Pemungutan suara atau voting sering digunakan oleh lembaga-lembaga atau
organisasi-organisasi baik skala besar seperti sebuah negara maupun
kecil seperti sebuah perkumpulan, di dalam mengambil sebuah sikap atau
di dalam memilih pimpinan dan lain-lain. Sepertinya hal ini sudah lumrah
dilangsungkan. Hingga dalam menentukan pimpinan umat harus dilakukan
melalui pemungutan suara, dan tentu saja masyarakat umumpun dilibatkan
di dalamnya. Padahal banyak di antara mereka yang tidak tahu menahu apa
dan bagaimana kriteria seorang pemimpin menurut Islam.
Dengan cara dan praktek seperti ini bisa jadi seorang yang tidak layak
menjadi pemimpin keluar sebagai pemenangnya. Adapun yang layak dan
berhak tersingkir atau tidak dipandang sama sekali ! Tentu saja metoda
pemungutan suara seperti ini tidak sesuai menurut konsep Islam, 'yang
menekankan konsep syura (musyawarah) antara para ulama dan orang-orang
shalih. Allah telah berfirman dalam Kitab-Nya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan menyuruh kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkannya dengan adil.[An-Nisaa : 58]
Kepemimpinan adalah sebuah amanat yang amat agung, yang menyangkut
aspek-aspek kehidupan manusia yang amat sensitif. Oleh sebab itu amanat
ini harus diserahkan kepada yang berhak menurut kaca mata syariat.
Proses pemungutan suara bukanlah cara/wasilah yang syar'i untuk
penyerahan amanat tersebut. Sebab tidak menjamin penyerahan amanat
kepada yang berhak. Bahkan di atas kertas dan di lapangan terbukti bahwa
orang-orang yang tidak berhaklah yang memegang (diserahi) amanat itu.
Di samping bahwa metoda pemungutan suara ini adalah metoda bid'ah yang
tidak dikenal oleh Islam. Sebagaimana diketahui bahwa tidak ada satupun
dari Khulafaur Rasyidin yaitu: Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali
radhiyallahu 'anhum maupun yang sesudah mereka, yang dipilih atau
diangkat menjadi khalifah, melalui cara pemungutan suara yang melibatkan
seluruh umat.
Lantas dari mana sistem pemungutan suara ini berasal ?! Jawabnya: tidak
lain dan tidak bukan ia adalah produk demokrasi ciptaan Barat (baca
kafir).
Ada anggapan bahwa pemungutan suara adalah bagian dari musyawarah. Tentu
saja amat jauh perbedaannya antara musyawarah mufakat menurut Islam
dengan pemungutan suara ala demokrasi di antaranya:
[1] Dalam musyawarah mufakat, keputusan ditentukan oleh dalil-dalil syar'i yang menempati al-haq walaupun suaranya minoritas.
[2] Anggota musyawarah adalah ahli ilmu (ulama) dan orang-orang shalih,
adapun di dalam pemungutan suara anggotanya bebas siapa saja.
[3] Musyawarah hanya perlu dilakukan jika tidak ada dalil yang jelas
dari al-Kitab dan as-Sunnah. Adapun dalam pemungutan suara, walaupun
sudah ada dalil yang jelas seterang matahari, tetap saja dilakukan
karena yang berkuasa adalah suara terbanyak, bukan al-Qur'an dan
as-Sunnah.
MAKNA PEMUNGUTAN SUARA
Pemungutan suara maksudnya adalah: pemilihan hakim atau pemimpin dengan
cara mencatat nama yang terpilih atau sejenisnya atau dengan voting.
Pemungutan suara ini, walaupun bermakna: pemberian hak pilih, tidak
perlu digunakan di dalam syariat untuk pemilihan hakim/pemimpin. Sebab
ia berbenturan dengan istilah syar'i yaitu syura (musyawarah). Apalagi
dalam istilah pemungutan suara itu terdapat konotasi haq dan batil. Maka
penggunaan istilah pemungutan suara ini jelas berseberangan jauh dengan
istilah syura. Sehingga tidak perlu menggunakan istilah tersebut, sebab
hal itu merupakan sikap latah kepada mereka.
MAFSADAT PEMUNGUTAN SUARA
Amat banyak kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan dari cara pemungutan suara ini di antaranya:
[1]. Termasuk perbuatan syirik kepada Allah.
[2]. Menekankan suara terbanyak.
[3]. Anggapan dan tuduhan bahwa dinul Islam kurang lengkap.
[4]. Pengabaian wala' dan bara'.
[5]. Tunduk kepada Undang-Undang sekuler.
[6]. Mengecoh (memperdayai) orang banyak khususnya kaum Muslimin.
[7]. Memberikan kepada demokrasi baju syariat.
[8]. Termasuk membantu dan mendukung musuh musuh Islam yaitu Yahudi dan Nashrani.
[9]. Menyelisihi Rasulullah dalam metoda menghadapi musuh.
[10]. Termasuk wasilah yang diharamkan.
[11]. Memecah belah kesatuan umat.
[12]. Menghancurkan persaudaraan sesama Muslim.
[13]. Menumbuhkan sikap fanatisme golongan atau partai yang terkutuk.
[14] Menumbuhkan pembelaan membabi buta (jahiliyah) terhadap partai-partai di golongan mereka.
[15]. Rekomendasi yang diberikan hanya untuk kemaslahatan golongan.
[16]. Janji janji tanpa realisasi dari para calon hanya untuk menyenangkan para pemilih.
[17]. Pemalsuan-pemalsuan dan penipuan-penipuan serta kebohongan-kebohongan hanya untuk meraup simpati massa.
[18]. Menyia-nyiakan waktu hanya untuk berkampanye bahkan terkadang meninggalkan kewajiban (shalat dan lain-lain).
[19]. Membelanjakan harta tidak pada tempat yang disyariatkan.
[20]. Money politic, si calon menyebarkan uang untuk mempengaruhi dan membujuk para pemilih.
[21]. Terperdaya dengan kuantitas tanpa kualitas.
[22]. Ambisi merebut kursi tanpa perduli rusaknya aqidah.
[23]. Memilih seorang calon tanpa memandang kelurusan aqidahnya.
[24]. Memilih calon tanpa perduli dengan syarat syarat syar'i seorang pemimpin.
[25]. Pemakaian dalil-dalil syar'i tidak pada tempatnya, di antaranya adalah ayat-ayat syura yaitu Asy-Syura': 46.
[26] .Tidak diperhatikannya syarat-syarat syar'i di dalam persaksian, sebab pemberian amanat adalah persaksian.
[27]. Penyamarataan yang tidak syar'i, di mana disamaratakan antara
wanita dan pria, antara seorang alim dengan si jahil, antara orang-orang
shalih dan orang-orang fasiq, antara Muslim dan kafir.
[28]. Fitnah wanita yang terdapat dalam proses pemungutan suara, di mana
mereka boleh dijadikan sebagai salah satu calon! Padahal Rasulullah
telah bersabda: "Tidak beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan
mereka kepada kaum wanita". [Hadits Riwayat Bukhari dari Abu Bakrah]
[29]. Mengajak manusia untuk mendatangi tempat-tempat pemalsuan.
[30]. Termasuk bertolong-tolongan dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
[31]. Melibatkan diri dalam perkara yang sia-sia dan tidak bermanfaat.
[32]. Janji-janji palsu dan semu yang disebar.
[33]. Memberi label pada perkara-perkara yang tidak ada labelnya seperti
label partai dengan partai Islam, pemilu Islami, kampanye Islami dan
lain-lain.
[34]. Berkoalisi atau beraliansi dengan partai-partai menyimpang dan sesat hanya untuk merebut suara terbanyak.
[35]. Sogok-menyogok dan praktek-praktek curang lainnya yang digunakan untuk memenangkan pemungutan suara.
[36]. Pertumpahan darah yang kerap kali terjadi sebelum atau sesudah
pemungutan suara karena memanasnya suasana pasca pemungutan suara atau
karena tidak puas karena kalah atau merasa dicurangi.
Sebenarnya masih banyak lagi kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan akibat
dari proses pemungutan suara ini. Kebanyakan dari kerusakan-kerusakan
yang disebutkan tadi adalah suatu yang sering nampak atau terdengar
melalui media massa atau lainnya !
Lalu apakah pantas seorang Muslim -apalagi seorang salafi- ikut-ikutan latah seperti orang-orang jahil tersebut ?!
Sungguh sangat tidak pantas bagi seorang Muslim salafi yang bertakwa
kepada Rabb-Nya melakukan hal itu, padahal ia mendengar firman Rabb-Nya:
Maka apakah patut bagi Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan
orang-orang yang berdosa (kafir). Mengapa kamu berbuat demikian ?
Bagaimanakah kamu membuat keputusan ? [Al-Qalam: 35-36]
Pada saat bangsa ini sedang menghadapi bencana, yang seharusnya mereka
memperbaiki kekeliruannya adalah dengan kembali kepada dien yang murni
sebagaimana firman Allah
Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan buah tangan
perbuatan manusia agar mereka merasakan sebagian perbuatan mereka dan
agar mereka kembali. [Ar-Ruum: 41]
Yaitu, agar mereka kembali kepada dien ini sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam:
Jika kalian telah berjual beli dengan sistem 'inah dan kalian telah
mengikuti ekor-ekor sapi, telah puas dengan bercocok tanam dan telah
kalian tinggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan atas kalian
kehinaan; tidak akan kembali (kehinaan) dan kalian hingga kalian kembali
ke dien kalian.
Kembali kepada dien yang murni itulah solusinya, kembali kepada
nilai-nilai tauhid yang murni, mempelajari dan melaksanakan-melaksanakan
konsekuensi-konsekuensinya, menyemarakkan as-Sunnah dan mengikis bid'ah
dan mentarbiyah ummat di atas nilai tauhid. Da'wah kepada jalan Allah
itulah jalan keluarnya, dan bukan melalui kotak suara atau
kampanye-kampanye semu! Tetapi realita apa yang terjadi??
Para Du'at (da'i) sudah berubah profesi, kini ia menyandang predikat
baru, yaitu juru kampanye (jurkam), menyeru kepada partainya dan bukan
lagi menyeru kepada jalan Allah. Menebar janji-janji; bukan lagi menebar
nilai-nilai tauhid. Sibuk berkampanye baik secara terang-terangan
maupun terselubung. Bukan lagi berdakwah, tetapi sibuk mengurusi urusan
politik –padahal bukan bidangnya dan ahlinya- serta tidak lagi
menuntut ilmu.
Mereka berdalih: "Masalah tauhid memang penting akan tetapi kita tidak boleh melupakan waqi' (realita)."
Waqi' (realita) apa yang mereka maksud ? Apakah realita yang termuat di
koran-koran, majalah-majalah, surat kabar-surat kabar ? -karena itulah
referensi mereka- atau realita umat yang masih jauh dari aqidah yang
benar, praktek syirik yang masih banyak dilakukan, atau amalan bid'ah
yang masih bertebaran. Ironinya hal ini justru ada pada partai-partai
yang mengatas namakan Islam ! Wallahul Musta'an
Mereka ngotot untuk tetap ikut pemungutan suara, agar dapat duduk di
kursi parlemen. Dan untuk mengelabuhi umat merekapun melontarkan
beberapa syubhat!
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Th. III/1420-1999, Disadur dari
kitab Tanwiir adz-Dzulumat tulisan Abu Nashr Muhammad bin Abdillah
al-Imam dan kitab Madarik an-Nazhar Fi Siasah tulisan Abdul Malik
Ramadhani]
Shoffiyah Az Zahra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar