, terbit di Sumatera. Pendirinya, ‘Abdullah Ahmad, adalah murid Ahmad Khatib, reformis Melayu yang bermukim di Mekkah. Majalah ini, bersama al-Imam, menjadi corong kaum muda menyebarkan gagasan Islam Liberal.

Gerakan Islam Liberal menemukan momentumnya kembali di Indonesia pada awal 1970-an, seiring dengan perubahan politik dari era Soekarno ke Soeharto. Gerakan ini dipicu oleh munculnya generasi baru yang lebih banyak berkesempatan belajar Islam di Barat (Eropa dan Amerika). Tokoh paling sentral dalam gerakan baru ini adalah Nurcholish Madjid. Ia banyak melontarkan gagasan baru. Di antaranya tentang sekularisasi, pluralisasi dan paham kenisbian (relativisme). Cak Nur inilah yang mengartikan “Lâ ilâha illallah” dengan “tiada tuhan selain Tuhan”. Dia kemudian mendirikan Universitas Paramadina yang menjadi “tempat berkumpulnya” orang-orang yang sepaham dengannya.

Cak Nur ini tak sendirian. Menjelang tahun 1980-an, gerbong Islam Liberal diperkuat dengan semakin banyaknya liberalis-liberalis baru. Mereka menganggap diri sebagai penerus cita-cita kebangkitan dalam semangat Muhammad ‘Abduh, Qassim Amin, Ali ‘Abdur-Raziq, dan Muhammad Iqbal. Tulisan dan refleksi mereka tersebar di media massa. Gagasan pembaruan mereka dikaji dan disebarkan generasi lebih muda di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.

Pada 2001 Jaringan Islam Liberal (JIL) didirikan di Jakarta. Organisasi (lebih tepatnya gerakan) ini melengkapi munculnya organisasi Islam serupa yang sudah ada lebih dulu: Rahima, Lakpesdam, Puan Amal Hayati, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), dan Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ). Sejak awal, JIL diniatkan sebagai payung atau penghubung organisasi Islam Liberal yang ada di Indonesia. Karena itu, gerakan ini tak memakai nama organisasi atau lembaga, tapi jaringan. Dengan nama jaringan, JIL berusaha menjadi komunitas tempat para aktivis muslim berbagai organisasi Islam Liberal berinteraksi dan bertukar pandangan secara bebas.[10]

Jadi, inti agenda Islam liberal ini ialah menanamkan bahwa urusan negara adalah murni urusan dunia, dan sistem manapun yang dipakai tidak menjadi masalah, mengangkat isu toleransi antar agama, menyuarakan emansipasi wanita dan kebebasan berpendapat secara mutlak. [11]

Itulah makar orang-orang kafir dan zindiq untuk menyesatkan kaum muslimin. Lalu apa kewajiban kaum muslimin? Bagaimana cara menghadapi serangan yang ditujukan secara membabi buta terhadap Islam dan kaum muslimin?

Tentu saja, tanggung jawab besar ada di pundak kaum muslimin, baik secara individu maupun kelompok, rakyat maupun pemerintah dalam menghadapi arus pemikiran sesat yang memangsa setiap individu umat ini, yang besar maupun kecil, lelaki maupun wanita! Hasbunallah wa ni’mal wakil! Boleh kita katakan, kewajiban ini berlaku secara menyeluruh meskipun harus kita akui bahwa ada solusi dan pemecahan syar’i secara khusus bagi setiap kondisi dan peristiwa, berikut perinciannya:

1. Menancapkan kembali dasar-dasar aqidah Islamiyah di hati kaum muslimin. Melalui kurikulum-kurikulum pendidikan dan tarbiyah dalam skala umum, dan lebih memusatkan penanaman dasar-dasar aqidah ini bagi generasi muda, khususnya anak-anak, di lembaga-lembaga pendidikan formal maupun non formal, negeri maupun swasta.

2. Membangkitkan fanatisme beragama yang positif di segala lapisan umat dan menumbuhkan kesadaran membela kesucian dan kehormatan Islam.

3. Menutup seluruh saluran masuknya produkproduk dan arus pemikiran barat.

4. Memberikan penyuluhan kepada kaum muslimin tentang bahaya-bahaya paham paham sesat ini agar mereka tidak terjerat jaring-jaringnya.

5. Memperhatikan seluruh bidang yang menjadi kebutuhan primer kaum muslimin, di antaranya pelayanan kesehatan dan pendidikan secara khusus.

6. Setiap muslim dimana saja berada, hendaklah berpegang teguh kepada Al-Qur‘an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salaf, tidak dengan pemahaman lainnya yang menyesatkan. Hendaklah memegang teguh nilai-nilai Islam dalam diri mereka dan orang orang yang berada di bawah penguasaannya sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing. Dan setiap keluarga muslim, hendaklah memiliki benteng yang kokoh dalam menghadapi setiap usaha yang ingin merusak aqidah dan akhlak mereka.

7. Setiap pribadi maupun keluarga muslim, hendaklah tidak melakukan perjalanan ke negeri-negeri kafir kecuali untuk kepentingan yang sangat darurat, seperti untuk berobat atau menuntut ilmu yang sangat vital yang tidak dapat dipelajari di negeri-negeri Islam. Sebelumnya mereka dibekali dengan kesiapan untuk menghadapi berbagai syubhat dan fitnah yang dibidikkan kepada kaum muslimin.

8. Menggugah kesadaran sosial di antara kaum muslimin dan semangat tolong menolong di antara mereka. Orang-orang kaya hendaklah memperhatikan kaum fuqara’, mengulurkan kedermawanan dalam hal-hal kebaikan dan program-program yang bermanfaat untuk mencukupi kebutuhan kaum muslimin. Sehingga tangan-tangan kotor Nasrani tidak memanfaatkan kemiskinan dan kefakiran untuk memurtadkan mereka.

MARAJI‘:
1. Al-Ibthâl, Syaikh Bakr Abu Zaid.
2. Bahaya Islam Liberal, Hartono Ahmad Jaiz.
3. Dirasâtun fît Tashawwuf, Ihsan Ilahi Zhahir.
4. Fiqih Lintas Agama, Nurcholish Majid dkk.,Yayasan Wakaf Paramadina & The Asia Foundation,
Jakarta, 2004.
5. Islam Liberal Paradigma Baru Wacana dan Aksi Islam Indonesia, Zuly Qodir, Pustaka Pelajar, 2003.
6. Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal?, Adian Husaini, www.insistnet.com., 2004.
7. Shahwatur-Rajulil Maridh, Jamaluddin al-Afghani fil-Mizan, diambil dari al-Ibthâl li Nazhariyatil-Khalath baina Dinil-Islam wa Ghairihi minal-Adyan.
8. Harian Kompas.
9. Majalah Gatra, edisi 3 April 2004.

Note :
[1]. Al-Insan al-Kamil, ‘Abdul-Karim al-Jîli, I/99.
[2]. Al-Yawaqit wal-Jawahir, asy-Sya’rani, II/58.
[3]. Maksudnya, agama apapun yang kuanut.
[4]. Dzakhairul-Akhlaq Syarh Turjumani Asywaq, Ibnu Arabi, hlm. 49 dan sesudahnya.
[5]. Ibid., hlm. 52-53.
[6]. Fushushul Hikam, Ibnu Arabi, hlm. 195.
[7]. Ibid., hlm. 192.
[8]. Ibid., hlm. 114.
[9]. Ibid., hlm 169-170.
[10]. Lihat tulisan Oleh Luthfi Asysyaukâni pendiri JIL, Peneliti Freedom Institute, dan Dosen Universitas Paramadina, Jakarta.
[11]. Lihat tulisan berjudul “Empat Agenda Islam Yang Membebaskan” tulisan Luthfi asy-Syaukâni.

Sumber :  Ustadz Abu Ihsan Al-Maidani

Shoffiyah Az Zahra

Islam Dan Liberalisme

Liberalisme, adalah sebuah istilah asing yang diambil dari bahasa Inggris, yang berarti kebebasan. Kata ini kembali kepada kata “liberty” dalam bahasa Inggrisnya, atau “liberte” menurut bahasa Perancis, yang bermakna bebas. [1] Istilah ini datang dari Eropa. Para peneliti, baik dari mereka ataupun dari selainnya berselisih dalam mendefinisikan pemikiran ini. Namun seluruh definisi, kembali kepada pengertian kebebasan dalam pandangan Barat. The World Book Encyclopedia menuliskan pembahasan Liberalism, bahwa istilah ini dianggap masih samar, karena pengertian dan pendukung-pendukungnya berubah dalam bentuk tertentu dengan berlalunya waktu.[2]

Syaikh Sulaiman al-Khirasyi menyebutkan, liberalisme adalah madzhab pemikiran yang memperhatikan kebebasan individu. Madzhab ini memandang, wajibnya menghormati kemerdekaan individu, serta berkeyakinan bahwa tugas pokok pemerintah ialah menjaga dan melindungi kebebasan rakyat, seperti kebebasan berfikir, kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan kepemilikan pribadi, kebebasan individu, dan sejenisnya.[3]

ASAS PEMIKIRAN LIBERAL
Secara umum asas liberalisme ada tiga. Yaitu kebebasan, individualisme, rasionalis (‘aqlani, mendewakan akal).

Asas Pertama, Kebebasan : Yang dimaksud dengan asas ini, ialah setiap individu bebas melakukan perbuatan. Negara tak memiliki hak mengatur. Perbuatan itu hanya dibatasi oleh undang-undang yang dibuat sendiri, dan tidak terikat dengan aturan agama. Dengan demikian, liberalisme merupakan sisi lain dari sekulerisme, yaitu memisahkan dari agama dan membolehkan lepas dari ketentuan agama. Sehingga asas ini memberikan kebebasan kepada manusia untuk berbuat, berkata, berkeyakinan, dan berhukum sesukanya tanpa dibatasi oleh syari’at Allah. Manusia menjadi tuhan untuk dirinya dan penyembah hawa nafsunya. Manusia terbebas dari hukum, dan tidak diperintahkan mengikuti ajaran Ilahi. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ ۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. [al-An’âm/6:162-163]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. [al-Jâtsiyah/45:18].[4]

Asas Kedua, Individualism (al-fardiyah) : Dalam hal ini meliputi dua pengertian.
Pertama, dalam pengertian ananiyah (keakuan) dan cinta diri sendiri. Pengertian inilah yang menguasai pemikiran masyarakat Eropa sejak masa kebangkitannya hingga abad ke-20 Masehi. Kedua, dalam pengertian kemerdekaan pribadi. Ini merupakan pemahaman baru dalam agama Liberal yang dikenal dengan pragmatisme.[5]

Asas ketiga, yaitu rasionalisme (aqlaniyyun, mendewakan akal). Dalam artian akal bebas dalam mengetahui dan mencapai kemaslahatan dan kemanfaatan tanpa butuh kepada kekuatan diluarnya.

Hal ini dapat tampak dari hal-hal berikut ini:
1. Kebebasan adalah hak-hak yang dibangun diatas dasar materi bukan perkara diluar materi yang dapat disaksikan (abstrak). Dan cara mengetahuinya adalah dengan akal, panca indera dan percobaan.

2. Negara dijauhkan dari semua yang berhubungan dengan keyakinan agama, karena kebebasan menuntut tidak adanya satu yang pasti dan yakin; karena tidak mungkin mencapai hakekat sesuatu kecuali dengan perantara akal dari hasil percobaan yang ada. Sehingga –enurut mereka- manusia sebelum melakukan percobaan tidak mengetahui apa-apa sehingga tidak mampu untuk memastikan sesuatu. Ini dinamakan ideology toleransi (Mabda’ at-Tasâmuh) [6]. Hakekatnya adalah menghilangkan komitmen agama, karena ia memberikan manusia hak untuk berkeyakinan semaunya dan menampakkannya serta tidak boleh mengkafirkannya walaupun ia seorang mulhid (menentang Allah dan RasulNya). Negara berkewajiban melindungi rakyatnya dalam hal ini, sebab negara –versi mereka terbentuk untuk menjaga hak-hak asasi setiap orang. Hal ini menuntut negara terpisah total dari agama dan madzhab pemikiran yang ada. (Musykilah al-Hurriyah hal 233 dinukil dari Hakekat Libraliyah hal 24). Ini jelas dibuat oleh akal yang hanya beriman kepada perkara kasat mata. Sehingga menganggap agama itu tidak ilmiyah dan tidak dapat dijadikan sumber ilmu. Ta’alallahu ‘Amma Yaquluna ‘Uluwaan kabiran (Maha Tinggi Allah dari yang mereka ucapkan).

3. Undang-undang yang mengatur kebebasan ini dari tergelicir dalam kerusakan –versi seluruh kelompok liberal – adalah undangundang buatan manusia yang bersandar kepada akal yang merdeka dan jauh dari syari’at Allah. Sumber hukum mereka dalam undang-undang dan individu adalah akal.

ISLAM DAN LIBERAL
Dari pemaparan diatas jelaslah bahwa Liberal hanyalah bentuk lain dari sekulerisme yang dibangun di atas sikap berpaling dari syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala , kufur kepada ajaran dan petunjuk Allah dan rasulNya n serta menghalangi manusia dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Juga memerangi orang-orang sholih dan memotivasi orang berbuat kemungkaran, kesesatan pemikiran dan kebejatan moral manusia dibawah slogan kebebasan yang semu. Sebuah kebebasan yang hakekatnya adalah mentaati dan menyembah syeitan.

Lalu bisakah Islam bergandengan dengan Liberal?

UPAYA MENYATUKAN ISLAM & LIBERAL
Pemikiran Liberal masuk ke dalam tubuh kaum muslimin melalui para penjajah kolonial. Kemudian disambut orang-orang yang terperangah dengan modernisasi Eropa waktu itu. Muncullah dalam tubuh kaum muslimin madrasah al-Ishlahiyah (aliran reformis) dan madrasah at-tajdîd (aliran pembaharu) serta al-’Ashraniyûn (aliran modernis) yang berusaha menggandengkan Islam dengan liberal ditambah dengan banyaknya pelajar muslim yang dibina para orientalis di negara-negara Eropa.

Upaya menyatukan liberalisme ke dalam Islam sudah dilakukan oleh gerakan ‘Islahiyah’ pimpinan Muhammad ‘Abduh dan para muridnya. Kemudian pada tahun enampuluhan, muncullah gerakan pembaru (madrasah attajdid) dengan tokoh seperti Rifa'ah ath-Thahthawi dan Khairuddîn at-Tunîsi. Pemikiran mereka ini tidaklah satu. Namun mereka menggabungkan ajaran Islam dengan modernisasi Barat dan merekonstruksi ajaran agama agar sesuai dengan modernisasi Barat (orang-orang kafir). Oleh karena itu, pemikiran mereka berbeda-beda sesuai dengan pengetahuan mereka terhadap modernisasi di Barat dan kemajuannya yang terus berkembang. Demikian juga, mereka sepakat menjadikan akal sebagai sumber hukum sebagaimana akal juga menjadi sumber hukum dalam ajaran Liberal. Dari sini jelaslah kaum reformis dan modernis ini ternyata memiliki prinsip dan latar belakang serta orientasi pemikiran yang berbeda-beda. Meskipun mereka sepakat untuk mengedepankan logika akal daripada al-Qur‘ân dan Sunnah dan pengaruh kuat pemikiran Barat.

Ada di antara mereka yang secara terus terang mengungkapkan niat mereka menghancurkan Islam karena terpengaruh pemikiran nasionalisme sekuler atau sayap kiri komunis. Ada yang berusaha memunculkan keraguan ke dalam tubuh kaum muslimin dengan berbagai istilah bid’ah yang sulit dicerna pengertiannya. Atau dengan cara membolakbalikkan fakta dan realitas ajaran Islam sejati dengan pemikiran dan gerakannya. Mereka menempatkan orang sesat dan menyimpang sebagai pemikir yang bijak dan ksatria revolusioner. Sementara para ulama Islam ditempatkan sebagai kalangan yang kolot konservatif dan tidak tahu hak asasi manusia.[7]

Yang lebih menyakitkan lagi adalah ungkapan sebagian mereka yang menuduh orang yang kembali merujuk nash syariat sebagai orang yang kolot dan paganis (musyrik). Prof. Fahmi Huwaidi dalam artikelnya yang berjudul Watsaniyûn Hum ‘Abadatun Nushûsh (Paganis itu adalah mereka yang menyembah nash-nash Syari’at) menggambarkan hal tersebut sebagai paganism baru (Watsaniyah jadîdah). Hal itu karena Paganisme tidak hanya berbentuk penyembahan patung berhala semata. Karena ini adalah paganisme zaman dahulu. Namun paganisme zaman ini telah berubah menjadi bentuk penyembahan symbol dan rumus pada penyembahan nash-nash dan ritualisme. [Lihat Al-’Aqlaniyûn Afrâkh al-Mu’tazilah al-‘Ashriyûn hal.63]

Sebenarnya hakekat usaha mereka ini adalah mengajak kaum muslimin untuk mengikuti ajaran dan pola pemikiran Barat (westernisasi) dan menghilangkan aqidah Islam dari tubuh kaum muslimin serta memberikan jalan kemudahan kepada musuh-musuh Islam dalam menghancurkan kaum muslimin. Sehingga mereka menganggap aturan liberal dan demokrasi adalah perkara mendesak dan sangat cocok dengan hakekat Islam dan ajarannya serta tidak mengingkarinya kecuali fondamentalis garis keras.

Demikianlah usaha mereka ini akhirnya menghasilkan penghapusan banyak sekali pokok-pokok ajaran Islam dan memasukkan nilai-nilai liberalisme dan humanisme kedalam ajaran Islam dan aqidah kaum muslimin. Karena itu seorang orientalis bernama Gibb menyatakan: “Reformasi adalah program utama dari liberalisme Barat. Kita tinggal menunggu saja semoga orientasi tersebut dari kalangan reformis bisa menjadi semacam managerial modern untuk menggali nilai-nilai liberalisme dan humanisme”.[Menjawab Modernisasi Islam hal 178]

Demikianlah nilai-nilai dan pemahaman liberal masuk ke dalam tubuh kaum muslimin. Kita berlindung kepada Allah l darinya dan dari semua penyeru ajaran ini.

LIBERAL DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM
Liberalisme adalah pemikiran asing yang masuk ke dalam Islam. Pemikiran ini menafikan adanya hubungan kehidupan dengan agama sama sekali. Pemikiran ini menganggap agama sebagai rantai pengikat kebebasan hingga harus dibuang jauh-jauh. Para perintis dan pemikir liberal yang menyusun pokok-pokok ajarannya membentuk liberal berada diluar garis seluruh agama yang ada dan tidak seorangpun dari mereka yang mengklaim adanya hubungan dengan satu agama tertentu walaupun yang menyimpang.

Sehingga Liberalisme sangat bertentangan dengan Islam. Tidak sedikit pembatal-pembatal ke-Islaman yang terkandung dalam arus ideologi yang satu ini. Diantaranya:
1. Kekufuran
2. Berhukum dengan selain hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala .
3. Menghilangkan aqidah al-Wala dan bara’.
4. Menghapus banyak sekali ajaran dan hokum Islam.

Sehingga para ulama menghukuminya sebagai kekufuran sebagaimana tertuang dalam fatwa Syaikh Sholeh al-Fauzan yang dimuat dalam Harian al-Jazirah, edisi Selasa tanggal 11 Jumada Akhir tahun 1428 H.

ADAKAH ISLAM LIBERAL?
Sungguh amat mengherankan masih juga ada orang yang ingin menggabungkan antara liberal dengan Islam padahal jelastidak mungkin. Sehingga bila ada yang menyatakan, saya adalah muslim liberal atau istilah Jaringan Islam Liberal ini adalah satu perkara yang kontradiktif. Ironisnya orang yang disebut profesor atau intelektual tidak tahu atau pura-pura tidak tahu tentang hal ini.
Wallahu al-Hadi ila Shirath al-Mustaqim.

Maraji‘:
1. ‘Al-’Aqlâniyûn Afrâkh al-Mu’tazilah al-‘Ashriyûn, Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamîd , cetakan pertama tahun 1413 H, Maktabah al-Ghurabâ al-Atsariyah
2. al-‘Ashraniyyûn Baina Madzâ’im At-tajdîd Wa Mayâdin at-Taghrîb Muhammad Hâmid an-Nâshir dalam edisi bahasa Indonesia berjudul Menjawab Modernisasi
Islam, terbitan Darul Haq.
3. Dalîl al-‘Uquul al-Hâ`irah Fi Kasyfi al-Mazhâhib al-Mu’âshirah, Hâmid bin ‘Abdillah al-‘Al.
4. Haqîqat Libraliyah Wa Mauqiful Muslim Minha, Sulaimân al-Khirasyi.

Shoffiyah Az Zahra