Jumat, 13 September 2013

Bahaya Hasad di Dalam Hati

Para pembaca yang dirahmati oleh Allah Ta’ala, berbicara mengenai kehidupan, kita tidak bisa sama sekali memisahkannya dengan berbagai macam permasalahan yang mendera. Baik itu permasalahan di dalam keluarga maupun permasalahan dengan masyarakat di sekitar kita. Salah satu permasalahan yang akut didalam masyarakat adalah penyakit hasad (dengki). Hasad adalah penyakit yang secara sadar atau tidak sadar sudah melekat dan menjadi kronis di tubuh umat ini. Penyakit ini dapat membuat sebuah keluarga hancur berantakan dan masyarakat tercerai-berai. Itu adalah akibat dari tajamnya lisan-lisan dan sengitnya sikap seseorang yang tidak senang terhadap orang lain

Definisi hasad

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telah melakukan pengkajian yang mendalam mengenai makna dari hasad hingga beliau menyimpulkan bahwa definisi hasad yang benar adalah merasa tidak suka dengan nikmat yang telah Allah berikan kepada orang lain. 

Bahaya hasad

Ada 6 bahaya hasad yang dapat kita ketahui agar kita dapat menjauhkan diri dari sifat tersebut.
  1. Hasad adalah sifat orang-orang yahudi
Hasad merupakan salah satu sifat buruk yang dimiliki oleh orang-orang yahudi. Allah telah berfirman di dalam AlQur’an (yang artinya), “Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar.” (QS. AnNisaa : 54

Ayat di atas telah memberikan penjelasan kepada kita bahwa orang-orang yahudi adalah orang-orang yang memiliki hasad yang besar kepada umat Islam. Oleh karena itu, tak ayal mereka selalu memerangi umat Islam dari zaman ke zaman. Dengan kebencian yang mendalam kepada umat Islam, mereka tidak akan senang dan rela jika Islam tersebar luas di dunia. Oleh karena itu mereka selalu melancarkan propaganda-propaganda yang dapat membuat cahaya Islam redup.
  1. Orang yang memiliki sifat hasad tidak sempurna imannya
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallambersabda, “Tidak sempurna iman salah seorang kalian sampai ia mencintai untuk saudaranya segala sesuatu yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (Muttafaqun ‘alaih).

Dalam hadits di atas Rasulullah menerangkan bahwa diantara bukti sempurnanya iman seseorang yaitu ia mencintai segala sesuatu yang baik untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai kebaikan tersebut dimiliki oleh dirinya sendiri. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat sulit ditemui di hari ini. Dimana banyak sekali orang yang tidak senang dengan kenikmatan dan kesenangan yang diperoleh oleh tetangganya. Bahkan yang lebih buruk, ia berdoa agar nikmat yang diterima tetangganya tersebut hilang dan berpindah kepadanya. Naudzubillah min dzalik.
  1. Tidak suka dengan takdir yang Allah tetapkan untuknya
Mengapa bisa demikian? Jikalau kita menelisik lebih dalam, kita akan menemukan bahwa orang yang di dalam dirinya terdapat penyakit hasad, seakan-akan dia ingin berperan dalam menentukan takdir dirinya sendiri karena ia merasa bahwa dirinyalah yang paling pantas dalam menerima kenikmatan yang telah Allah ciptakan itu sehingga ia tidak ingin orang lain mendapatkannya. Ini merupakan sifat yang buruk yang dapat menimpa kita sadar maupun tidak. Oleh karena itu, marilah kita jaga diri kita dari sifat yang buruk ini.
  1. Menciptakan sifat keegoisan yang tinggi
Karena dengan perasaan hasad yang ia miliki, ia sama sekali tidak senang akan apa yang dimiliki oleh orang lain, bahkan ia menganggap bahwa dialah yang seharusnya mendapatkan itu, bukan orang lain. Dan yang paling parah dari semua itu adalah bahwa ia memikirkan cara-cara yang jahat agar bagaimana nikmat tersebut bisa pindah kepada dirinya. Ini sangat berkaitan erat dengan bahaya nomor dua yang telah disebutkan di atas.
  1. Hasad dapat menghancurkan kebaikan yang ada didalam dirinya
Benar saja pernyataan di atas, karena orang yang memiliki sifat hasad akan terus merasa gerah dengan orang lain sehingga ia tidak akan pernah rela orang lain memiliki ini dan itu. Lalu ia menyebarkan propaganda-propaganda dan gosip-gosip agar tetangganya tersebut jatuh harga dirinya di hadapan masyarakat. Oleh karena itu, Rasulullah melarang seseorang untuk hasad kepada orang lain dikarenakan ia dapat menyebabkan hilangnya kebaikan-kebaikan yang ada di dalam diri orang tersebut sebagaimana sabda beliau, “Jauhilah oleh kalian hasad karena ia akan memakan kebaikan-kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.” (HR. Abu daud).
Inilah sebab terlarangnya hasad. Karena ia akan menyebabkan pahala-pahala yang telah kita dapatkan selama ini berguguran satu demi satu.
  1. Hasad dapat memecah belah persatuan
Karena sifat dengki atau hasad apabila telah bercokol di dalam dada seseorang maka akan sangat sulit sekali sembuh. Apalagi ketika ia telah mencapai stadium akhir, maka akan sangat berbahaya sekali. Sampai-sampai sifat ini bisa memecah belah persatuan kaum muslimin. Sebagaimana sabda Rasulullah,Janganlah kalian saling hasad, saling berbuat curang, saling membenci, saling menjauhi, dan janganlah kalian membeli barang yang telah dibeli orang lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR.  Muslim).
Hadits ini memberikan gambaran kepada kita tentang bahaya hasad bahwa hasad bisa membuat seseorang bermusuhan dengan yang lainnya.

Terapi hasad

Setelah kita mengetahui bahaya yang dapat ditimbulkan oleh penyakit hasad, maka selanjutnya kita akan membahas apa yang dapat kita lakukan ketika penyakit hasad ini timbul di dalam hati.
  1. Mendiamkan dan menyembunyikannya
Apabila penyakit itu mulai timbul di dalam diri kita, hendaklah kita menyembunyikan dan mendiamkan penyakit tersebut di dalam hati kita. Janganlah sekali-kali kita menampakkannya di hadapan orang lain, karena hal tersebut akan menyulut api kehancuran yang dapat mendera di tubuh kaum muslimin.
  1. Berdo’alah kepada Allah agar menghilangkan hasad dari dalam hati kita
Sebagaimana do’a yang telah diajarkan Allah di dalam Al Qur’an (yang artinya), “Ya Rabb Kami, ampunilah kami dan saudara-saudara Kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr : 10)
Allah telah menuntun kita untuk berdo’a kepadaNya dalam ayat di atas untuk menghilangkan hasad yang ada di dalam diri kita. Karena bisa saja di saat kita lengah, setan memenfaatkannya untuk menghancurkan diri kita.
  1. Berusaha ridho dengan takdir Allah
Allah telah mengajarkan kita untuk ridho dengan semua yang telah Ia tetapkan dengan firman-Nya (yang artinya), “Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (QS. Al Furqan : 2)
Maka marilah wahai saudaraku seiman, kita tanamkan rasa qana’ah di dalam diri kita, sehingga kita tidak merasa dengki atau hasad atas apa yang di miliki oleh orang lain.
  1. Jadikan surga dan ridha Allah sebagai cita-cita tertinggi kita
Hal ini dimaksudkan agar kita tidak memiliki hasad dan dengki kepada nikmat yang dimiliki orang lain. Maka apakah lagi yang kita harapkan seandainya kita mengetahui kenikmatan-kenikmatan yang ada di surga? Tentu kita tidak akan lagi menginginkan kenikmatan yang dimiliki oleh orang lain di dunia ini. Namun sedikit dari kita mengetahui hal tersebut, sehingga kita lebih menginginkan apa yang ada di dunia ini dan tidak menginginkan apa yang ada di surga. Allah berfirman (yang artinya),

“Dan janganlah engkau tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia, agar Kami uji mereka dengan kesenangan itu. Dan karunia Tuhan-mu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Thaha : 131)

Ayat ini telah memberikan bukti kepada kita, jikalau seandainya kita mengetahui apa yang telah Allah sediakan di dalam surga, niscaya kita tidak mungkin ingin harta benda yang ada di dunia ini.
Maka marilah kita jauhkan sifat hasad di dalam diri kita, qona’ah-lah terhadap apa yang telah kita miliki, dan jadikanlah kenikmatan surga sebagai tujuan kita hidup di dunia.

Referensi : Artikel “Hindarilah Sifat Hasad” di situs www.muslim.or.id dan artikel “Ketika Hasad Menyerang” dalam situs www.muslimah.or.id

Shoffiyah Az Zahra 

Oleh Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

Perjalanan kaum Syi’ah di negeri ini semakin jelas. Dimulai ketika terjadi revolusi Iran yang mengantarkan ajaran atau (tepatnya disebut) dîn (agama) Syi’ah menguasai Iran sebagai agama penguasa setelah pemerintahan Reza Pahlevi runtuh. Setelah terjadi revolusi di Iran di penghujung tahun 1979, mereka mulai menyebarkan ajaran mereka keseluruh negeri Islam dengan mengatas-namakan dakwah Islam. Terutama ke negeri Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah kaum Muslimin.

Ada tiga faktor yang menyebabkan Syi’ah mudah masuk ke Indonesia. Yaitu:

Pertama, kaum Muslimin terbelakang dalam pemahaman terhadap aqidah Islam yang shahîhah (benar) yang berdasarkan al-Qur’ân dan Sunnah.

Kedua, mayoritas kaum Muslimin pada saat itu sangat jauh dari manhaj Salafush Shâlih. Mereka hanya sekedar mengenal nama yang agung ini, namun dari sisi pemahaman pengamalan dan dakwah jauh sekali dari pemahaman dan praktek Salaful Ummah (generasi terbaik umat Islam). Memang ada sebagian kaum Muslimin yang menyeru kepada al-Qur’ân dan Sunnah, tetapi menurut pemahaman masing-masing tanpa ada satu metode yang akan mengarahkan dan membawa mereka kepada pemahaman yang shahîh (benar).

Ketiga, kebanyakan kaum Muslimin termasuk tokoh-tokoh mereka di negeri ini kurang paham atau tidak paham sama sekali tentang ajaran Syi’ah yang sangat berbahaya terhadap Islam dan kaum Muslimin, bahkan bagi seluruh umat manusia. Pemahaman mereka terhadap ajaran Syi’ah sebatas Syi’ah sebagai madzhab fiqh, sebagaimana madzhab-madzhab yang ada dalam Islam yang merupakan hasil ijtihad para ulama seperti Imam Syafi’i, Abu Hanîfah, Mâlik, dan Ahmad dan lain-lain. Mereka mengira perbedaan antara Syi’ah dengan madzhab yang lain hanya pada masalah khilâfiyah furû’iyyah (perbedaan kecil). Oleh karena itu, sering kita dengar, para tokoh Islam di negeri kita ini mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara kita dengan Syi’ah kecuali sekedar perbedaan furu’iyyah.

Dengan tiga sebab ini, Syi’ah bisa masuk ke negeri ini dan mempengaruhi sebagian kaum muslimin. Mereka menamakan perjuangan mereka perjuangan islam untuk menegakan Daulah Islamiyah.[1] Padahal pada hakekatnya untuk menegakan Daulah Râfidhah.

Mereka hendak menyebarkan dan mendakwahkan ajaran mereka. Karena dalam pandangan mereka, tidak ada hukum Islam kecuali yang diambil dari ajaran ini (Syi’ah) dan ditegakkan oleh mereka.
Khomaini, pemimpin mereka telah menulis beberapa kitab. Tiga diantara kitab-kitab ini menjelaskan dengan gamblang kepada kita tentang jati diri penulis dan para pengikutnya. Tiga kitab itu adalah:
  1. Kitab Hukumâtul Islamiyah
  2. Kitab Tahrîrul Wasîlah
  3. Kitab Jihâdun Nafs atau dengan judul Jihâdul Akbar.
Dalam tiga kitab ini, khususnya dalam kitab Hukumâtul Islamiyah, Khomaini secara tegas tanpa taqiyyah menyatakan beberapa hal penting sebagai dasar pada agama mereka. Diantaranya dua hal yang sangat mendasar yaitu:
  • Tidak ada hukum kecuali hukum Syi’ah. Jadi yang dimaksudkan dengan Hukumatul Islamiyah adalah hukum Râfidhah.
  • Tidak ada negeri islam kecuali yang ditegakkan oleh mereka.
Karena itu mereka menyeru agar kaum Muslimin mengikuti mereka. Berbagai upaya dilakukan, misalnya mengirimkan dai-dai ke seluruh negeri-negeri Islam atau dengan istilah pertukaran pelajar, atau cendekiawan, mempertemukan tokoh-tokoh mereka dengan tokoh-tokoh kaum Muslimin untuk mempersatukan Islam. Sebuah tanda tanya besar! Padahal yang diinginkan adalah agar kaum Muslimin mengikuti mereka.

Dalam kitab Hukumâtul Islamiyah juga, Khomaini dengan tegas mengatakan bahwa derajat imam-imam mereka lebih tinggi dari derajat para Nabi dan Rasul bahkan para Malaikat. Dalam kitab itu juga, Khomaini tidak mengenal Daulah Islamiyah kecuali yang ditegakkan oleh Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wasallam dan Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu’anhu, adapun tiga khalifah sebelum Ali radhiyallâhu’anhu yaitu Abu Bakar radhiyallâhu’anhu, Umar radhiyallâhu’anhu, dan Utsman radhiyallâhu’anhu tidak dianggap sebagai kaum Muslimin.

Bahkan dalam kitab Jihâdul Akbar, Khomaini dengan tegas melaknat sahabat agung, penulis wahyu, ipar Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wasallam dan pamannya kaum Muslimin yaitu Mu’âwiyah bin Abi Sufyân radhiyallâhu’anhu. Khomaini mengatakan bahwa Mu’âwiyah radhiyallâhu’anhu terlaknat di dunia dan di akhirat dengan mendapat adzab di akhirat. Seolah-olah dengan perkataannya ini, dia mengetahui perkara yang ghaib. Apakah Allâh Ta’âla telah mengikat perjanjian dengan dia? Apakah Allâh Ta’âla telah memberikan berita ghaib kepadanya? Sehingga dengan tegas dia berani mengucapkan perkataan ini?
Ini menunjukkan betapa kuat kebencian dan dendamnya yang membara kepada para pembesar kaum Muslimin yaitu para Sahabat radhiyallâhu’anhum. Oleh karena itu, ketika mengetahui perkataan-perkataan Khomaini dalam ketiga kitabnya tersebut, sebagian tokoh kaum Muslimin berbalik dan menyadari bahwa apa yang disuarakan “Persatuan dan Kesatuan Umat Islam”, “Tidak ada perbedaan antara mereka kecuali masalah furu’ saja”, semuanya adalah kebohongan.

AJARAN SYI’AH MASUK INDONESIA

Diawal tahun 1980, ajaran Syi’ah mulai masuk ke Indonesia, walaupun (sebatas yang saya ketahui) ketika itu, pemerintah awalnya menolak kedatangan tokoh-tokoh Syi’ah ke Indonesia untuk memperkenalkan ajaran mereka. Tetapi ada beberapa tokoh di Indonesia ini yang sangat berjasa bagi kelompok Rafidhah ini, diantaranya ada dua orang tokoh.

Keduanya berhasil meyakinkan pemerintah bahwa yang datang ini bukanlah murid-murid Khomaini tetapi lawan-lawannya serta mereka tidak membawa ajaran Khomaini. Pemerintah yang memang tidak paham ajaran Syi’ah[2], akhirnya memberikan ijin. Sejak itu, masuklah ajaran Syi’ah ke negeri kita ini.
Secara pribadi, ketika itu, saya (penulis) telah mengingatkan kepada sebagian ustadz dan kaum Muslimin bahwa kalau kita tidak menjelaskan masalah Syi’ah ini kepada ummat, maka ajarannya akan berkembang dan masuk ke berbagai lapisan masyarakat. Namun, sangat disesalkan, mereka tidak mengindahkannya dan tetap menganggap perbedaan antara kita dengan Syi’ah hanya dalam masalah furu’iyyah.
Padahal perbedaan kita dengan Syi’ah Râfidhah adalah perbedaan ushûl (pokok-pokok agama) dan furu’ yang keduanya tidak mungkin disatukan kecuali kalau salah satunya meninggalkan ajaran agamanya. Di antara perbedaan ushûl (pokok) yang sangat mendasar sekali yang kalau diyakini oleh seseorang maka akan menyebabkan seorang itu murtad yaitu :

Pertama; keyakinan mereka bahwa al-Quran yang ada ditangan kaum muslimin saat ini, yang dibaca, yang dihafal dan diyakini sebagai kitabullâh yang diwahyukan kepada hambaNya dan RasulNya Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam melalui perantara Malaikat jibril ‘alaihissalam , telah tidak asli lagi.
Menurut Syi’ah, al-Qur’ân telah dirubah, atau dikurangi oleh para sahabat yang dipimpin oleh tiga sahabat mulia yaitu Abu Bakar, Umar, dan Utsmân dan para sahabat lainnya -radhiyallâhu’anhum-. Keyakinan ini bisa menghancurkan seluruh isi al-Qur’ân, karena Allâh Ta’âla telah berfirman :

(Qs al Hijr/15:9)
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Quran,
dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya

(Qs al Hijr/15:9)

Sedangkan ajaran Râfidhah yang terus-menerus mereka katakan sampai saat ini, baik dengan lisan maupun tulisan bahwa al-Qur’ân yang asli adalah al-Qur’ân yang tiga kali lebih besar dan sangat berbeda dibandingkan al-Qur’ân yang ada ditangan kaum muslimin saat ini. Menurut mereka Al-Qur’an yang asli ini nanti akan dibawa oleh Imam Mahdi dan dinamakan Mushaf Fathimah.
Ini keyakinan mereka, walaupun sebagian mereka mengingkarinya tetapi pengingkaran itu hanya omong kosong karena ini merupakan taqiyah mereka. Kalau keyakinan ini diyakini oleh kaum muslimin maka tidak diragukan lagi bahwa dia telah murtad, keluar dari agama Islam.

Kedua; Pengkafiran mutlak terhadap seluruh sahabat, seperti Abu Bakar as-Shiddîq radhiyallâhu’anhu, Umar al-Fârûq radhiyallâhu’anhu, Utsmân Dzunnûrain radhiyallâhu’anhu dan seluruh sahabat Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wasallam kecuali beberapa sahabat yang jumlahnya sangat sedikit.
Meyakini ini berarti membantah isi al-Qur’ân yang menyatakan keimanan dan kebesaran para sahabat serta keridhaan Allâh Ta’âla terhadap mereka. Kalau seorang muslim dan muslimah meyakini keyakinan ini (pengkafiran mutlak terhadap seluruh sahabat, kecuali beberapa sahabat) berarti mereka telah murtad, keluar dari Islam.

Kedua keyakinan Râfidhah ini tidak mungkin disatukan dengan keyakinan yang ada dalam Islam. Artinya, tidak mungkin seorang muslim dan seorang Râfidhi (Penganut agama Syi’ah) bersatu, karena keyakinannya sangat berbeda. Ini berdasarkan dalil naqliyah dan aqliyah yang shahih yang memiliki ketegasan.
Oleh karena itu para ulama zaman dahulu menyatakan bahwa orang yang paling bodoh terhadap dalil dalil naqliyah dan aqliyah serta paling sesat jalannya diantara orang-orang mengaku Islam adalah Syi’ah atau Rafidhah ini. Karena dengan tegas, mereka membenarkan apa yang didustakan dengan dalil-dalil naqliyah sam’iyah (dalil-dalil dari al-Qur’an dan sunnah) dan juga yang didustakan oleh akal.
Sebaliknya, mereka mendustakan apa yang jelas dan terang telah datang dari dalil-dalil naqliyah sam’iyah dan berdasarkan akal yang shahih. (Minhâjus Sunnah, 1/8)

Ketiga, perbedaan ushûl lainnya adalah penyembahan terhadap manusia. Diantara orang-orang yang menisbatkan diri kepada Islam, yang pertama kali membangun kubur-kubur dan kubah-kubah adalah kaum Râfidhah. Mereka mengadakan peribadatan kepada selain Allâh Ta’âla. Padahal ini sangat diharamkan dalam Islam dan merupakan syirik besar.

Mewakili pengikutnya, Khomaini dalam bukunya “Hukûmâtul Islâmiyah”, halaman 52 mengatakan:
“Sesungguhnya sesuatu yang pasti dari madzhab kami bahwa imam-imam kami memiliki kedudukan yang tidak bisa dicapai oleh seorangpun, baik seorang rasul yang diutus maupun oleh malaikat yang dekat.”
Ini pernyataan tegas Khomaini. Ini menunjukkan sikap ghuluw mereka terhadap para imam mereka, yang mereka klaim memiliki derajat yang lebih tinggi dari para nabi dan rasul.
Dalam kitab yang sama, Khomaini menyatakan bahwa imam mereka tidak pernah lupa dan lalai. Padahal ini adalah sifat Allâh Ta’âla, karena hanya Allâh Ta’âla yang tidak pernah lupa dan lalai.
Allâh Ta’âla berfirman :

(Qs Maryam/19:64)
Dan Rabbmu tidaklah lupa.
(Qs Maryam/19:64)

Ini merupakan salah satu bentuk penyembahan terhadap makhluk. Sikap ini tidak mungkin bisa disatukan dengan seorang muslim yang beraqidah shahih, yang bermanhaj dengan manhaj salaful ummah, yang hanya ruku’ dan sujud kepada Allâh Ta’âla, yang meminta pertolongan hanya kepada Allâh Ta’âla.

Oleh karena itu mereka membangun kuburan dan merekalah yang pertama kali memasukkan penyembahan terhadap kubur ke dalam Islam, membangunnya serta mendirikan kubah-kubah. Itulah beberapa ushûl (masalah pokok) diantara banyak ushûl lainnya yang membedakan Râfidhah (Syi’ah) dengan Islam sehingga tidak mungkin disatukan kecuali salah satunya meninggalkan agamanya.
Masalah ini sering tidak diketahui oleh tokoh-tokoh kaum muslimin khususnya di negeri kita ini. Karena Syi’ah selalu menyembunyikan keyakinan-keyakinan mereka kepada orang-orang yang belum menjadi pengikut setia mereka.

PERKEMBANGAN SYI’AH DI INDONESIA

Kurang lebih 30 tahun sudah berlalu sejak mulai menancapkan kukunya di Indonesia, kini kaum Râfidhah terutama di negeri kita ini telah berani memperlihatkan sebagian ajaran mereka secara terang-terangan. Ini mereka lakukan secara bertahap. Cara-cara mereka dalam memberikan pengajaran sangat halus dan awalnya tidak diketahui. Saya sebutkan diantaranya :

Pertama, mereka mengatasnamakan diri ahlul bait (keluarga) Nabi. Padahal pada hakekatnya, mereka telah berbohong atas nama ahlul bait[3]. Kita tahu bahwa kaum muslimin, terutama di Indonesia sangat mencintai ahlul bait tetapi kecintaan yang tidak berdasarkan ilmu tentang siapa ahlul bait ? Apa manhaj mereka ?
Kecintaan seperti ini bisa menyeret seseorang kepada kultus dan al-ghuluw (berlebih-lebihan).

Hal inilah yang diinginkan Syi’ah. Oleh karena itu, orang yang menyerang Syi’ah selalu dituduh benci kepada ahlul bait. Dan para pendahulu-pendahulu mereka seperti kaum Qarâmithah, Isma’iliyah, Bathiniyah telah membuat beberapa ajaran yang disusupkan ke tengah-tengah kaum muslimin untuk mendukung madzhab mereka. Diantaranya adalah perayaaan maulid Nabi. Merekalah yang membuat acara ini pertama kali, bukan Sulthan Shalahuddin al-Ayyubi. Menisbatkan perayaan maulid kepada Shalahuddin adalah penyimpangan, penipuan dalam sejarah.[4]

Cinta ahlul bait adalah merupakan keyakinan Islam. Kita mencintai keluarga Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam sesuai dengan syariat Allâh dan Rasulnya, tidak ditambah dan tidak dikurangi, tidak mengadakan penyembahan terhadap ahlul bait. Kita meyakini bahwa tidak ada yang ma’shûm (bebas dari dosa dan kesalahan) kecuali Nabi yang mulia. Jadi kecintaan kita tetap dalam batasan-batasan Islam bukan sebagaimana yang dikatakan oleh Syi’ah.

Kedua, dalam memberikan pengajaran, mereka menggunakan ayat-ayat al-Qur’ân, tafsir-tafsir al-Qur’ân tidak melalui hadits atau sunnah. Karena mereka jauh sekali dari sunnah Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam bahkan mereka menolak hadits. Bagaimana mungkin mereka bisa menerima hadits Bukhâri, Muslim dan lain-lain sementara para sahabat yang meriwayatkan hadits-hadits ini dianggap kafir ?! Mereka juga menvonis kufur kepada ahlus sunnah termasuk Bukhâri, Muslim dan ulama ahli hadits lainnya. Oleh karena itu, mereka selalu memulainya dengan tafsir dengan meruju’ ke kitab-kitab tafsir Syi’ah[5].

Melalui kajian tafsir-tafsir al-Qur’ân yang awalnya biasa tapi lama-kelamaan menjadi aneh, karena seluruh ayat al-Qur’ân mereka tafsirkan dengan penafsiran mereka. Mereka selalu membuka kajian tafsir al-Qur’ân, tidak ada yang membuka kajian shahih Bukhâri kecuali untuk di hina, di kritik dan selanjutnya di tolak. Mereka mulai menafsirkan, ini untuk Ali radhiyallâhu’anhu dan siksaan ini untuk Abu Bakar radhiyallâhu’anhu dan lain sebagainya. Walaupun pada awalnya, mereka belum menyebut nama Abu Bakar, Umar dan Utsman radhiyallâhu’anhum karena ketiga shahabat ini memiliki kedudukan tinggi di hati kaum muslimin termasuk Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu’anhu.

Syi’ah menempuh cara-cara kaum zindiq yaitu meninggikan sebagian dan merendahkan sebagian dalam waktu yang bersamaan agar mereka dapat menghancurkan secara keseluruhan. Mereka meninggikan Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu’anhu setinggi-tingginya sampai disamakan dengan Rabbul a’lamin sementara mereka merendahkan Abu Bakar, Umar, Utsman radhiyallâhu’anhum dan hampir seluruh para sahabat Rasûlullâh dengan serendah-rendahnya.

Ketiga, mengkritik sebagian sahabat. Mereka mulai dari Abu Hurairah radhiyallâhu’anhu kemudian yang lainnya sampai hampir seluruh para sahabat. Untuk mencapai tujuan ini, di negeri kita mereka memerlukan waktu bertahun-tahun. Sehingga saat ini, Abu Bakar As-Shiddiq, Umar al-Fârûq, Utsmân Dzunûrain, mereka hinakan dan kafirkan secara terang-terangan. Bahkan tersebar selebaran yang mengkafirkan sayyidah Aisyah radhiyallâhu’anha dan para sahabat lainnya.

Mereka memasukan berbagai macam syubhat kepada kaum muslimin lalu mulai mengklasifikasikan para sahabat menjadi yang betul-betul sahabat Nabi dan yang munafiq. Selanjutnya dibawakan sebagian ayat-ayat al-Qur’ân sehingga sebagian kaum muslimin yang mengikuti majelis mereka terpengaruh dan tidak memperdulikan serta tidak lagi memakai ijmâ’ para ulama mengenai para shahabat, yaitu semua para sahabat adalah adil.

Keempat, mengkritik hadits-hadits. Awalnya, mereka mengkritik satu atau dua buah hadits dalam Shahîh Bukhâri yang dinyatakan tidak sah, mustahil atau dusta. Semua justifikasi ini berdasarkan akal dan ra’yu mereka yang jahil. Dan itulah salah satu sifat mereka, mengkritik, membantah, dan menolak tanpa hujjah.
Oleh karena itu ahlus sunnah menyatakan bahwa bantahan dan penolakan semata bukanlah ilmu. Ilmu adalah memberikan jawaban secara ilmiyah, membantah secara ilmiyah dengan menegakkan hujjah yang selanjutnya menyelesaikan permasalahan. Ini yang disebut ilmu. Adapun semata-mata menolak, mungkin anak-anak yang telah tamyiz mampu melakukannya.

Inipun mereka lakukan secara bertahap serta membutuhkan waktu yang cukup lama. Mereka mengkritik dan menolak hadits-hadits riwayat Bukhâri dan Muslim. Tapi anehnya, apabila ada hadits yang menguatkan madzhab mereka, mereka memakainya padahal mereka telah mengkafirkan Imam Bukhâri dan Muslim !?

Kelima, memberikan kesan bahwa bahwa Syi’ah merupakan madzhab yang kelima dalam Islam dan perbedaan mereka adalah perbedaan furu’iyah, ijtihadiyah, ilmiyah secara global tanpa ta’shîl (penegakan terhadap hujjah) dan tafshîl (terperinci) sehingga ini juga mempengaruhi kaum Muslimin.

Keenam, mendakwahkan ajaran yang sangat menarik bagi orang-orang memiliki penyakit hati yaitu nikah mut’ah. Nikah mut’ah (kontrak) tanpa wali tanpa saksi kecuali dengan mahar pemberian dan ada ikatan perjanjian antara kedua pihak laki dan wanita. Biasanya dilakukan selepas majelis mereka. Mereka mengikat perjanjian kontrak satu hari, dua hari dan seterusnya dan boleh untuk satu kali berhubungan saja (tidak ada bedanya dengan zina). Bahkan Khomaini di sebagian fatwanya membolehkan bermut’ah dengan pelacur !!!

Ketujuh, berusaha menjauhkan kaum Muslimin dan memberikan kesan buruk terhadap sebuah ajaran yang mereka benci yaitu Wahabi. Kalimat ini sering diulang-ulang, tanpa ada penjelasan terperinci, siapa dan apa ajaran Wahabi itu. Sehingga setiap ajaran dakwah atau yang berlawanan dengan Syi’ah dijauhi oleh kaum Muslimin.

Padahal sebenarnya, lafadz ini (Wahabi) disematkan oleh musuh-musuh Islam kepada ajaran dakwah al-Imam Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullâh. Lalu mereka memanfaatkannya untuk menjauhkan kaum Muslimin dari dakwah yang haq ini.

KEPADA SIAPA MEREKA MASUK ?

Sepanjang penelitian saya selama kurang lebih tiga puluh tahun tentang mereka secara berjauhan maupun berdekatan, saya melihat bahwa mereka memasuki semua lapisan masyarakat dengan cara-cara yang berbeda. Berikut perinciannya :

Tingkatan Pertama; Mereka mempegaruhi masyarakat awam dengan cara-cara yang dapat diterima oleh orang-orang awam. Dikalangan orang-orang awam ini, mereka tidak akan mampu mengkafirkan seluruh para sahabat karena orang-orang awam walaupun mereka beragama dengan cara taqlid buta, mereka sangat mencintai para sahabat. Kalau mereka langsung mengkafirkan atau mengkritik Abu Bakar radhiyallâhu’anhu, Umar radhiyallâhu’anhu, Utsmân radhiyallâhu’anhu dan para sahabat yang lainnya –radhiyallâhu’anhum– ditengah masyarakat awam, tentu mereka akan ditinggalkan.

Mereka mendekati masyarakat awam dengan cara mengkultuskan manusia atas nama ahlul bait. Bahkan mereka membuat berbagai bait-bait syair yang mengantarkan kepada pengkultusan terhadap Nabi. Mereka meninggikan Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam lebih tinggi dari yang telah tetapkan oleh Allâh Ta’âla, dengan cara tawassul ataupun istighatsah, yang berujung pada syirik besar.

Dimulai dari pendekatan dengan mengatasnamakan ahlul bait kemudian berlanjut dengan pemujaan terhadap manusia, yaitu dengan membangun kubur-kubur dan meminta kepada penghuni kubur serta penyebaran berbagai macam bid’ah lainnya.

Tingkatan kedua; Mendakwahi para pelajar khususnya mahasiswa. Untuk lapisan ini, mereka masuk lewat penyebaran nikah mut’ah karena para pemuda ini memang sangat aktif mencari hal-hal baru untuk kemudian dicoba. Setelah memberikan kenikmatan syaithaniyah, mereka mulai mendekati para pemuda ini dengan memberikan image (gambaran) bahwa ajaran Syi’ah itu benar dan lain sebagainya.

Oleh karena itu tokoh-tokoh mereka mengajar diberbagai perguruan tinggi untuk menjerat para mahasiswa yang mayoritasnya kosong dari ajaran Islam, aqidah shahihah serta tidak gemar duduk di majelis-majelis ilmu. Para mahasiswa ini terus didekati sampai akhirnya menjadi Rafidhah tulen dan diharapkan menjadi kaum intelektual yang memegang pemerintahan di negeri ini.
Ini harapan mereka, Semoga Allâh Ta’âla menghancurkan rencana buruk mereka.

Tingkatan Ketiga; Memasuki media masa, yang cetak maupun elektronik. Melalui media-media ini, mereka menampilkan tentang Rafidhah sedikit demi sedikit, dengan dalih sebagai khazanah islamiyah. Stasiun televisi tidak luput dari mereka.

Namun tentunya, mereka tidak terang-terangan membawakan ajaran mereka. Kecuali salah satu dari tokoh mereka yang pernah saya dengar langsung dengan telinga saya dan saya lihat dengan kedua mata saya bahwa dia mengatakan bahwa Abdullah bin Umar radhiyallâhu’anhu adalah seorang penakut (Allahu Akbar).

Orang yang hina ini telah merendahkan seorang sahabat mulia, alim lagi ‘âbid yang dikatakan oleh Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wasallam :

hadits
“Sebaik-baik orang adalah Abdullah Bin Umar kalau sekiranya dia shalat malam.”
(HR Bukhari, no. 3738, 3739, 3740 dan 3741)

Sejak itu, Abdullah bin Umar tidak pernah meninggalkan shalat malam.

Tingkatan keempat; Mereka memberikan pengajaran kepada kaum intelektual khususnya kepada pendukung mereka yang saya istilahkan alumni dari orientalis. Mereka ini dididik, dijadikan anak angkat dan disusui oleh orang-orang Yahudi di negeri-negeri Barat yang notabene sangat membenci Islam. Mereka mendapat dukungan kuat sehingga paling tidak kaum intelektual ini bersikap netral atau toleran, tidak mempermasalahkan antara Sunni dengan Syi’ah.
Ini langkah pertama, langkah kedua dan selanjutnya, mereka mulai membuat program-program yang bisa menjebak tokoh-tokoh ini kedalam Râfidhah tulen.

Tingkatan kelima; Mendekati para pejabat negeri yang memegang tampuk pemerintahan untuk diberikan pelajaran-pelajaran tentang Syi’ah. Paling tidak, mereka merasa untung dan menang kalau pejabat ini mengetahui ajaran Râfidhah, apalagi mendukungnya.

Tingkatan keenam; Masuk ke partai politik dengan menjadi tim-tim sukses partai-partai politik.

Tingkatan ketujuh; Membuat pengajian-pengajian untuk ibu-ibu karena peran wanita sangat penting sekali dan sangat besar sekali. Oleh karena itu mereka membutuhkan ibu-ibu untuk mendukung ajaran mereka. Berdasarkan kenyataan ini, saya sering mengingatkan bapak-bapak agar hati-hati dan memperhatikan pengajian istrinya, jangan sampai istri-istri mereka terjebak dalam ajaran Syi’ah.
Barang kali ini yang bisa kita bahas sekilas tentang perkembangan dan gerakan Syi’ah di Indonesia. Mereka membuat tipu daya, semoga Allah menghancurkan tipu daya mereka. Dan, alhamdulillah saat ini perkembangan dakwah sunnah sangat mengkhawatirkan mereka.

Shoffiyah Az Zahra

Kamis, 12 September 2013

Bicara Tanpa Pahala

Waktu (baca : usia) adalah modal untuk melakukan amal shalih. Orang yang mengerti hakikat ini, maka dia tidak akan menggunakannya kecuali untuk perkara yang bermanfaat. Dia akan berusaha memanfaatkan segala potensi diri untuk mendapatkan pahala sebanyak mungkin. Diantara yang bisa mudah dimanfaatkan untuk menabung bekal disisi Allah Azza wa Jalla adalah lidah. Dengan lidah, seseorang bisa berdzikir dan saling nasehat menasehati sehingga meraih banyak pahala. Namun sebaliknya, lidah juga bisa mengakibatkan dosa dan menyeret seseorang ke neraka, jika tidak dimanfaatkan untuk kebaikan. Kesadaran seseorang terhadap fungsi dan bahaya lisan ini akan mendorong dirinya untuk menjaga lidah, tidak berbicara kecuali yang bermanfaat.

Berikut kami nukilkan beberapa bencana yang dapat ditimbulkan oleh lidah. Dengan harapan agar kita menjauhinya setelah kita faham. Karena kita tidak akan bisa menghindarinya kalau kita belum mengetahui berbagai bencana ini. Diantara bencana-bencana itu adalah :

1. Membicarakan Sesuatu Yang Tidak Bermanfaat.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكَهُ مَا لَا يَعْنِيهِ

Sesungguhnya di antara kebaikan Islam seseorang adalah dia meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat [HR. Tirmidzi, no. 2317; Ibnu Mâjah, no. 3976; Mâlik, 2/470; al-Baghawi, no. 4132. Dishahihkan oleh al-Albâni]

Sesuatu yang tidak bermanfaat itu, bisa berupa perkataan atau perbuatan; perkara yang haram, atau makruh, atau perkara mubah yang tidak bermanfaat. Oleh karena itu, supaya terhindar dari bahaya lisan yang pertama ini, hendaklah seseorang selalu sesuatu yang mengandung kebaikan. Jika tidak bisa, hendaknya diam. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia mengucapkan sesuatu yang baik atau diam. [HR. Bukhâri, no. 6475; Muslim, no. 47; dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu]

Walaupun ini berat, namun seyogyanya seorang hamba yang ingin selamat di akhirat agar selalu berusaha untuk melakukannya. Diriwayatkan bahwa Muwarriq al-‘Ijli rahimahullah berkata : “Ada satu perkara yang aku sudah mencarinya semenjak duapuluh tahun lalu. Aku belum berhasil meraihnya. Namun aku tidak akan berhenti mencarinya”. Orang-orang bertanya: “Apa itu wahai Abu Mu’tamir?” Dia menjawab : “Diam (tidak membicarakan-red) dari sesuatu yang tidak bermanfaat bagiku”

2. Berdebat Dengan Cara Batil Atau Tanpa Ilmu.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ

Sesungguhnya orang yang paling dimurkai oleh Allah adalah orang yang selalu mendebat. [HR. Bukhâri, no. 2457; Muslim, no. 2668; dll]

Mendebat dalam hadits diatas maksudnya adalah mendebat dengan cara batil atau tanpa ilmu. Sedangkan orang yang berada di pihak yang benar, sebaiknya dia juga menghindari perdebatan. Karena debat itu akan membangkitkan emosi, mengobarkan kemurkaan, menyebabkan dendam, dan mencela orang lain. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ

Saya memberikan jaminan rumah di pinggiran surga bagi orang yang meningalkan perdebatan walaupun dia orang yang benar. Saya memberikan jaminan rumah di tengah surga bagi orang yang meningalkan kedustaan walaupun dia bercanda. Saya memberikan jaminan rumah di surga yang tinggi bagi orang yang membaguskan akhlaqnya. [HR. Abu Dawud, no. 4800; dishahîhkan an-Nawawi dalam Riyâdhus Shâlihîn, no. 630 dan dihasankan oleh Syaikh al-Albâni di dalam ash-Shahîhah, no. 273]

Mengingkari kemungkaran dan menjelaskan kebenaran merupakan kewajiban seorang Muslim. Jika penjelasan itu diterima, itulah yang dikehendaki. Namun jika ditolak, maka hendaklah dia meninggalkan perdebatan. Ini dalam masalah agama, apalagi dalam urusan dunia, maka tidak ada alasan untuk berdebat.

3. Banyak Berbicara, Suka Mengganggu Dan Sombong
Masalah-masalah ini dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamdengan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ قَالَ الْمُتَكَبِّرُونَ

Sesungguhnya termasuk orang yang paling kucintai di antara kamu dan paling dekat tempat duduknya denganku pada hari kiamat adalah orang-orang yang paling baik akhlaqnya di antara kamu. Dan sesungguhnya orang yang paling kubenci di antara kamu dan paling jauh tempat duduknya denganku pada hari kiamat adalah ats-tsartsârûn, al-mutasyaddiqûn, dan al-mutafaihiqûn. Para sahabat berkata: “Wahai Rsulullah, kami telah mengetahui al-tsartsârûn dan al-mutasyaddiqûn, tetapi apakah al-mutafaihiqûn? Beliau menjawab: “Orang-orang yang sombong”. [Hadits Shahih dengan penguat-penguatnya. HR Tirmidzi, no. 2018 dari Jâbir Radhiyallahu anhu ; dan Ahmad 2/369 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu]

Setelah meriwayatkan hadits ini, imam Tirmidzi rahimahullah mengatakan, ”ats-Tsartsâr adalah orang yang banyak bicara, sedangkan al-mutasyaddiq adalah orang yang biasa mengganggu orang lain dengan perkataan dan berbicara jorok kepada mereka”.

Imam Ibnul Atsîr rahimahullah menjelaskan dalam kitab an-Nihâyah : “ats-Tsartsârûn adalah orang-orang yang banyak bicara dengan memaksakan diri dan keluar dari kebenaran. al-Mutasyaddiqûn adalah orang-orang yang berbicara panjang lebar tanpa hati-hati.. Ada juga yang mengatakan, al-mutasyaddiq adalah orang yang mengolok-olok orang lain dengan mencibirkan bibir kearah mereka”.

Imam al-Mundziri rahimahullah mengatakan dalam at-Targhîb : “ats-Tsartsâr adalah orang yang banyak bicara dengan memaksakan diri. al-Mutasyaddiq adalah orang yang berbicara dengan seluruh bibirnya untuk menunjukkan kefasihan dan keagungan perkataannya. al-Mutafaihiq hampir semakna dengan al-mutasyaddiq. karena maknanya adalah orang yang memenuhi mulutnya dengan perkataan dan berbicara panjang lebar untuk menunjukkan kefasihannya, keutamaannya, dan merasa lebih tinggi dari orang lain. Oleh karena inilah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallammenafsirkan al-mutafaihiq dengan orang yang sombong. [Dinukil dengan ringkas dari Tuhfatul Ahwâdzi, Syarh Tirmidzi]

Tetapi tidak termasuk sajak yang dibenci, lafazh-lafazh yang disampaikan khatib, kalimat indah untuk memberi peringatan, asal tidak berlebihan dan aneh. Karena tujuannya adalah untuk membangkitkan hati dan menggerakkannya menuju kebaikan, kalimat yang indah, dan semacamnya.

4. Mengucapkan Perkataan Keji, Jorok, Celaan, Dan Semacamnya.
Semua hal ini tercela dan terlarang. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلَا اللَّعَّانِ وَلَا الْفَاحِشِ وَلَا الْبَذِيءِ

Seorang mukmin bukanlah orang yang banyak mencela, bukan orang yang banyak melaknat, bukan orang yang keji (buruk akhlaqnya), dan bukan orang yang jorok omongannya. [HSR. Tirmidzi, no. 1977; Ahmad, no. 3839 dan lain-lain]

Fuhsy (keji) dan badza’ (jorok) adalah mengungkapkan perkara-perkara yang dianggap keji (tabu) dengan kata-kata gamblang. Biasanya tentang lafazh-lafazh jima’ dan yang berkaitan dengannya. Orang-orang yang sopan akan menjauhi ungkapan-ungkapan itu dan mengunakan kata-kata sindiran, sebagaimana dicontohkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Betapa banyak perkataan keji dan jorok tersebar di zaman ini, di koran-koran, majalah-majalah, buku-buku, novel-novel, radio, HP, atau lainnya. Bahkan ada perkara yang lebih buruk dan lebih keji dari sekedar ucapan !! Namun yang bisa merasakan keburukannya adalah orang-orang yang hatinya masih hidup. Sedangkan orang yang hatinya sakit atau mati, maka dia tidak akan merasakan keburukannya, bahkan mungkin sebaliknya, dia akan merasa nikmat. Sebagaimana luka yang hanya dirasakan oleh orang yang masih hidup, sedangkan orang yang mati, dia tidak akan merasakan sakit akibat luka. Wallahul Musta’an.

5. Keterlaluan Dalam Bercanda.
Yaitu semua waktunya digunakan untuk bercanda dan membuat orang tertawa. Sesungguhnya banyak canda akan menjatuhkan wibawa, menyebabkan dendam dan permusuhan, serta mematikan hati. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda :

لَا تُكْثِرُوا الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ

Janganlah kamu memperbanyak tawa, karena sesungguhnya banyak tertawa itu akan mematikan hati. [HSR. Ibnu Mâjah, no. 4193; dishahîhkan oleh al-Albâni dalam Silsilah ash-Shahîhah, no. 506]

Apalagi jika banyak bercanda ini ditambahi dusta, maka jelas akan lebih berbahaya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallammemperingatkan dengan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam:

وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ بِالْحَدِيثِ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ فَيَكْذِبُ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ

Kecelakaan bagi orang yang menceritakan suatu, lalu dia berdusta untuk membuat orang-orang tertawa. Kecelakaan baginya ! Kecelakaan baginya !. [HSR. Tirmidzi, no. 2315; Abu Dâwud, no. 4990; dishahîhkan oleh al-Albâni]

Di zaman dahulu, bercanda dan membuat tertawa itu hanyalah dilakukan oleh pribadi-pribadi tertentu. Namun sekarang, grup lawak bermunculan seperti jamur di musim hujan, diperlombakan, dan dipertontonkan serta dibayar dengan honor tinggi. Setan telah menjerat banyak orang dalam kesesatan dan memanfaatkan mereka sebagai perangkap. Semoga Allah Azza wa Jalla menjaga kita dari segala jebakan setan.

Namun jika canda itu dilakukan kadang-kadang dan dengan perkataan yang benar serta dilakukan kepada orang-orang yang membutuhkannya, seperti anak-anak, wanita, sebagian orang laki-laki, sebagaimana canda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hal itu tidak mengapa. Karena canda akan menyenangkan hati dan menyegarkan suasana. Sebagian ulama menyatakan bahwa canda dalam perkataan itu seperti garam dalam makanan.

6. Membicarakan Suatu Yang Bathil.
Maksudnya adalah menceritakan perbuatan-perbuatan maksiatnya, seperti berbangga dengan perbuatan bermabuk-mabukan atau kemungkaran yang lain. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنْ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ

Semua umatku mu’âfan (akan diampuni dosanya; atau tidak boleh dighibah) kecuali orang-orang yang melakukan dosa dengan terang-terangan. Dan termasuk melakukan dosa dengan terang-terangan adalah seseorang melakukan suatu perbuatan buruk pada malam hari, kemudian di waktu pagi dia mengatakan, ”Hai Fulan, tadi malam aku melakukan ini dan ini”. Padahal di waktu malam Allah Azza wa Jalla telah menutupi perbuatan buruknya, namun di waktu pagi dia membongkar tutupan Allah. [HR. Bukhâri, no. 6069; Muslim, no. 2990]

Oleh karena itulah, barangsiapa yang telah bertaubat dari perbuatan dosa, hendaklah dia menutupi aib dirinya, tidak perlu bercerita kepada orang lain.

7. Perkataan Yang Salah Berkaitan Dengan Masalah Agama, Apalagi Jika Berkaitan Dengan Sifat-Sifat Allah Azza wa Jalla .
Kesalahan lisan yang satu ini, tentu susah diatasi kecuali oleh para ahli ilmu dan ahli bahasa. Orang yang malas atau tidak bersungguh-sungguh menuntut ilmu dan bahasa, maka perkataannya tidak lepas dari ketergelinciran. Semoga Allah Azza wa Jalla mema’afkan kesalahan akibat ketidaktahuan. Diantara contoh perkataan yang salah berkaitan dengan masalah agama yaitu perkataan ‘Apa yang Allah dan engkau kehendaki’. Dalam hadits dijelaskan :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ سَمِعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا يَقُولُ مَا شَاءَ اللَّهُ وَشِئْتَ فَقَالَ بَلْ مَا شَاءَ اللَّهُ وَحْدَهُ

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seorang laki-laki berkata: "Mâ syâ’allah wa syi'ta" (apa yang Allah dan engkau kehendaki), maka beliau bersabda : "Bukan begitu, tetapi (katakanlah) : "Mâ syâ’allah wahdah" (apa yang dikehendaki oleh Allah semata). [HR. Ahmad, no: 1965]

Hikmah larangan ucapan "Mâ syâ’allah wa syi'ta" (apa yang Allah dan engkau kehendaki), dan semacamnya adalah karena ucapan itu merupakan bentuk menyekutukan kehendak Allah. Karena kata sambung "dan" bermakna mengumpulkan, menyamakan dan menyekutukan. Yang benar, dalam menggabungkan kehendak hamba dengan kehendak Allah ialah dengan menggunakan kata "kemudian". Karena kata “kemudian” mengandung makna urutan (berikutnya) dan ada selang waktu. Hal ini karena kehendak Allah Azza wa Jalla mendahului kehendak hamba. Maka tidak ada satu pun peristiwa yang terjadi kecuali yang dikehendaki oleh Allah Azza wa Jalla . Semua yang Allah Azza wa Jalla kehendaki maka pasti terjadi, dan yang tidak Dia kehendaki tidak akan pernah terjadi.

Syaikh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallamâshiruddîn al-Albâni berkata dalam kitab Silsilah al-Ahâdîst ash-Shahîhah, 1/266-267 : "Dalam hadits-hadits ini terdapat dalil bahwa ucapan seseorang kepada yang lain "mâ syâ’allah wa syi'ta" (apa yang Allah dan engkau kehendaki) dinilai syirik dalam syari'at. Dan ini termasuk syirik dalam kata-kata. Karena memberikan kesan bahwa kehendak hamba sederajat dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala . Sebabnya adalah karena menggabungkan dua kehendak tersebut. Contoh yang lain adalah perkataan sebagian orang-orang awam dan orang-orang seperti mereka yang mengaku berilmu : "Tidak ada bagiku selain Allah dan anda", "Kami bertawakkal kepada Allah dan kepada anda". Dan seperti perkataan sebagian para penceramah: "Dengan nama Allah dan dengan nama tanah air", atau "Dengan nama Allah dan dengan nama bangsa", dan kata-kata syirik yang sejenisnya wajib ditinggalkan dan bertaubat, dalam rangka beradab kepada Allah Tabâraka wa Ta'âla".

Selain yang telah disebutkan diatas, sesungguhnya bencana-bencana lidah masih banyak, seperti ghibah, namimah, dusta, dan lain sebagainya. Namun sedikit yang kami sampaikan ini mudah-mudahan sebagai pemacu bagi kita semua untuk selalu menjaga lidah kita dari keburukan dan selalu menghiasinya dengan kebaikan. Al-hamdulillahi Rabbil 'Alamiin.

Maraji :
1. Mukhtashar Minhâjul Qâshidîn, Imam Ibnu Qudamah, tahqîq Syaikh Ali al-Halabi.
2. Aafâtul Lisân fî Dhauil Kitâb was Sunnah, Dr. Sa'id bin 'Ali bin Wahf Al-Qahthâni
3. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, Imam Ibnu Rajab, tahqîq Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhim Bajis; penerbit ar-Risâlah; cet: 5; th: 1414 H/ 1994 M)
4. Hashâ-idul Alsun, karya Syaikh Husain al-'Awaisyah, penerbit. Dârul Hijrah. Dan lain-lain.

Shoffiyah Az Zahra

Sumber : Majalah As Sunnah

Adab Tentang Niat

Ada dua orang melakukan shalat, orang yang pertama meraih keridhaan Allah Azza wa Jalla sehingga dosa-dosanya gugur, sedangkan orang yang kedua mendapatkan kecelakaan dan kemurkaan Allah Azza wa Jalla karena nifak dan riyâ’nya.

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan keutamaan shalat yang menggugurkan dosa-dosa karena dilakukan dengan ikhlas dan sempurna. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلاَةٌ مَكْتُوبَةٌ فَيُحْسِنُ وُضُوءَهَا وَخُشُوعَهَا وَرُكُوعَهَا إِلاَّ كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهَا مِنْ الذُّنُوبِ مَا لَمْ يُؤْتِ كَبِيرَةً وَذَلِكَ الدَّهْرَ كُلَّهُ

Tidak ada seorang muslim yang kedatangan (waktu) shalat wajib, lalu dia melakukan shalat wajib itu dengan menyempurnakan wudhu’nya, khusyu’nya dan ruku’nya, kecuali shalat itu merupakan penghapus dosa-dosa sebelumnya, selama dia tidak melakukan dosa besar. Dan itu untuk seluruh waktu. [HR. Muslim, no. 228]

Sebaliknya, beliau juga memperingatkan umat dari melakukan shalat karena riya’, karena hal ini akan menggugurkan amal, sebagaimana hadits berikut ini:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ نَتَذَاكَرُ الْمَسِيحَ الدَّجَّالَ فَقَالَ أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِي مِنْ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ قَالَ قُلْنَا بَلَى فَقَالَ الشِّرْكُ الْخَفِيُّ أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ يُصَلِّي فَيُزَيِّنُ صَلاَتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ

Dari Abu Sa'îd, dia berkata: "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kami ketika kami sedang membicarakan Al-Masîhud Dajjâl. Kemudian beliau bersabda: "Maukah aku beritahukan kepada kamu sesuatu yang menurutku lebih aku takutkan terhadap kamu daripada terhadap Al-Masîhud Dajjâl?" Maka kami menjawab: "Ya, wahai Rasulullah". Maka beliau bersabda: "Syirik yang tersembunyi. Yaitu seseorang melakukan shalat, lalu dia membaguskan shalatnya karena dia melihat pandangan orang lain". [Hadits Hasan Riwayat Ibnu Mâjah, no; 4204]

Ini merupakan contoh nyata tentang pentingnya niat dan mengikhlaskan niat di dalam seluruh amalan. Oleh karena itu banyak sekali Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan hal ini di dalam hadits-hadits beliau. Antara lain, sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Sesungguhnya semua amalan itu terjadi dengan niat, dan setiap orang mendapatkan apa yang dia niatkan. [HR. Bukhâri, no. 1; Muslim, no. 1907; dari Umar bin al-Khaththâb Radhiyallahu anhu]

Sesungguhnya suatu perbuatan akan diterima oleh Allah Azza wa Jalla jika memenuhi dua syarat, yaitu niat ikhlas dan mengikuti Sunnah. Oleh karena itu Allah Azza wa Jalla akan melihat hati manusia, apakah ia ikhlas; dan melihat amalnya, apakah sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk kamu dan harta kamu, tetapi Dia melihat hati kamu dan amal kamu. [HR. Muslim, no. 2564]

Oleh karena itulah mengikhlaskan niat merupakan perintah Allah Azza wa Jalla kepada seluruh manusia, sebagaimana firman-Nya:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. [al-Bayyinah/98:5]

NIAT DALAM KEBAIKAN
Di antara rahmat dan anugerah Allah Azza wa Jalla adalah bahwa Dia menulis kebaikan hamba-Nya hanya karena keinginan untuk berbuat kebaikan, sedangkan keinginan berbuat keburukan belum ditulis. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hal ini di dalam hadits sebagai berikut:

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً

Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menulis semua kebaikan dan keburukan. Barangsiapa berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia tidak melakukannya, Allah Azza wa Jalla menulis di sisi-Nya pahala satu kebaikan sempurna untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia melakukannya, Allah menulis pahala sepuluh kebaikan sampai 700 kali, sampai berkali lipat banyaknya. Barangsiapa berkeinginan berbuat keburukan, lalu dia tidak melakukannya, Allah Azza wa Jalla menulis di sisi-Nya pahala satu kebaikan sempurna untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat keburukan, lalu dia melakukannya, Allah Azza wa Jalla menulis satu keburukan saja.[HR. Bukhâri, no. 6491; Muslim, no. 131]

NIAT DALAM KEBURUKAN
Keinginan yang melintas di dalam hati untuk berbuat keburukan belum ditulis dosa oleh Allah Azza wa Jalla . Namun, jika keinginan itu sudah menjadi tekad dan niat, apalagi sudah diusahakan, walaupun tidak terjadi, maka pelakunya sudah mendapatkan balasan karenanya. Dalam hal ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا الْقَاتِلُ فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ قَالَ إِنَّهُ كَانَ حَرِيصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ

Jika dua orang muslim bertemu dengan pedang masing-masing (berkelahi; berperang), maka pembunuh dan orang yang terbunuh di dalam neraka. Aku (Abu Bakrah) bertanya: ”Wahai Rasulullah, si pembunuh (kami memahami-pent), namun bagaimana dengan orang yang terbunuh. Beliau menjawab: “Sesungguhnya dia juga sangat ingin membunuh kawannya itu”. [HR. Bukhâri, no. 31, 7083; Muslim, no. 2888; dari Abu Bakrah]

Dalam hadits yang lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan bahaya niat buruk di dalam hubungan antar hamba. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّمَا رَجُلٍ يَدِينُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِيَ اللَّهَ سَارِقًا

Siapa saja berhutang dengan niat tidak akan membayar hutang kepada pemiliknya, dia akan bertemu Allah sebagai pencuri. [HR. Ibnu Mâjah, no. 2410; Syaikh al-Albâni berkata: “Hasan Shahîh”]

PAHALA DAN SIKSA KARENA NIAT
Kedudukan niat yang sangat penting juga dapat dilihat dari akibat yang dihasilkannya. Yaitu bahwa sekedar niat, seseorang sudah mendapatkan pahala atau siksa. Hal ini diberitakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits berikut ini:

عَنْ أَبِي كَبْشَةَ الأَنَّمَارِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّمَا الدُّنْيَا ِلأَرْبَعَةِ نَفَرٍ: عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالاً وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالاً فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالاً لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالاً وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لاَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَلاَ يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَلاَ يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالاً وَلاَ عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالاً لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ

Dari Abu Kabsyah al-Anmâri Radhiyallahu anhu, bahwa dia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya dunia itu untuk 4 orang: Hamba yang Allah Azza wa Jalla berikan rizqi kepadanya berupa harta (dari jalan yang halal) dan ilmu (agama Islam), kemudian dia bertaqwa kepada Rabbnya pada rizqi itu (harta dan ilmu), dia berbuat baik kepada kerabatnya dengan rizqinya, dan dia mengetahui hak bagi Allah Azza wa Jalla padanya. Maka hamba ini berada pada kedudukan yang paling utama (di sisi Allah Azza wa Jalla ). Hamba yang Allah Azza wa Jalla berikan rizqi kepadanya berupa ilmu, namun Dia tidak memberikan rizqi berupa harta, dia memiliki niat yang baik. Dia mengatakan: “Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan si fulân (orang pertama yang melakukan kebaikan itu)”. Maka dia (dibalas) dengan niatnya (yang baik), pahala keduanya (orang pertama dan kedua) sama. Hamba yang Allah Azza wa Jalla berikan rizqi kepadanya berupa harta, namun Dia tidak memberikan rizqi kepadanya berupa ilmu, kemudian dia berbuat sembarangan dengan hartanya dengan tanpa ilmu. Dia tidak bertaqwa kepada Rabbnya padanya, dia tidak berbuat baik kepada kerabatnya dengan hartanya, dan dia tidak mengetahui hak bagi Allah Azza wa Jalla padanya. Maka hamba ini berada pada kedudukan yang paling buruk (di sisi Allah Azza wa Jalla ). Hamba yang Allah Azza wa Jalla tidak memberikan rizqi kepadanya berupa harta dan ilmu, kemudian dia mengatakan: “Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan si fulân (dengan orang ketiga yang melakukan keburukan itu)”. Maka dia (dibalas) dengan niatnya, dosa keduanya sama.[1]

Syaikh Salim al-Hilâli hafizhahullâh berkata menjelaskan di antara fiqih dari hadits ini: “Seseorang itu akan diberi pahala atau dihukum karena keinginan yang tetap/kuat (di dalam hatinya-pen) walaupun dia tidak mampu melaksanakannya. Karena walaupun dia tidak mampu melakukannya, namun dia mampu mengharapkan dan menginginkan”.[2]

NIAT BAIK TIDAK MERUBAH KEMAKSIATAN MENJADI KETAATAN
Semua keterangan ini menunjukkan pentingnya kedudukan niat. Oleh karena itu seorang Muslim yang baik selalu membangun seluruh amalannya di atas niat yang baik, yaitu ikhlas karena Allah Azza wa Jalla . Demikian juga seorang muslim akan selalu berusaha beramal berdasarkan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena hal ini sebagai kelengkapan niat yang baik.

Karena semata-mata niat yang baik tidak bisa merubah kemaksiatan menjadi ketaatan. Seperti seseorang bershadaqah dengan uang curian atau korupsi. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُوْلٍ

Tidak akan diterima shalat dengan tanpa bersuci dan tidak akan diterima shadaqah dari (hasil) ghulul (khianat). [HR. Muslim, no. 224]

Jadi, walaupun suatu amalan itu merupakan kebaikan secara lahiriyah, dan dilakukan dengan niat yang baik, seperti shalat atau shadaqah, namun jika tidak memenuhi syarat-syarat di dalam agama, maka niat yang baik itu tidak dapat merubahnya sebagai amalan ketaatan.

Oleh karena itu seorang Sahabat yang mulia, `Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu pernah mendatangi jama’ah dzikir yang berkelompok-kelompok memegang kerikil. Setiap kelompok dipimpin satu orang. Pemimpin itu memerintahkan: “Bertakbir 100 kali”, mereka pun melakukannya. Dia juga memerintahkan agar jama’ah bertahlil 100 kali dan bertasbih 100 kali, mereka juga melakukannya. Maka `Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata kepada mereka: “Apakah ini -yang aku lihat kamu lakukan-?” Mereka menjawab: “Wahai Abu Abdurrahmân, ini kerikil. Kami menghitung takbîr, tahlîl, dan tasbîh dengannya. Beliau berkata: “Hitung saja keburukan-keburukan kamu! aku menjamin kebaikan-kebaikan kamu tidak akan disia-siakan sedikit pun (sehingga perlu dihitung). Kasihan kamu, wahai umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , alangkah cepatnya kebinasaan kamu! Ini lah para sahabat Nabi kamu masih banyak. Ini lah pakaian beliau belum usang, dan bejana-bejana beliau belum pecah. Demi Allah Azza wa Jalla yang jiwaku di tangan-Nya, sesungguhnya kamu berada di atas agama yang lebih baik dari agama Muhammad, atau kamu adalah orang-orang yang membuka pintu kesesatan”. Mereka berkata: “Demi Allah Azza wa Jalla , wahai Abu Abdurrahmân, kami tidak menghendaki kecuali kebaikan”. Beliau menjawab: “Alangkah banyak orang yang menghendaki kebaikan tidak mendapatkannya”. Sesungguhnya Rasululluh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitakan kepada kami:

أَنَّ قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ

“Bahwa ada sekelompok orang, mereka membaca al-Qur’ân, namun al-Qur’ân itu tidak melewati tenggorokan mereka”.

Demi Allah Azza wa Jalla , aku tidak tahu, kemungkinan kebanyakan mereka itu adalah dari kamu”. Kemudian beliau meninggalkan mereka.[3]

Marilah kita perhatikan jawaban beliau di atas: “Alangkah banyak orang yang menghendaki kebaikan tidak mendapatkannya”. Yaitu banyak orang menghendaki kebaikan, memiliki niat yang baik, namun karena tidak melewati jalan yang harus dilalui, maka dia tidak mendapatkan apa yang dia niatkan.

Dan perlu diketahui, bahwa niat bukanlah kalimat yang diucapkan, namun tekad di dalam hati yang membangkitkan amalan.

Kesimpulannya, hendaklah kita selalu memiliki niat yang baik, ikhlas di dalam seluruh amalan, lahir dan batin. Demikian juga amalan itu harus berdasarkan tuntunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Semoga Allah Azza wa Jalla selalu memberikan pertolongan kepada kita untuk meraih keridhaan-Nya. Alhamdulillâhi rabbil ‘âlamîn.

RUJUKAN:
1. Shahîh Bukhâri
2. Shahîh Muslim
3. Kitab-kitab Sunan
4. Minhâjul Muslim, karya Syaikh Abu Bakar Jâbir al-Jazâiri
5. Bahjatun Nâzhirîn Syarah Riyâdhus Shâlihîn, karya Syaikh Sâlim al-Hilâli
6. Ilmu Ushûl Bida’, karya Syaikh ‘Ali al-Halâbi
7. Dan lain-lain

.Nikahilah Aku Tapi Dengan Syarat Tidak Berpoligami!!

Print
Pertanyaan:
Assalamu'alaykum Warohmatulloh Wabarokatuh

Ustadz firanda yang semoga ustadz dan keluarga mendapat penjagaan dari Allah, ana seorang akhwat yang saat ini sedang melakukan proses ta'aaruf dengan seorang ikhwan yang menuntut ilmu di Universitas Islam Madinah. Pertanyaan ana, mungkin ustadz sudah bisa menebak dari judul/subject message ini, yaitu apa boleh menolak untuk dipoligami ? Apakah seorang wanita boleh memberi syarat kepada seorang lelaki yang hendak menikahinya agar tidak boleh berpoligami?

Ana selama mengaji hampir 2 tahun, mendapat salah satu kaidah yaitu : lebih diutamakan menolak mafsadah (kerusakan) daripada mendapat maslahat (manfaat)'. Ana, jujur merasa berat kalau nanti harus dipoligami ustadz. Tidak hanya masalah perasaan tapi juga dari pihak keluarga ana yang sangat memandang rendah terhadap laki-laki yang beristri lebih dari satu. Selain itu juga, ikhwan yang sedang berproses ta'aruf dengan ana juga belum punya pekerjaan alias hanya mengandalkan uang beasiswanya. Ana takut jika nanti ikhwan tersebut ada niatan untuk poligami dan nekat untuk menikah lagi padahal dari sisi dunia keluarga ana melihat belum mampu/miskin, keluarga besar ana akan melihat betapa jeleknya orang Islam yang hanya memikirkan syahwat dan syahwat tanpa memikirkan bagaimana menafkahi nanti. Ana bukanlah akhwat pondokan dengan background keluarga yang mengenal Islam dengan baik, saudara ana juga ada yang non-Islam. Ana dulu berkuliah dan mengaji di salafy sejak semester 6.

Mohon nasehat dari ustadz, wa Jazaakumullohu Khoyro.
Jawab :
Walaikum salam warahmatullahi wa barakaatuh. Dari pertanyaan di atas maka jelas bahwa ukhti yang bertanya paham betul akan disyari'atkannya poligami, dan merupakan sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Akan tetapi pertanyaan ukhti; Bolehkah seorang wanita memberi persyaratan kepada calon suaminya agar tidak berpoligami?

Lantas apakah persayaratan seperti ini tidak melanggar syari'at?

Apakah sang suami kelak wajib memenuhi persyaratan seperti ini?, ataukah boleh melanggar janjinya untuk tidak berpoligami karena ada kemaslahatan yang lain?

Para pembaca yang dirahmati Allah, para ulama dalam buku-buku fikih mereka membedakan antara dua hal :

Pertama : Syarat-syarat sah nikah

Kedua : Syarat-syarat yang dipersyaratkan dalam nikah yang diajukan oleh salah satu dari dua belah pihak calon mempelai.

Adapun hal yang pertama yaitu tentang syarat-syarat sah nikah maka hal ini sudah ma'ruuf seperti : adanya wali dari pihak wanita, keridhoan dua belah pihak calon mempelai, adanya dua saksi, dan tidak adanya penghalang dari kedua belah pihak yang menghalangi pernikahan (seperti ternyata keduanya merupakan saudara sepersusuan, atau karena ada hubungan nasab yang menghalangi seperti ternyata sang wanita adalah putri keponakan calon suami, atau sang wanita adalah muslimah dan sang lelaki kafir, atau sang wanita adalah dari majusiyah, atau sang wanita masih dalam masa 'iddah, atau salah satu dari keduanya dalam kondisi muhrim, dll)

Namun bukan hal ini yang menjadi pembahasan kita, akan tetapi pembahasan kita adalah pada poin yang kedua yaitu tentang seroang wanita yang memberi persyaratan tatkala melangsungkan akad nikah dengan sang lelaki, atau sebaliknya.

Permasalahan ini merupakan salah satu cabang dari permasalahan utama yang diperselisihkan oleh para ulama, yaitu tentang persyaratan yang disyaratkan dalam 'akad-'akad, baik 'akad (transaksi) jual beli maupun 'akad pernikahan. Dan khilaf para ulama tentang hal ini telah dijelaskan dengan sangat panjang lebar oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab beliau Al-'Qowaa'id An-Nuurooniyah.

Akan tetapi pembicaraan kita terkhususkan kepada permasalahan yang ditanyakan, yaitu apakah boleh bagi sang wanita tatkala akan menikah memberi persyaratan agar sang lelaki tidak berpoligami?

Telah terjadi khilaf diantara para ulama dalam permasalahan ini sebagaimana berikut ini:

Madzhab Hanafi

Adapun Madzhab Hanafi maka mereka membolehkan persyaratan seperti ini. Jika seorang wanita diberi mahar oleh sang calon suami kurang dari mahar para wanita-wanita yang semisalnya menurut adat maka boleh bagi sang wanita untuk memberi persyaratan, seperti mempersyaratkan bahwa agar ia tidak dipoligami. Dan persyaratan ini diperbolehkan dan dianggap termasuk dari mahar karena ada nilai manfaat bagi sang wanita. Akan tetapi menurut madzhab Hanafi jika ternyata sang lelaki akhirnya berpoligami maka ia harus membayar mahar wanita tersebut secara penuh sebagaimana mahar para wanita yang semisalnya menurut adat. (lihat Al-'Inaayah bi syarh Al-Hidaayah 5/10, fathul Qodiir 7/176 maktabah syamilah)


Madzhab Malikiah

Madzhab Maliki memandang bahwa persayaratan seperti ini merupakan persayaratan yang makruh. Dan madzhab Maliki memiliki perincian dalam permasalahan ini, sbb :

-Persayaratan seperti ini makruuh, dan tidak lazin/harus untuk dipenuhi oleh sang calon suami.

-Akan tetapi persayaratan ini wajib dipenuhi oleh sang suami jika persayaratannya disertai dengan sumpah dari sang calon suami

-Jika persyaratan ini diajukan oleh sang wanita dengan menjatuhkan sebagian maharnya maka wajib bagi sang suami untuk memenuhinya. Misalnyan mahar nikah sang wanita adalah 20 juta, lantas sang wanita berkata, "Aku menjatuhkan 5 juta dari maharku dengan syarat sang lelaki tidak boleh berpoligami" lalu disetujui oleh sang lelaki maka wajib bagi sang lelaki untuk memenuhi persyaratan tersebut. Jika ternyata sang lelaki akhirnya berpoligami maka ia harus membayar mahar 5 juta tersebut kepada sang wanita. (lihat perincian ini di At-Taaj wa Al-Ikliil 3/513)

-Bahkan Imam Malik pernah ditanya tentang seorang wanita yang memberi persyaratan kepada calon suaminya, "Jika engkau berpoligami maka hak untuk bercerai ada padaku", kemudian sang lelakipun berpoligami, lantas sang wanitapun menjatuhkan cerai (talak) tiga. Akan tetapi sang suami tidak menerima hal ini dan menganggap hanya jatuh talak satu. Maka apakah jatuh talak tiga tersebut,?, Imam Malik menjawab : "Ini merupakan hak sang wanita, dan adapun pengingkaran sang suami maka tidak ada faedahnya" (lhat Al-Mudawwanah 2/75)

Madzhab As-Syafii

Madzhab As-Syafii membagi persyaratan dalam pernikahan menjadi dua, syarat-syarat yang diperbolehkan dan syarat-syarat yang dilarang.

Pertama : Adapun syarat yang diperbolehkan adalah syarat-syarat yang sesuai dengan hukum syar'i tentang mutlaknya akad, contohnya sang lelaki mempersyaratkan kepada sang wanita untuk bersafar bersamanya, atau untuk menceraikannya jika sang lelaki berkehendak, atau berpoligami. Sebaliknya misalnya sang wanita mempersyaratkan agar maharnya dipenuhi, atau memberi nafkah kepadanya sebagaimana nafkah wanita-wanita yang lainnya, atau mempersyaratkan agar sang lelaki membagi jatah nginapnya dengan adil antara istri-istrinya. Persyaratan seperti ini diperbolehkan, karena hal-hal yang dipersayratkan di atas boleh dilakukan meskipun tanpa syarat, maka tentunya lebih boleh lagi jika dengan persayaratan.

Kedua : Adapun persyaratan yang tidak diperbolehkan maka secara umum ada empat macam:

-Persyaratan yang membatalkan pernikahan, yaitu persyaratan yang bertentangan dengan maksud pernikahan. Contohnya jika sang lelaki mempersayaratkan jatuh talak bagi sang wanita pada awal bulan depan, atau jatuh talak jika si fulan datang, atau hak talak berada di tangan sang wanita. Maka pernikahan dengan persayaratan seperti ini tidak sah.

-Persyaratan yang membatalkan mahar akan tetapi tidak membatalkan pernikahan. Contohnya persyaratan dari pihak lelaki, misalnya sang wanita tidak boleh berbicara dengan ayah atau  ibunya atau kakaknya, atau sang lelaki tidak memberi nafkah secara penuh kepada sang wanita. Demikian juga persayaratan dari pihak wanita, misalnya : sang lelaki tidak boleh berpoligami atau tidak boleh mengajak sang wanita merantau. Maka ini seluruhnya merupakan persyaratan yang batil karena mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah atau sebaliknya menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah. Dalam kondisi seperti ini maka batalah mahar sang wanita yang telah ditentukan dalam akad, dan jadilah mahar sang wanita menjadi mahar al-mitsl (yaitu maharnya disesuaikan dengan mahar para wanita-wanita yang semisalnya menurut adat istiadat).

-Persyaratan yang hukumnya tergantung siapa yang memberi persayaratan. Misalnya persyaratan untuk tidak berjimak setelah nikah. Maka jika yang memberi persayratan tersebut adalah pihak wanita maka hal ini haram, karena jimak adalah hak sang lelaki setelah membayar mahar. Dan jika sebaliknya persayaratan tersebut dari pihak lelaki itu sendiri maka menurut madzhab As-Syafii hal tersebut adalah boleh

-Persyaratan yang diperselisihkan oleh ulama madzhab As-Syafi'i, yaitu persyaratan yang berkaitan dengan mahar dan nafaqoh. Jika sang wanita mempersyaratkan agar tidak dinafkahi maka pernikahan tetap sah, karena hak nafkah adalah hak sang wanita. Akan tetapi persyaratan ini membatalkan mahar yang telah ditentukan, maka jadilah mahar sang wanita adalah mahar al-mitsl. Akan tetapi jika yang mempersyaratkan adalah dari pihak lelaki maka para ulama madzhab syafii berselisih pendapat. Ada yang berpendapat bahwa akad nikahnya batil, dan ada yang berpendapat bahwa akad nikahnya sah akan tetapi membatalkan mahar yang telah ditentukan bagi sang wanita sehingga bagi sang wanita mahar al-mitsl. (lihat Al-Haawi 9/506-508)
 
Madzhab Hanbali

Madzhab Hanbali membagi persyaratan dalam nikah menjadi tiga bagian;

Pertama : Persyaratan yang harus ditunaikan, yaitu persayaratan yang manfaatnya dan faedahnya kembali kepada sang wanita. Misalnya sang wanita mempersayatkan agar sang suami tidak membawanya merantau atau tidak berpoligami. Maka wajib bagi sang suami untuk memenuhi dan menunaikan persyaratan ini. Jika sang suami tidak menunaikan syarat ini maka sang wanita berhak untuk membatalkan tali pernikahan. Pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin Al-Khottoob, Sa'ad bin Abi Waqqoosh, Mu'aawiyah, dan 'Amr bin Al-'Aash radhiallahu 'anhum. (lihat Al-Mughni 7/448)

Kedua : Persyaratan yang batil dan membatalkan persyaratan itu sendiri akan tetapi pernikahan tetap sah, seperti jika sang lelaki mempersyaratkan untuk menikah tanpa mahar, atau tidak menafkahi sang wanita, atau sang wanitalah yang memberi nafkah kepadanya, atau ia hanya mendatangi sang wanita di siang hari saja. Dan demikian juga jika sang wanita mepersyaratkan untuk tidak digauli atau agar sang lelaki menjauhinya, atau agar jatah nginapnya ditambah dengan mengambil sebagian jatah istrinya yang lain. Maka seluruh persyaratan ini tidak sah dan batil (lihat Al-Mughni 7/449)

Ketiga : Persyaratan yang membatalkan akad nikah, seperti pernikahan mut'ah (nikah kontrak sementara setelah itu cerai), atau langsung dicerai setelah nikah, dan nikah syigoor, atau sang lelaki berkata, "Aku menikahi engkau jika ibumu merestui atau si fulan setuju". (lihat Al-Mughni 7/449)

Dari penjelasan di atas maka jelas bahwa empat madzhab seluruhnya memandang sahnya persyaratan tersebut dan sama sekali tidak merusak akad nikah. Khilaf hanya timbul pada hukum memberi persyaratan ini dari pihak wanita. Madzhab Hanafi dan Hanbali memandang bolehnya persayratatn ini. Madzhab Maliki  memandang makruhnya hal ini. Dan hukum makruh masih masuk dalam kategori halal. Adapun As-Syafii memandang bahwa persyaratan ini merupakan persyaratan yang tidak diperbolehkan, hanya saja jika terjadi maka persyaratan tersebut tetap tidak merusak akad nikah.


Dalil akan bolehnya persyaratan ini :

Para ulama yang memperbolehkan persyaratan agar sang suami tidak poligami, mereka berdalil dengan banyak dalil, diantaranya:

Pertama : Keumuman dalil-dalil yang memerintahkan seseorang untuk menunaikan janji atau kesepakatan. Seperti firman Allah

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu (QS Al-Maaidah :1)

Kedua : Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

أَحَقُّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوْفُوْا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ

"Syarat yang palih berhak untuk ditunaikan adalah persyaratan yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan (para wanita)" (HR Al-Bukhari no 2721 dan Muslim no 1418)

Dan persyaratan untuk tidak berpoligami merupakan persyaratan yang diajukan oleh sang wanita dalam akad nikahnya, sehingga wajib bagi sang lelaki untuk menunaikannya.

Ketiga : Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

"Dan kaum muslimin tetap berada diatas persyaratan mereka (tidak menyelishinya-pen), kecuali persyaratan yang mengharamkan perkara yang halal atau menghalalkan perkara yang haram" (HR At-Thirimidzi no 1352 dan Abu Dawud no 3596 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Dan jelas bahwasanya seseroang yang menikah dan tidak berpoligami maka hal ini diperbolehkan dan tidak melanggar persyaratan. Maka jika perkaranya demikian berarti persyaratan untuk tidak berpoligami diperbolehkan dan harus ditunaikan oleh sang suami. Adapun persyaratan yang menghalalkan sesuatu yang haram maka tidak diperbolehkan, seperti seroang wanita yang menikah dengan mempersyaratkan agar calon suaminya menceraikan istri tuanya. Hal ini jelas diharamkan oleh syari'at.

Keempat : Hukum asal dalam masalah akad dan transaksi –jika diridhoi oleh kedua belah pihak- adalah mubaah hingga ada dalil yang mengaharamkan

Adapun dalil yang dijadikan hujjah oleh para ulama yang mengharamkan persyaratan ini adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

مَنِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنِ اشْتَرَطَ مِائَةَ شَرْطٍ

"Barang siapa yang memberi persyaratan yang tidak terdapat di Kitab Allah maka persyaratan itu batil, meskipun ia mempersyaratkan seratus persyaratan"
(HR Al-Bukhari no 2155 dan Muslim 1504)

Akan tetapi maksud dari sabda Nabi ini adalah persyaratan yang tidak dihalalkan oleh Allah. Karena konteks hadits ini secara lengkap menunjukan akan hal ini. Konteks hadits secara lengkap adalah sebagai berikut :

Aisyah berkata :

جَاءَتْنِي بَرِيْرَةُ فَقَالَتْ كَاتَبْتُ أَهْلِي عَلَى تِسْعِ أَوَاقٍ فِي كُلِّ عَامٍ وُقِيَّة فَأَعِيْنِيْنِي، فَقُلْتُ : إِنْ أَحَبَّ أَهْلُكِ أَنْ أُعِدَّهَا لَهُمْ وَيَكُوْنُ وَلاَؤُكِ لِي فَعَلْتُ. فَذَهَبَتْ بَرِيْرَةُ إِلَى أَهْلِهَا فَقَالَتْ لَهُمْ فَأَبَوْا ذَلِكَ عَلَيْهَا، فَجَاءَتْ مِنْ عِنْدِهِمْ وَرَسُوْل اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ فَقَالَتْ : إِنّي قَدْ عَرَضْتُ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ فَأَبَوْا إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ الْوَلاَءُ لَهُمْ. فَسَمِعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَتْ عَائِشَةُ النَّبِيَّ صَلًَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : خُذيْهَا وَاشْتَرِطِي لَهُمُ الْوَلاَءَ فَإِنَّمَا الْوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ، فَفَعَلَتْ عَائِشَةُ ثُمَّ قَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي النَّاسِ فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ : أَمَّا بَعْدُ، مَا بَالُ رِجَالٍ يَشْتَرِطُوْنَ شُرُوْطًا لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللهِ مَا كَانَ مِنْ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَة شَرْطٍ، قَضَاءُ اللهِ أَحَقُّ وَشَرْطُ اللهِ أَوْثَقُ وَإِنَّمَا الْوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ

"Bariroh (seorang budak wanita-pen) datang kepadaku dan berkata, "Aku telah membeli diriku (mukaatabah-pen) dengan harga Sembilan uuqiyah, dan setiap tahun aku membayar satu uqiyah (40 dirham), maka bantulah aku. Maka aku (Aisyah) berkata, "Jika tuanmu suka maka aku akan menyiapkan bayaran tersebut dengan wala'mu pindah kepadaku". Maka pergilah Bariroh kepada tuanya dan menyampaikan hal tersebut, akan tetapi mereka enggan dan bersikeras bahwasanya walaa'nya Bariroh tetap pada mereka. Maka Barirohpun kembali kepada Aisyah –dan tatkala itu ada Rasulullah sedang duduk-, lalu Bariroh berkata, "Aku telah menawarkan hal itu kepada mereka (tuannya) akan tetapi mereka enggan kecuali walaa'ku tetap pada mereka. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mendengar hal itu (secara global-pen), lalu Aisyah mengabarkan perkaranya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Maka Nabi berkata, "Belilah Bariroh (untuk dibebaskan) dari mereka dan beri persyaratan kepada mereka tentang walaa'nya, karena walaa' adalah kepada orang yang membebaskan". Maka Aisyahpun melakukannya, lalu Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam berdiri di hadapan manusia lalu memuji Allah kemudian berkata, "Amma Ba'du, kenapa orang-orang memberi persyaratan-persyaratan yang tidak terdapat di kitab Allah (Al-Qur'an), maka persyaratan apa saja yang tidak terdapat dalam Al-Qur'an maka merupakan persyaratan yang batil, meskipun seratus persayratan. Ketetapan Allah lebih berhak untuk ditunaikan, dan persyaratan Allah lebih kuat untuk diikuti, sesungguhnya walaa' hanyalah kepada orang yang membebaskan" (HR Al-Bukhari no 2168)

Maka jelaslah dari konteks hadits di atas bahwa yang dimaksud dengan persyaratan yang terdapat dalam kitab Allah adalah seluruh persyaratan yang diperbolehkan oleh Allah dan RasulNya, dan bukanlah maksudnya persyaratan yang termaktub dan ternashkan dalam Al-Qur'an. Karena permasalahan "Walaa' itu hanya kepada orang yang membebaskan" sama sekali tidak termaktub dalam Al-Qur'an, akan tetapi merupakan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Oleh karenanya persyaratan yang tidak diperbolehkan adalah persyaratan yang tidak terdapat dalam kitab Allah, yang maksudnya adalah seluruh perysaratan yang tidak disyari'atkan dan tidak diperbolehkan dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah.

Inti dalam masalah persyaratan baik dalam pernikahan maupun dalam akad-akad transaksi secara umum adalah : Seluruh persyaratan yang hukum asalnya adalah mubaah maka boleh dijadikan persayratan jika dirihdoi oleh kedua belah pihak. (lihat Al-Qowaad An-Nurroniyah hal 285)

Karenanya pendapat yang lebih kuat dalam permasalahan ini –Wallahu A'lam- adalah pendapat madzhab Hambali, bahwasanya persyaratan tersebut diperbolehkan dan wajib untuk ditunaikan oleh suami jika menerima persyaratan tersebut. dan inilah yang telah dipilih oleh Ibnu Taimiyyah dalam Al-Qwaaid An-Nurroniyah dan juga Syaikh Al-Utsaimin (lihat As-Syarh Al-Mumti' 12/164, 167)


Kesimpulan :


Para ulama madzhab telah berselisih yang kesimpulannya sebagai berikut:

-Madzhab Hanbali membolehkan persyaratan seperti ini, dan wajib bagi sang suami untuk menunaikan persyaratan tersebut. Dan persyaratan ini sama sekali tidak merusak akad nikah dan juga tidak merusak mahar.

-Adapun pendapat Madzhab Hanafi maka persyaratan ini diperbolehkan jika sang wanita menjatuhkan sebagian nilai maharnya. Dan wajib bagi sang suami untuk menunaikan persayaratan ini. Jika sang suami tidak menunaikannya maka sang wanita mendapatakan mahr al-mitsl

-Madzhab Maliki memandang persyaratan ini merupakan persyaratan yang makruh

-Adapun pendapat madzhab Syafii maka ini merupakan persyaratan yang tidak diperbolehkan. Akan tetapi jika terjadi maka persyaratan tersebut tidak merusak akad nikah, hanya saja merusak mahar yang telah ditentukan, sehingga mahar sang wanita nilainya berubah menjadi mahar al-mitsl.


Dari sini nampak bahwa jumhur (mayoritas) ulama memandang bahwa persyaratan seperti ini (agar sang suami tidak berpoligami) merupakan persayratan yang sah dan diperbolehkan. Akan tetapi yang perlu diperhatikan :

-Hendaknya para lelaki yang hendak menikah untuk tidak mengajukan persyaratan ini tanpa dipersyaratkan oleh sang wanita, karena ini merupakan bentuk menjerumuskan diri dalam kesulitan.

-Demikian juga jika sang wanita mempersyaratkan tidak poligami, maka hendaknya sang lelaki tidak langsung menerima, dan hendaknya ia berpikir panjang. Karena ia tidak tahu bagaimana dan apa yang akan terjadi di kemudian hari. Bisa saja nantinya sang wanita sakit sehingga tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai istri sebagaimana mestinya atau hal-hal lain yang nantinya memaksa dia untuk berpoligami. Dan hendaknya sang lelaki ingat bahwa jika ia menerima persyaratan tersebut maka hendaknya ia menunaikannya karena seorang mukmin tidak mengingkari janji dan tidak menyelisihi kesepakatan.

-Hendaknya para wanita yang memberi persayratan ini jangan sampai terbetik dalam benaknya kebencian terhadap syari'at poligami, hendaknya ia tetap meyakini bahwa poligami adalah disyari'atkan dan mengandung banyak hikmah di balik itu.

-Hendaknya para wanita tidaklah memberi persyaratan tersebut kecuali jika memang kondisinya mendesak, karena sesungguhnya dibalik poligami banyak sekali hikmah. Dan sebaliknya persyaratan seperti ini bisa jadi membawa keburukan. Bisa jadi sang wanita akhirnya memiliki anak banyak, dan telah mencapi masa monopuse, sedangkan sang suami masih memiliki syahwat dan ingin menjaga kehormatannya, namun akhirnya ia tidak bisa berpoligami. Maka jadilah sang lelaki membenci sang wanita namun apa daya ia tidak mampu untuk berpisah dari sang wanita mengingat kemaslahatan anak-anaknya.

-Jika akhirnya sang lelaki berpoligami maka sang wanita diberi pilihan, yaitu menggugurkan persyaratannya tersebut dan menerima suaminya yang telah menyelisihi janji sehingga berpoligami ataukah sang wanita memutuskan tali akad pernikahan. Dan terputusnya tali pernikahan disini bukanlah perceraian, akan tetapi akad nikahnya batal. Sehingga jika sang wanita ingin kembali lagi ke suaminya maka harus dengan pernikahan yang baru.

Shoffiyah Az Zahra

Sumber : www.firanda.com

KAPAN ISTRI BOLEH MINTA CERAI?


Print
Berapa lalu saya dikejutkan dengan sebuah pertanyaan :

"Assalamualaikum....afwan ust. Mengganggu, teman ana punya problem.....setelah 17 tahun berumah tangga dan sudah mempunyai 1 anak (itupun dengan susah payah karena harus melalui pengobatan baru punya anak qodarolloh). Tapi itu tidak masalah. Berjalannya waktu seorang istri minta cerai dengan alasan karena suaminya jelek tapi akhlak dan agamanya lumayan,sehingga istri itu memenuhi hak suamipun jadi tidak ikhlas dll. (itu juga setelah adanya teman-teman yg ngomong dan sekarang sedang berhubungan sms-an dengan seorang laki-laki lain). Dia dengerin seorang ustadz berkata cerai dengan alasan jelek boleh walaupun akhlak dan agamanya baik, tapi harus mengembalikan maharnya......mohon ditanggapi…"

JAWABAN;

Diantara indahnya syari'at Islam adalah memberi jalan keluar bagi pasangan suami istri jika mereka memang tidak bisa memperoleh kebahagiaan dan kasih sayang diantara mereka. Diantara jalan keluar yang diberikan syari'at adalah perceraian, yang berada ditangan para lelaki (karena para lelakilah yang membayar mahar, biaya pernikahan, serta menanggung nafkah keluarga), akan tetapi tentu dengan persyaratan yang diletakan oleh Syari'at. Syari'at tidak menjadikan perceraian di tangan para wanita, karena secara umum kaum lelaki lebih berpikir panjang dan lebih stabil dalam mengambil keputusan. Berbeda dengan para wanita yang sering mengalami kondisi yang bisa merubah pola berfikirnya, seperti tatkala kondisi haid, atau tatkala mengandung, dan lain-lain, sehingga terkadang perasaan lebih didahulukan dari pada pikiran.

Para lelaki pun tidak dianjurkan untuk langsung beranjak ke jenjang perceraian kecuali setelah berusaha dan berusaha…, baik berusaha menasehati istri, atau melalu jalur islah (usaha damai) dari perwakilan dari dua  belah pihak dan usaha-usaha yang lainnya.

Demikian juga tatkala seorang lelaki hendak mencerai, maka ia tidak boleh mencerai tatkala sang istri sedang haid, atau tatkala sang istri telah bersih/suci akan tetapi ia telah menjimaknya.
 
Bila ternyata sang istri mendapati sikap buruk pada sang suami maka syari'at membolehkan kepada sang wanita untuk melakukan khulu' yaitu meminta suami untuk memutuskan akad pernikahan.

 Hukum Asal Wanita Meminta Cerai Adalah Haram

Tentunya kita mengetahui bahwasanya asalnya seorang wanita dilarang untuk meminta dicerai.

Nabi shallallahu 'alaiahi wa sallam bersabda:

أيُّما امرأةٍ سألت زوجَها طلاقاً فِي غَير مَا بَأْسٍ؛ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ

"Wanita mana saja yang meminta kepada suaminya untuk dicerai tanpa kondisi mendesak maka haram baginya bau surga" (HR Abu Dawud no 1928, At-Thirmidzi dan Ibnu Maajah, dan dihahihkan oleh Syaikh Albani)

Hadits ini menunjukkan ancaman yang sangat keras bagi seorang wanita yang meminta perceraian tanpa ada sebab yang syar'i yang kuat yang membolehkannya untuk meminta cerai. Berkata Abu At-Toyyib Al'Adziim Aabaadi, "Yaitu tanpa ada kondisi mendesak memaksanya untuk meminta cerai…((Maka haram baginya bau surga)) yaitu ia terhalang dari mencium harumnya surga, dan ini merupakan bentuk ancaman dan bahkan bentuk mubaalaghoh (berlebih-lebihan) dalam ancaman, atau terjadinya hal tersebut pada satu kondisi tertentu yaitu artinya ia tidak mencium wanginya surga tatkala tercium oleh orang-orang yang bertakwa yang pertama kali mencium wanginya surga, atau memang sama sekali ia tidak mencium wanginya surga. dan ini merupakan bentuk berlebih-lebihan dalam ancaman" ('Aunul Ma'buud 6/308)

Ibnu Hajar berkata :

أن الأخبار الواردة في ترهيب المرأة من طلب طلاق زوجها محمولة على ما إذا لم يكن بسبب يقتضى ذلك

"Sesungguhnya hadits-hadits yang datang tentang ancaman terhadap wanita yang meminta cerai, dibawakan kepada jika sang wanita meminta cerai tanpa sebab" (Fathul Baari 9/402)

Silahkan baca kembali artikel "Ceraikan Aku…!!!"

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda :

الْمُخْتَلِعَاتُ وَالْمُنْتَزِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ

"Para wanita yang khulu' dari suaminya dan melepaskan dirinya dari suaminya, mereka itulah para wanita munafiq" (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no 632)

Yaitu para wanita yang mengeluarkan biaya untuk meminta cerai dari suami mereka tanpa ada udzur yang syari' (lihat At-Taisiir bi Syarh Al-Jaami' As-Shogiir 1/607)

Sebab-Sebab Dibolehkan Khulu'
 
Para ulama telah menyebutkan perkara-perkara yang membolehkan seorang wanita meminta khulu' (pisah) dari suaminya.

Diantara perkara-perkara tersebut adalah :

1.Jika sang suami sangat nampak membenci sang istri, akan tetapi sang suami sengaja tidak ingin menceraikan sang istri agar sang istri menjadi seperti wanita yang tergantung

2.Akhlak suami yang buruk terhadap sang istri, seperti suka menghinanya atau suka memukulnya.

3.Agama sang suami yang buruk, seperti sang suami yang terlalu sering melakukan dosa-dosa, seperti minum khomr, berjudi, berzina, atau sering meninggalkan sholat, suka mendengar music, dll

4.Jika sang suami tidak menunaikan hak utama sang istri, seperti tidak memberikan nafkah kepadanya, atau tidak membelikan pakaian untuknya, dan kebutuhan-kebutuhan primer yang lainnya, padahal sang suami mampu.

5.Jika sang suami ternyata tidak bisa menggauli istrinya dengan baik, misalnya jika sang suami cacat, atau tidak bisa melakukan hubungan biologis, atau tidak adil dalam mabit (jatah menginap), atau tidak mau atau jarang memenuhi kebutuhan biologisnya karena condong kepada istri yang lain

6.Jika sang wanita sama sekali tidak membenci sang suami, hanya saja sang wanita khawatir tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai istri sehingga tidak bisa menunaikan hak-hak suaminya dengan baik. Maka boleh baginya meminta agar suaminya meridoinya untuk khulu', karena ia khawatir terjerumus dalam dosa karena tidak bisa menunaikan hak-hak suami

7.Jika sang istri membenci suaminya bukan karena akhlak yang buruk, dan juga bukan karena agama suami yang buruk. Akan tetapi sang istri tidak bisa mencintai sang suami karena kekurangan pada jasadnya, seperti cacat, atau buruknya suami

(Silahkan lihat Roudhotut Toolibiin 7/374, dan juga fatwa Syaikh Ibn Jibrin rahimahullah di http://islamqa.info/ar/ref/1859) 

Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :

وجمله الأمر أن المرأة إذا كرهت زوجها لخلقه أو خلقه أو دينه أو كبره أو ضعفه أو نحو ذلك وخشيت أن لا تؤدي  حق الله في طاعته جاز لها أن تخالعه بعوض تفتدي به نفسها

 "Dan kesimpulannya bahwasanya seorang wanita jika membenci suaminya karena akhlaknya atau perawakannya/rupa dan jasadnya atau karena agamanya, atau karena tuanya, atau lemahnya, dan yang semisalnya, dan ia khawatir tidak bisa menunaikan hak Allah dalam mentaati sang suami maka boleh baginya untuk meminta khulu' kepada suaminya dengan memberikan biaya/ganti untuk membebaskan dirinya" (Al-Mughni 8/174)

Meminta Cerai Karena Suami Buruk Rupa
 
Para ulama telah menyebutkan bahwa boleh bagi seorang wanita yang meminta cerai dikarenakan tidak bisa meraih kebahagiaan dikarenakan sang suami buruk rupa. Dalil akan hal ini adalah kisah istri sahabat Tsabit bin Qois yang meminta cerai darinya. Ibnu Abbas meriwayatkan :

أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلا دِينٍ ، وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الْإِسْلَامِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ ؟ قَالَتْ : نَعَمْ . قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اقْبَلْ الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً

"Bahwasanya istri Tsaabit bin Qois mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, "Wahai Rasulullah, suamiku Tsaabit bin Qois tidaklah aku mencela akhlaknya dan tidak pula agamanya, akan tetapi aku takut berbuat kekufuran dalam Islam". Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Apakah engkau (bersedia) mengembalikan kebunnya (yang ia berikan sebagai maharmu-pen)?".

Maka ia berkata, "Iya". Rasulullah pun berkata kepada Tsaabit, "Terimalah kembali kebun tersebut dan ceraikanlah ia !" (HR Al-Bukhari no 5373)

Dalam riwayat ini jelas bahwa istri Tsaabit bin Qois sama sekali tidak mengeluhkan akan buruknya akhlak suaminya atau kurangnya agama suaminya. Akan tetapi ia mengeluhkan tentang perkara yang lain. Apakah perkara tersebut??

Dalam sebagian riwayat yang lain menjelaskan bahwa istri Tsabit meminta khulu' karena buruk rupanya Tsabit.

عن حجاج عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال كانت حبيبة بنت سهل تحت ثابت بن قيس بن شماس وكان رجلا دميما فقالت يا رسول الله والله لولا مخافة الله إذا دخل علي لبصقت في وجهه

Dari Hajjaj dari 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dan dari kakeknya berkata, "Dahulu Habibah binti Sahl adalah istri Tsaabit bin Qois bin Syammaas. Dan Tsaabit adalah seorang lelaki buruk dan pendek, maka Habibah berkata, "Wahai Rasulullah, demi Allah, kalau bukan karena takut kepada Allah maka jika ia masuk menemuiku maka aku akan meludahi wajahnya". (HR Ibnu Maajah no 2057 dan didho'ifkan oleh Syaikh Al-Albani)

Namun telah datang dalam riwayat yang shahih dari Ibnu Abbas berkata:

إن أول خلع كان في الإسلام، أخت عبد الله بن أبي، أنها أتت رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله لا يجمع رأسي ورأسه شيء أبدا! إني رفعت جانب الخباء، فرأيته أقبل في عدة، فإذا هو أشدهم سوادا، وأقصرهم قامة، وأقبحهم وجها! قال زوجها: يا رسول الله، إني أعطيتها أفضل مالي! حديقة، فإن ردت على حديقتي! قال:"ما تقولين؟" قالت: نعم، وإن شاء زدته! قال: ففرق بينهما

"Khulu' yang pertama kali dalam sejarah Islam adalah khulu'nya saudari Abdullah bin Ubay (Yaitu Jamilah bintu Abdullah bin Ubay bin Saluul gembong orang munafiq, dan saudara Jamilah bernama Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Saluul-pen). Ia mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata, "Wahai Rasulullah, tidak mungkin ada sesuatu yang bisa menyatukan kepalaku dengan kepala Tsabit selamanya. Aku telah mengangkat sisi tirai maka aku melihatnya datang bersama beberapa orang. Ternyata Tsaabit adalah yang paling hitam diantara mereka, yang paling pendek, dan yang paling jelek wajahnya"

Suaminya (Tsaabit) berkata, "Wahai Rasulullah, aku telah memberikan kepadanya hartaku yang terbaik, sebuah kebun, jika kebunku dikembalikan, (maka aku setuju untuk berpisah)". Nabi berkata, "Apa pendapatmu (wahai jamilah)?". Jamilah berkata, "Setuju, dan jika dia mau akan aku tambah". Maka Nabipun memisahkan antara keduanya" (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir At-Thobari dalam tafsirnya (4/552-553, no 3807), tatkala menafsirkan surat Al-Baqoroh ayat 229, dan sanadnya dinilai shahih oleh para pentahqiq Tafsir At-Thobari)

Catatan :

Pertama : Para ulama berselisih tentang nama istri Tsabit bin Qois, apakah namanya Jamilah binti Abdillah bin Ubay bin Saluul ataukah Habibah binti Sahl?. Akan tetapi Ibnu Hajar rahimahullah condong bahwa Tsabit pernah menikahi Habibah lalu terjadi khuluk, kemudian ia menikahi Jamilah dan juga terjadi khulu' (lihat Fathul Baari 9/399)

Kedua : Dalam sebagian riwayat yang shahih menunjukkan bahwa Tsaabit bin Qois radhiallahu 'anhu pernah memukul istrinya hingga tangannya patah. Sehingga inilah yang dikeluhkan oleh istri beliau sehingga minta khulu'

Dari Ar-Rubayyi' bin Mu'awwidz berkata :

أن ثابت بن قيس بن شماس ضرب امرأته فكسر يدها وهي جميلة بنت عبد الله بن أبي فأتى أخوها يشتكيه إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم فأرسل رسول الله صلى الله عليه و سلم إلى ثابت فقال له خذ الذي لها عليك وخل سبيلها قال نعم فأمرها رسول الله صلى الله عليه و سلم أن تتربص حيضة واحدة فتلحق بأهلها

"Sesungguhnya Tsaabit bin Qois bin Syammaas memukul istrinya hingga mematahkan tangannya. Istrinya adalah Jamilah binti Abdillah bin Ubay. Maka saudara laki-lakinya pun mendatangi Nabi mengeluhkannya. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengirim utusan ke Tsabit dan berkata, "Ambillah harta milik istrimu yang wajib atasmu dan ceraikanlah dia". Maka Tsaabit berkata, "Iya". Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan Jamilah untuk menunggu (masa 'iddah) satu kali haid. Lalu iapun pergi ke keluarganya" (HR An-Nasaai no 3487 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ حَبِيبَةَ بِنْتَ سَهْلٍ كَانَتْ عِنْدَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ فَضَرَبَهَا فَكَسَرَ بَعْضَهَا فَأَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَعْدَ الصُّبْحِ فَاشْتَكَتْهُ إِلَيْهِ فَدَعَا النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ثَابِتًا فَقَالَ « خُذْ بَعْضَ مَالِهَا وَفَارِقْهَا ».

فَقَالَ وَيَصْلُحُ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « نَعَمْ ». قَالَ فَإِنِّى أَصْدَقْتُهَا حَدِيقَتَيْنِ وَهُمَا بِيَدِهَا فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « خُذْهُمَا فَفَارِقْهَا ». فَفَعَلَ.

Dari Aisyah bahwasanya Habibah binti Sahl dulunya istri Tsabit bin Qois, lalu Tsabit memukulnya hingga patahlah sebagian anggota tubuhnya. Habibah pun mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam setelah subuh dan mengadukan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang suaminya. Maka Nabi berkata kepada Tsabit, "Ambillah sebagian harta Habibah, dan berpisahlah darinya"

Tsaabit berkata, "Apakah dibenarkan hal ini wahai Rasulullah?", Nabi berkata, "Benar". Tsabit berkata, "Aku telah memberikan kepadanya mahar berupa dua kebun, dan keduanya berada padanya". Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Ambilah kedua kebun tersebut dan berpisalah dengannya". (HR Abu Dawud no 2230, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Dari riwayat-riwayat yang ada, seakan-akan ada pertentangan, karena sebagian riwayat menunjukkan bahwa istri Tsabit meminta cerai karena perangai Tsaabit yang telah memukulnya hingga menyebabkan patah tangan. Dan sebagian riwayat yang lain sangat jelas dan tegas bahwa sang istri tidak mencela akhlak dan agama Tsaabit, akan yang dikeluhkan ada kondisi tubuh Tsaabit yang hitam, pendek, dan buruk rupa.

Ibnu Hajar menjamak kedua model riwayat diatas dengan menyebutkan suatu riwayat dimana istri Tsabit berkata :

والله ما أعتب على ثابت في دين ولا خلق ولكني أكره الكفر في الإسلام لا أطيقه بغضا

"Demi Allah aku tidak mencela Tsabit karena agamanya dan juga akhlaknya, akan tetapi aku takutkan kekufuran dalam Islam, aku tidak sanggup dengannya karena aku membencinya" (HR Ibnu Maajah no 1673 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

لكن تقدم من رواية النسائي أنه كسر يدها فيحمل على أنها أرادت أنه سيء الخلق لكنها ما تعيبه بذلك بل بشيء آخر ... لكن لم تشكه واحدة منهما بسبب ذلك بل وقع التصريح بسبب آخر وهو أنه كان دميم الخلقة

"Akan tetapi telah lalu dalam riwayat An-Nasaai bahwasanya Tsaabit mematahkan tangan sang istri, maka dibawakan kepada makna bahwasanya sang istri ingin mengatakan bahwa Tsabit buruk akhlaknya akan tetapi ia tidak mencela Tsaabit karena hal itu, akan tetapi karena perkara yang lain…tidak seorangpun dari kedua istrinya (Jamilah maupun Habibah) yang mencela Tsabit karena "sebab mematahkan tulang", akan tetapi telah datang penjelasan yang tegas akan sebab yang lain, yaitu perawakan Tsaabit buruk" (Fathul Baari 9/400)

Dari sinilah para ulama menyatakan bahwa diantara salah satu sebab yang membolehkan seorang wanita meminta khulu' adalah jika sang suami buruk rupa, dan sang istri sama sekali tidak bisa mencintai sang suami. Dan jika sudah tidak cinta maka sulit untuk meraih kebahagiaan dan kasih sayang yang merupakan salah satu dari tujuan pernikahan. Wallahu A'lam.

AKAN TETAPI…

Yang mengherankan saya dari pertanyaan yang ditujukan kepada saya di atas, bahwasanya bagaimana bisa muncul pernyataan bahwa sang suami jelek setelah berjalannya pernikahan selama 17 tahun??

Dzohir dari pertanyaan di atas bahwasanya sang suami tidaklah jelek-jelek amat, tidak sebagaimana yang disebutkan tentang Tsabit yang hitam, pendek, dan buruk rupa, bahkan paling hitam, paling pendek, dan paling buruk diantara teman-temannya (sebagaimana pengakuan istrinya Jamilah).

Buktinya…pernikahan mereka berdua bisa berjalan selama 17 tahun, bahkan berhasil memiliki seorang anak setelah melalui usaha susah payah… Ini menunjukan –wallahu A'lam- bahwa sang suami bukanlah seorang yang buruk rupa, akan tetapi menjadi buruk rupa setelah sang istri mulai menjalin hubungan dengan lelaki lain…

Oleh karenanya hendaknya sang istri takut kepada Allah dan takutlah ancaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang wanita yang meminta cerai tanpa alasan yang dibenarkan oleh syari'at…dan hendaknya sang suami bersabar dan banyak berdoa kepada Allah agar istrinya kembali menjadi baik. Dan jika memang sang istri keras kepala dan menghina sang suami dengan menyatakan wajahnya jelek, maka saya rasa masih banyak wanita yang lebih sholehah dan lebih baik dari seorang istri pengkhianat yang menjalin hubungan dengan lelaki lain. Hanya kepada Allalah kita meminta agar menumbuhkan kasih sayang diantara pasangan suami istri dari kaum muslimin…hanya kepada Allahlah tempat mengadu dan berkeluh kesah.

Shoffiyah Az Zahra

Sumber : www.firanda.com