Bismillah .....
Ritual mempersembahkan tumbal atau sesajen kepada makhuk halus atau jin
yang dianggap sebagai penunggu atau penguasa tempat keramat tertentu
adalah kebiasaan syirik yaitu menyekutukan Allah ta’ala dengan makhluk
yang sudah berlangsung turun-temurun di masyarakat kita. Mereka meyakini
makhluk halus tersebut memiliki kemampuan untuk memberikan kebaikan
atau menimpakan malapetaka kepada siapa
saja, sehingga dengan mempersembahkan tumbal atau sesajen mereka
berharap dapat meredam kemarahan makhluk halus itu dan agar segala
permohonan mereka dipenuhinya.
Kebiasaan ini sudah ada sejak
zaman jahiliyah sebelum Allah ta’ala mengutus RasulNya shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk menegakkan tauhid dan memerangi kesyirikan
dengan segala bentuknya.
Allah ta’ala berfirman,
“Dan
bahwasanya ada beberapa orang dari kalangan manusia meminta perlindungan
kepada beberapa laki-laki dari kalangan jin, maka jin-jin itu menambah
bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS. Al-Jin: 6).
Artinya,
orang-orang di zaman Jahiliyah meminta perlindungan kepada para jin
dengan mempersembahkan ibadah dan penghambaan diri kepada para jin
tersebut, seperti menyembelih hewan kurban sebagai tumbal, bernadzar,
meminta pertolongan dan lain-lain. (Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir
4/550, Taisiirul Kariimir Rahmaan hal. 890, at-Tamhiid Li Syarhi
Kitaabit Tauhiid hal. 317 dan kitab Hum Laisu Bisyai‘ hal. 4)
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata, “Jin (syaitan) mendapatkan
kesenangan dengan manusia menaatinya, menyembahnya, mengagungkannya dan
berlindung kepadanya (berbuat syirik dan kufur kepada Allah ta’ala).
Sedangkan manusia mendapatkan kesenangan dengan dipenuhi dan tercapainya
keinginannya dengan sebab bantuan dari para jin untuk memuaskan
keinginannya. Maka, orang yang menghambakan diri pada jin, sebagai
imbalannya jin tersebut akan membantunya dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya.” (Lihat kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan hal.
273)
Hukum Tumbal dan Sesajen dalam Islam
Mempersembahkan kurban yang berarti mengeluarkan sebagian harta dengan
tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala (Lihat definisi ini
di kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan hal. 282), adalah suatu bentuk
ibadah besar dan agung yang hanya pantas ditujukan kepada Allah ta’ala.
Sebagaimana dalam firmanNya,
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya
shalatku, sembelihanku (kurbanku), hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu baginya; dan demikian itulah yang
diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama
menyerahkan diri (kepada Allah).’” (QS. Al-An’aam: 162-163).
Dalam ayat lain, Allah ta’ala berfirman kepada NabiNya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Maka, dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkurbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 2).
Kedua ayat ini menunjukkan agungnya keutamaan ibadah shalat dan
berkurban, karena melakukan dua ibadah ini merupakan bukti kecintaan
kepada Allah ta’ala dan pemurnian agama bagiNya semata, serta
pendekatan diri kepadaNya dengan hati, lisan dan anggota badan, juga
dengan menyembelih kurban yang merupakan pengorbanan harta yang dicintai
jiwa kepada Dzat yang lebih dicintainya, yaitu Allah ta’ala. (Lihat
kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan hal. 228)
Oleh karena itu,
maka mempersembahkan ibadah ini kepada selain Allah ta’ala (baik itu
jin, makhluk halus ataupun manusia) dengan tujuan untuk mengagungkan dan
mendekatkan diri kepadanya, yang dikenal dengan istilah tumbal atau
sesajen, adalah perbuatan dosa yang sangat besar, bahkan merupakan
perbuatan syirik besar yang bisa menyebabkan pelakunya keluar dari agama
Islam. (Lihat kitab Syarhu Shahiihi Muslim 13/141, al-Qaulul Mufiid
‘Ala Kitaabit Tauhiid 1/215 dan kitab at-Tamhiid Li Syarhi Kitaabit
Tauhiid hal. 146)
Dalam sebuah hadits shahih, dari Ali bin Abi
Thalib radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Allah melaknat orang yang menyembelih (berkurban) untuk
selainNya.” (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan ancaman besar
bagi orang yang menyembelih (berkurban) untuk selainNya, dengan laknat
Allah ta’ala yaitu dijauhkan dari rahmatNya. Karena perbuatan ini
termasuk dosa yang sangat besar, bahkan termasuk perbuatan syirik kepada
Allah ta’ala, sehingga pelakunya pantas untuk mandapatkan laknat Allah
ta’ala dan dijauhkan dari rahmatNya. (Keterangan Syaikh Shalih Alu
Syaikh dalam kitab at Tamhiid Li Syarhi Kitaabit Tauhiid hal. 146)
Penting sekali untuk diingatkan dalam pembahasan ini, bahwa faktor
utama yang menjadikan besarnya keburukan perbuatan ini, bukanlah
semata-mata karena besar atau kecilnya kurban yang dipersembahkan kepada
selainNya, tetapi karena besarnya pengagungan dan ketakutan dalam hati
orang yang mempersembahkan kurban tersebut kepada selainNya, yang semua
ini merupakan ibadah hati yang agung yang hanya pantas ditujukan kepada
Allah ta’ala semata.
Oleh karena itu, meskipun kurban yang
dipersembahkan sangat kecil dan remeh, bahkan seekor lalat sekalipun,
jika disertai dengan pengagungan dan ketakutan dalam hati kepada
selainNya, maka ini juga termasuk perbuatan syirik besar. (Lihat kitab
Fathul Majid hal. 178 dan 179)
Hukum Berpartisipasi dan Membantu dalam Acara Tumbal dan Sesajen
Setelah kita mengetahui bahwa melakukan ritual jahiliyyah ini adalah
dosa yang sangat besar, bahkan termasuk perbuatan syirik kepada Allah,
yang berarti terkena ancaman dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya,
Allah tidak akan mengampuni (dosa) perbuatan syirik (menyekutukan-Nya),
dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa
yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka
sungguh ia telah berbuat dosa yang sangat besar.” (QS. An Nisaa’: 48).
Maka, ikut berpartisipasi dan membantu terselenggaranya acara ini dalam
segala bentuknya, adalah termasuk dosa yang sangat besar, karena
termasuk tolong-menolong dalam perbuatan maksiat yang sangat besar
kepada Allah, yaitu perbuatan syirik.
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaNya.”
(QS. Al-Ma’idah: 2).
Imam Ibnu Katsir berkata, “(Dalam ayat
ini) Allah ta’ala memerintahkan kepada hamba-hambaNya yang beriman
untuk saling menolong dalam melakukan perbuatan-perbuatan baik, yang ini
adalah al-birr (kebajikan), dan meninggalkan perbuatan-perbuatan
mungkar, yang ini adalah ketakwaan, serta melarang mereka dari saling
membantu dalam kebatilan dan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan
maksiat.” ( Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir 2/5)
Dan dalam
hadits shahih tentang haramnya perbuatan riba dan haramnya ikut membantu
serta mendukung perbuatan ini, dari Jabir bin Abdillah radhiallahu
‘anhu dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat
orang yang memakan riba, orang yang mengusahakannya, orang yang menulis
transaksinya, dan dua orang yang menjadi saksinya, mereka semua sama
(dalam perbuatan dosa).” (HR. Muslim)
Imam an-Nawawi berkata,
“Dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan diharamkannya
mendukung terselenggaranya perbuatan maksiat.” (Lihat Kitab Syarhu
Shahiihi Muslim 11/26)
Hukum Memanfaatkan Makanan Harta yang Digunakan untuk Tumbal (Sesajen)
Jika makanan tersebut berupa hewan sembelihan, maka tidak boleh
dimanfaatkan dalam bentuk apapun, baik untuk dimakan atau dijual, karena
hewan sembelihan tersebut dipersembahkan kepada selain Allah ta’ala,
maka dagingnya haram dimakan dan najis, sama hukumnya dengan daging
bangkai. (Lihat keterangan Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dalam catatan kaki
beliau terhadap kitab Fathul Majiid hal. 175)
Allah ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging
babi, dan sembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allah.” (QS.
Al-Baqarah: 173).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika
menafsirkan ayat ini, beliau berkata, “Semua hewan yang disembelih untuk
selain Allah tidak boleh dimakan dagingnya.” (Lihat kitab Daqaiqut
Tafsiir 2/130)
Dan karena daging ini haram dimakan, maka
berarti haram untuk diperjual-belikan, berdasarkan sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya, Allah ta’ala jika
mengharamkan memakan sesuatu, maka Dia juga mengharamkan harganya
(diperjualbelikan).” (HR Ahmad 1/293, Ibnu Hibban no. 4938 dan
lain-lain, Dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani dalam
kitab Ghaayatul Maraam no. 318)
Adapun jika makanan tersebut
selain hewan sembelihan, demikian juga harta, maka sebagian ulama ada
yang mengharamkannya dan menyamakan hukumnya dengan hewan sembelihan
yang dipersembahkan kepada selain Allah ta’ala. (Lihat keterangan
Syaikh Muhammad Hamid Al Faqiy dalam catatan kaki beliau terhadap kitab
Fathul Majiid hal. 174)
Akan tetapi pendapat yang lebih kuat
dalam masalah ini, insya Allah, adalah pendapat yang dikemukakan oleh
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz yang membolehkan pemanfaatan makanan dan
harta tersebut, selain sembelihan, karena hukum asal makanan atau harta
tersebut adalah halal dan telah ditinggalkan oleh pemiliknya.
Penutup
Demikianlah tulisan ringkas ini, semoga bermanfaat bagi semua orang yang membacanya untuk kebaikan dunia dan akhiratnya.
Wa shalallahu wa sallama wa baraka ‘ala nabiyyina Muhammadin wa alihi
wa shahbihi ajma’in. Wa akhiru da’wana anilhamdulillahi rabbil ‘alamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar