SYUBHAT-SYUBHAT DAN BANTAHANNYA
[1]. Mereka mengatakan: Bahwa sistem demokrasi sesuai dengan Islam
secara keseluruhan. Lalu mereka namakan dengan syura (musyawarah)
berdalil dengan firman Allah
" Artinya :Dan urusan mereka dimusyawarahkan di antara mereka".[Asy-Syuura : 38]
Lalu mereka bagi demokrasi menjadi dua bagian yang bertentangan dengan syariat dan yang tidak bertentangan dengan syariat.
Bantahan:
Tidak samar lagi batilnya ucapan yang menyamakan antara syura menurut
Islam dengan demokrasi ala Barat. Dan sudah kita cantumkan sebelumnya
tiga perbedaan antara syura dan demokrasi !
Adapun yang membagi demokrasi ke dalam shahih (benar) dan tidak shahih
adalah pembagian tanpa dasar, sebab istilahnya sendiri tidak dikenal
dalam Islam.
"Artinya : Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil.
Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu
mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk,
(menyembah)-nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan dan
apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang
petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka" [An-Najm : 22-23]
[2]. Mereka mengatakan: Bahwa pemungutan suara sudah ada pada awal-awal
Islam, ketika Abu Bakar, Umar, Ustman radhiyallahu 'anhum telah dipilih
dan dibaiat. [Lihat kitab syari'atul intikhabat hal.15]
Bantahan:
Ucapan mereka itu tidak benar karena beberapa sebab:
[a] Telah jelas bagi kita semua kerusakan yang ditimbulkan oleh
pemungutan suara seperti kebohongan, penipuan, kedustaan, pemalsuan dan
pelanggaran syariat lainnya. Maka amat tidak mungkin sebaik-baik kurun
melakukan praktek-praktek seperti itu.
[b] Para sahabat (sebagaimana yang dimaklumi dan diketahui di dalam
sejarah) telah bermufakat dan bermusyawarah tentang khalifah umat ini
sepeninggal Rasul.
Dan setelah dialog yang panjang di antaranya ucapan Abu Bakar as-Sidiq
yang membawakan sebuah hadits yang berbunyi: "Para imam itu adalah dari
bangsa Quraisy." Lalu mereka bersepakat membaiat Abu Bakar sebagai
khalifah. Tidak diikutsertakan seorang wanitapun di dalam musyawarah
tersebut.
Kemudian Abu Bakar mewasiatkan Umar sebagai khalifah setelah beliau, tanpa ada musyawarah.
Kemudian Umar menunjuk 6 orang sebagai anggota musyawarah untuk
menetapkan salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah. Keenam
orang itu termasuk 10 orang sahabat Rasulullah yang dijamin masuk
surga. Adapun sangkaan sebagian orang bahwa Abdurrahman bin Auf
menyertakan wanita dalam musyawarah adalah tidak benar.
Di dalam riwayat Bukhari tidak disebutkan di dalamnya penyebutan
musyawarah Abdurrahman bin Auf bersama wanita dan tidak juga bersama
para tentara. Bahkan yang tersebut di dalam riwayat Bukhari tersebut,
Abdurrahman bin Auf mengumpulkan 5 orang yang telah ditunjuk Umar yaitu
Ustman, Ali, Zubair, Thalhah, Saad dan beliau sendiri (lihat Fathul Bari
juz 7 hal. 61,69), Tarikhul Islam karya Az-Zahabi (hal. 303), Ibnu
Ashir dalam thariknya (3/36), Ibnu Jarir at-Thabari dalam Tarikhkul Umam
(4/431). Adapun yang disebutkan oleh Imam Ibnu Isuji di dalam Kitabnya
al-Munthadam riwayatnya dhaif.
Dan yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa Nihayah (4/151)
adalah riwayat tanpa sanad, tidak dapat dijadikan sandaran.
Kesimpulannya:
[a] Berdasarkan riwayat yang shahih Abdurrahman bin Auf hanya bermusyawarah dengan 5 orang yang ditunjuk Umar.
[b] Dalam riwayat yang shahih disebutkan bahwa Abdurrahman bin Auf juga mengajak bertukar pendapat dengan sahabat lainnya.
[c] Adapun penyertaan wanita di dalam musyawarah adalah tidak benar sebab riwayatnya tidak ada asalnya.
[3] Mereka mengatakan: Ini adalah masalah ijtihadiyah'
Bantahan:
Apa yang dimaksud dengan masalah ijtihadiyah ? Jika mereka katakan:
yaitu masalah baru yang tidak dikenal di massa wahyu dan khulafaur
rasyidin.
Maka jawabannya:
[a] Ucapan mereka ini menyelisihi atau bertentangan dengan ucapan sebelumnya yaitu sudah ada pada awal Islam.
[b] Memang benar pemungutan suara ini tidak ada pada zaman wahyu, tetapi
bukan berarti seluruh perkara yang tidak ada pada zaman wahyu
ditetapkan hukumnya dengan ijtihad. Dalam masalah ini ulama menetapkan
hukum setiap masalah berdasarkan kaedah-kaedah usul dan kaedah-kaedah
umum. Dan untuk masalah pemungutan suara ini telah diketahui
kerusakan-kerusakannya.
Jika dikatakan: yang kami maksud masalah ijtihadiyah adalah masalah yang
belum ada dalil al-Kitab dan as-Sunnah. Maka jawabannya sama seperti
jawaban kami yang telah lalu.
Jika dikatakan masalah ijtihadiyah artinya: kami mengetahui
keharamannya, tetapi kami memandang ikut serta di dalamnya untuk
mewujudkan maslahat. Maka jawabannya: kalau ucapan itu benar, maka pasti
sudah ada buktinya semenjak munculnya pemikiran seperti ini. Di
negara-negara Islam tidak pernah terwujud maslahat tersebut, bahkan
hanya kembali dua sepatu usang (gagal).
Sedang Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Artinya : Seorang Mukmin tidaklah disengat 2 kali dari satu lubang" [Mutafaqun alaih]
Jika dikatakan masalah ijtihadiyah adalah masalah yang diperdebatkan dan
diperselisihkan di kalangan ulama serta bukan masalah ijma'.
Maka jawabannya:
[a] Coba tunjukkan perselisihan di kalangan ulama yang mu'tabar
(dipercaya) yang dida'wakan itu. Tentu saja mereka tidak akan
mendapatkannya.
[b] Yang dikenal di kalangan ulama, bahwa yang dimaksud khilafiyah atau
masalah yang diperdebatkan, yaitu : jika kedua pihak memiliki alasan
atau dalil yang jelas dan dapat diterima sesuai kaedah. Sebab kalau
hanya mencari masalah khilafiyah, maka tidak ada satu permasalahanpun
melainkan di sana ada khilaf atau perbedaan pendapat. Akan tetapi banyak
di antara pendapat-pendapat itu yang tidak mu'tabar.
[4]. Mereka mengatakan: Bahwa pemungutan suara tersebut termasuk maslahat mursalah.
Bantahannya:
[a] Maslahat mursalah bukanlah sumber asli hukum syar'i, tapi hanyalah
sumber taba'i (mengikut) yang tidak dapat berdiri sendiri. Maslahat
mursalah hanyalah wasilah yang jika terpenuhi syaratsyaratnya, baru bisa
diamalkan.
[b] Menurut defisinya maslahat mursalah itu adalah: apa-apa yang tidak
ada nash tertentu padanya dan masuk ke dalam kaedah umum. Menurut
definisi lain adalah: sebuah sifat (maslahat) yang belum ditetapkan oleh
syariat.
Jadi maslahat mursalah itu adalah salahsatu proses ijtihad untuk
mencapai sebuah kemaslahatan bagi umat, yang belum disebutkan syariat,
dengan memperhatikan syarat-syaratnya.
Kembali kepada masalah pemungutan yang dikatakan sebagai maslahat
mursalah tersebut apakah sesuai dengan tujuan maslahat mursalah itu
sendiri atau justru bertentangan. Tentu saja amat bertentangan; dilihat
dari kerusakan kerusakan pemungutan suara yang cukup menjadi bukti bahwa
antara keduanya amat jauh berbeda.
[5]. Mereka mengatakan: Pemungutan suara ini hanya wasilah, bukan tujuan dan maksud kami adalah baik.
Bantahannya adalah:
Tidak dikenal kamus tujuan menghalalkan segala cara, sebab itu adalah
kaidah Yahudiah. Sebab berdasarkan kaidah Usuliyah: hukum sebuah wasilah
ditentukan hasil yang terjadi (didapat); jika yang terjadi adalah
perkara haram (hasilnya haram) maka wasilahnya juga haram.
Adapun ucapan mereka bahwa yang mereka inginkan adalah kebaikan.
Maka jawabannya bahwa niat yang baik lagi ikhlas serta keinginan yang
baik lagi tulus belumlah menjamin kelurusan amal. Sebab betapa banyak
orang yang menginginkan kebaikan tetapi tidak mendapatkannya.
Sebab sebuah amal dapat dikatakan shahih dan makbul jika memenuhi 2
syarat: [a] Niat ikhlas dan [b] Menetapi as-Sunnah. Jadi bukan hanya
bermodal keinginan [i'tikad baik saja]
[6]. Mereka mengatakan: Kami mengikuti pemungutan suara dengan tujuan menegakkan daulah Islam.
Bantahannya:
Ada sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada mereka, bagaimana cara menegakkan daulah Islam ?
Sedangkan di awal perjuangan, mereka sudah tunduk pada undang-undang
sekuler yang diimpor dari Eropa. Mengapa mereka tidak memulai menegakkan
hukum Islam itu pada diri mereka sendiri, atau memang ucapan mereka
"Kami akan menegakkan daulah Islam" hanyalah slogan kosong belaka.
Terbukti mereka tidak mampu untuk menegakkannya pada diri mereka
sendiri.
Kalau ingin buktinya maka silahkan melihat mereka-mereka yang meneriakkan slogan tersebut.
[7]. Mereka mengatakan : Kami tidak mau berpangku tangan dengan membiarkan musuh-musuh bergerak leluasa tanpa hambatan.
Bantahannya:
Apakah masuk akal jika untuk menghadapi musuh-musuhnya, mereka
bergandengan tangan dengan musuh-musuhnya dalam kursi parlemen,
berkompromi dengan musuh dalam membuat undang-undang? Bukankah ini tipu
daya ala Yahudi yang telah Allah nyatakan dalam al-Qur'an:
"Artinya : Segolongan lain dari ahli Kitab berkata kepada sesamanya:
Perlihatkanlah seolah-olah kamu beriman kepada apa yang diturunkan
kepada orang-orang yang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan
siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka (orang-orang
Mukmin) kembali (kepada kekafiran)". [Ali-Imran: 72]
Dan ucapan mereka bahwa masuknya mereka ke kancah demokrasi itu adalah
refleksi perjuangan mereka, tidak dapat dipercaya. Bukankah Allah telah
mengatakan:
"Artinya : Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan senang kepada kamu, hingga kamu mengikuti agama mereka" [Al-Baqarah: 120]
Lalu mengapa mereka saling bahu membahu dengan orang-orang Yahudi dan
Nashrani? Apakah mereka menerapkan kaedah: saling bertolong-tolongan
pada perkara-perkara yang disepakati dan saling toleransi pada perkara-
perkara yang diperselisihkan. Tidakkah mereka takut pada firman Allah
"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu'min.
Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu
?)". [An-Nisaa: 144]
Sumber : Majalah As Sunnah
Shoffiyah Az Zahra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar