Kaum muslimin –semoga Allah menjaga aqidah kita dari kesalahpahaman-
sesungguhnya menunaikan jihad dalam pengertian dan penerapan yang benar
termasuk ibadah yang mulia. Sebab Allah telah memerintahkan kaum
muslimin untuk berjihad melawan musuh-musuh-Nya.
Allah berfirman (yang
artinya), “Hai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafiq, dan bersikaplah keras kepada mereka…” (QS.
At-Taubah: 9).
Karena jihad adalah ibadah, maka untuk melaksanakannya
pun harus terpenuhi 2 syarat utama: (1) ikhlas dan (2) sesuai tuntunan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang menjadi pertanyaan
sekarang adalah fenomena pengeboman yang dilakukan oleh sebagian pemuda
Islam di tempat maksiat yang dikunjungi oleh turis asing yang notabene
orang-orang kafir. Benarkah tindakan bom bunuh diri di tempat semacam itu termasuk dalam kategori jihad dan orang yang mati
karena aksi tersebut -baik pada saat hari-H maupun karena tertangkap
aparat dan dijatuhi hukuman mati- boleh disebut orang yang mati syahid?
Bom Bunuh Diri Bukan Jihad
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah Maha menyayangi kalian.” (QS. An-Nisaa’: 29)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang bunuh diri dengan menggunakan suatu alat/cara di dunia, maka dia
akan disiksa dengan cara itu pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Adapun bunuh diri tanpa sengaja maka hal itu diberikan udzur
dan pelakunya tidak berdosa berdasarkan firman Allah ‘azza wa jalla
(yang artinya), “Dan tidak ada dosa bagi kalian karena melakukan
kesalahan yang tidak kalian sengaja akan tetapi (yang berdosa adalah)
yang kalian sengaja dari hati kalian.” (QS. Al-Ahzab: 5).
Dengan
demikian aksi bom bunuh diri yang dilakukan oleh sebagian orang dengan
mengatasnamakan jihad adalah sebuah penyimpangan (baca: pelanggaran
syari’at). Apalagi dengan aksi itu menyebabkan terbunuhnya kaum muslimin
atau orang kafir yang dilindungi oleh pemerintah muslimin tanpa alasan
yang dibenarkan syari’at.
Allah berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan alasan yang benar.” (QS. Al-Israa’: 33)
Membunuh Muslim Dengan Sengaja dan Tidak
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak
halal menumpahkan darah seorang muslim yang bersaksi tidak ada
sesembahan (yang benar) selain Allah dan bersaksi bahwa aku (Muhammad)
adalah Rasulullah kecuali dengan salah satu dari tiga alasan: [1] nyawa
dibalas nyawa (qishash), [2] seorang lelaki
beristri yang berzina, [3] dan orang yang memisahkan agama dan meninggalkan jama’ah (murtad).” (HR. Bukhari Muslim)
Beliau juga bersabda, “Sungguh, lenyapnya dunia lebih ringan bagi Allah daripada terbunuhnya seorang mukmin tanpa alasan yang benar.” (HR. Al-Mundziri, lihat Sahih At-Targhib wa At-Tarhib).
Hal ini menunjukkan bahwa membunuh muslim dengan sengaja adalah dosa besar.
Dalam hal membunuh seorang mukmin tanpa kesengajaan, Allah mewajibkan
pelakunya untuk membayar diyat/denda dan kaffarah/tebusan.
Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Tidak sepantasnya bagi orang mukmin
membunuh mukmin yang lain kecuali karena tidak sengaja. Maka barangsiapa
yang membunuh mukmin karena tidak sengaja maka wajib baginya
memerdekakan seorang budak yang beriman dan membayar diyat yang
diserahkannya kepada keluarganya, kecuali apabila keluarganya itu
berkenan untuk bersedekah (dengan memaafkannya).” (QS. An-Nisaa’: 92). Adapun terbunuhnya sebagian kaum muslimin akibat tindakan bom bunuh diri, maka ini jelas tidak termasuk pembunuhan tanpa sengaja, sehingga hal itu tidak bisa dibenarkan dengan alasan jihad.
Membunuh Orang Kafir Tanpa Hak
Membunuh orang kafir dzimmi, mu’ahad, dan musta’man (orang-orang
kafir yang dilindungi oleh pemerintah muslim), adalah perbuatan yang
haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang membunuh jiwa seorang mu’ahad (orang kafir yang memiliki ikatan perjanjian dengan pemerintah
kaum muslimin) maka dia tidak akan mencium bau surga, padahal
sesungguhnya baunya surga bisa tercium dari jarak perjalanan 40 tahun.” (HR. Bukhari)
Adapun membunuh orang kafir mu’ahad karena tidak sengaja maka Allah
mewajibkan pelakunya untuk membayar diyat dan kaffarah sebagaimana
disebutkan dalam ayat (yang artinya), “Apabila yang terbunuh itu
berasal dari kaum yang menjadi musuh kalian (kafir harbi) dan dia adalah
orang yang beriman maka kaffarahnya adalah memerdekakan budak yang
beriman, adapun apabila yang terbunuh itu berasal dari kaum yang
memiliki ikatan perjanjian antara kamu dengan mereka (kafir mu’ahad)
maka dia harus membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya dan
memerdekakan budak yang beriman. Barangsiapa yang tidak mendapatkannya
maka hendaklah berpuasa dua bulan berturut-turut supaya taubatnya
diterima oleh Allah. Allah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana.” (QS. An-Nisaa’: 92)
Bolehkah Mengatakan Si Fulan Syahid?
Di dalam kitab Sahihnya yang merupakan kitab paling sahih sesudah Al-Qur’an, Bukhari rahimahullah menulis bab berjudul “Bab. Tidak boleh mengatakan si fulan Syahid” berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Allah
yang lebih mengetahui siapakah orang yang benar-benar berjihad di
jalan-Nya, dan Allah yang lebih mengetahui siapakah orang yang terluka
di jalan-Nya.” (Sahih Bukhari, cet. Dar Ibnu Hazm, hal. 520)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan (Fath Al-Bari,
jilid 6 hal. 90. cet. Dar Al-Ma’rifah Beirut. Asy-Syamilah),
“Perkataan beliau ‘Tidak boleh mengatakan si fulan syahid’, maksudnya
tidak boleh memastikan perkara itu kecuali didasari dengan wahyu…”
Al-’Aini rahimahullah juga mengatakan, “Maksudnya tidak
boleh memastikan hal itu (si fulan syahid, pent) kecuali ada dalil wahyu
yang menegaskannya.” (Umdat Al-Qari, jilid 14 hal. 180. Asy-Syamilah)
Nah, sebenarnya perkara ini sudah jelas. Yaitu apabila ada seorang
mujahid yang berjihad dengan jihad yang syar’i kemudian dia mati dalam
peperangan maka tidak boleh dipastikan bahwa dia mati syahid, kecuali
terhadap orang-orang tertentu yang secara tegas disebutkan oleh dalil!
Maka keterangan Bukhari, Ibnu Hajar, dan Al-’Aini -rahimahumullah- di atas dapat kita bandingkan dengan komentar Abu Bakar Ba’asyir -semoga Allah menunjukinya- terhadap para pelaku bom Bali, “… Amrozi dan kawan-kawan ini memperjuangkan keyakinan di jalan Allah karena itu saya yakin dia termasuk mati
sahid,” tegasnya dalam orasi di Pondok Pesantren Al Islam, Sabtu (8/11/2008).” (sebagaimana dikutip Okezone.com.news)
Kalau orang yang benar-benar berjihad dengan jihad yang syar’i saja
tidak boleh dipastikan sebagai syahid -selama tidak ada dalil khusus
yang menegaskannya- lalu bagaimanakah lagi terhadap orang yang melakukan
tindak perusakan di muka bumi tanpa hak dengan mengatasnamakan jihad
-semoga Allah mengampuni dosa mereka yang sudah meninggal dan
menyadarkan pendukungnya yang masih hidup-… Ambillah pelajaran, wahai
saudaraku
Sebagai penutup, kami mengingatkan kepada para pemuda untuk bertakwa
kepada Allah dan menjauhkan diri mereka dari tindakan-tindakan yang akan
menjerumuskan mereka ke dalam neraka.
Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Maka takutlah kalian terhadap neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”
(QS. Al-Baqarah: 24). Sadarlah wahai saudara-saudaraku dari kelalaian
kalian, janganlah kalian menjadi tunggangan syaitan untuk menebarkan
kerusakan di atas muka bumi ini. Kami berdoa kepada Allah ‘azza wa jalla
agar memahamkan kaum muslimin tentang agama mereka, dan menjaga mereka
dari fitnah menyesatkan yang tampak ataupun yang tersembunyi. Shalawat
dan salam semoga tercurah kepada hamba dan utusan-Nya Muhammad, para
pengikutnya, dan segenap para sahabatnya.
Diringkas oleh Ari Wahyudi dari penjelasan Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbad hafizhahullah dalam kitab beliau Bi ayyi ‘aqlin wa diinin yakuunu tafjir wa tadmir jihaadan?! Waihakum, … Afiiquu yaa syabaab!!
(artinya: Menurut akal dan agama siapa; tindakan pengeboman dan
penghancuran dinilai sebagai jihad?! Sungguh celaka kalian… Sadarlah hai
para pemuda!!) di web Islamspirit.com. Dengan tambahan keterangan dari sumber lain.
Shoffiyah Az Zahra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar