Dahulu, kaum sufi juga memiliki keyakinan wihdatul-adyân (penyatuan
agama), sebagai ekses dari keyakinan wihdatul-wujud yang mereka anut.
Suatu keyakinan yang bathil, mereka mengatakan, bahwasanya Allah
menampakkan diri dalam wujud segala sesuatu. Dan termasuk “sesuatu”
adalah berhala dan semua yang disembah, baik berupa pepohonan, bebatuan,
hewan, manusia, bintang dan malaikat. Pada hakikatnya yang disembah itu
adalah Allah. Itulah makna kalimat lâ ilâha illallah menurut sangkaan
kaum sufi yang meyakini wihdatul wujud.
Diantara contoh-contoh perkataan bathil dan kufur yang diucapkan oleh
beberapa tokoh mereka yaitu Seperti ucapan ‘Abdul-Karim al-Jîli : Lâ
ilâha illa ana, maksudnya, segala sesuatu yang disembah tidak lain
adalah Aku. Akulah yang menampakkan diri dalam wujud berhalaberhala,
bintang-bintang dan benda-benda itu. Akulah yang menjelma dalam wujud
segala sesuatu yang disembah penganut ajaran agama manapun.
Sesembahan-sesembahan itu tidak lain adalah Aku. Oleh sebab itu
berhalaberhala itu Aku sebut sebagai ilâh (sesembahan).
Penyebutan kalimat ilâh bagi berhalaberhala tersebut adalah secara
hakiki dan bukan majazi (kiasan). Tidak seperti asumsi ahli zhahir
(maksud mereka adalah ahli hadits) yang mengatakan bahwa maksud Allah
Subhanahu wa Ta’ala menamakan berhala-berhala itu dengan sebutan ilâh
karena para penyembahnya menyebut sesembahan mereka dengan sebutan
tersebut. Bukan maksudnya berhala-berhala itu benar-benar ilâh! Ini
merupakan kekeliruan mereka (ahli zhahir) dan kedustaan terhadap Allahk.
Sebab berhala-berhala itu, bahkan segala sesuatu di alam ini berasal
dari Dzat Allah Azza wa Jalla.
Jadi, penamaan tersebut adalah hakiki. Karena Allahk adalah hakikat
segala sesuatu. Bila Allahk menamakan sesuatu dengan sebutan ilâh, maka
itu adalah penyebutan secara hakiki. Tidak sebagaimana asumsi ahli
taklid yang terhijab (yang dimaksud adalah ahli ilmu), mereka mengatakan
penamaan tersebut adalah penamaan secara majazi (kiasan). Berdasarkan
asumsi mereka itu, berarti bebatuan, bintang-bintang, seluruh
benda-benda yang disembah bukan ilâh! Dan berarti firman Allahk yang
berbunyi: “Tiada sesembahan selain Aku maka sembahlah Aku” adalah tidak
benar!
Yang benar ialah, Allah Azza wa Jalla menjelaskan kepada mereka (para
penyembah berhala) bahwa berhala-berhala mereka itu adalah jelmaan
Allahk. Artinya, status berhalaberhala tersebut sebagai ilaah adalah
benar adanya. Dan yang mereka sembah itu pada hakikatnya adalah Allahk.
Allahk berfirman “lâ ilâha illa ana” (tiada ilâh selain Aku). Yaitu
tidak ada sesuatu apapun yang disebut sebagai ilaah kecuali Aku. Tidak
ada di alam raya ini yang menyembah selain Aku. Bagaimana mungkin mereka
menyembah selain-Ku, bukankah Aku telah menciptakan mereka supaya
beribadah kepada-Ku saja? Dan tidak akan terjadi kecuali apa yang
menjadi tujuan-Ku menciptakan mereka.
Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Setiap
makhluk dimudahkan untuk sesuatu yang telah digariskan atas mereka”.
Yaitu untuk beribadah kepada Allahk. Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah
kepada-Ku”. Allah kjuga berfirman: “Dan tidaklah segala sesuatu kecuali
bertasbih dengan memuji-Ku”.
Dalam ayat di atas, Allahk telah memperingatkan Nabi Musa Alaihissallam,
bahwa para penyembah berhala tersebut pada hakikatnya menyembah Allah
Azza wa Jalla. Namun mereka menyambah-Nya melalui wujud berhala jelmaan
Allah. Lalu memerintahkan Nabi Musa Alaihissallam agar menyembah Allah
Azza wa Jalla dari seluruh wujud jelmaan Allah, Allah Azza wa Jalla
berkata: “Tiada ilâh (sesembahan) kecuali Aku”. Yaitu segala sesuatu itu
adalah Aku. Dan segala sesuatu yang Ku-sebut ilâh adalah Aku.[1]
Demikianlah penjelasan panjang lebar yang bathil lagi kufur dari al Jiili.
Contoh perkataan bathil lainnya yaitu ucapan Asy-Sya’rani : “Ketahuilah,
seorang ahli tauhid selalu melaksanakan konsekuensi tauhidnya dengan
cara apa saja. Meskipun ia tidak beriman kepada Kitabullah dan Rasul, ia
tetap masuk surga”.[2]
Adapun Ibnu Arabi sudah kita ketahui bersama keyakinannya dalam masalah
ini. Banyak pernyataan-pernyataan yang ia lontarkan dalam bukunya.
Begitu pula, banyak bait-bait syair yang menunjukkan bahwa ia menganut
keyakinan wihdatul-adyân. Menurutnya, menyembah patung-patung berhala
itu tidak ubahnya menyembah Allah. Menurutnya, biara-biara itu sama
seperti Ka’bah, gereja sama seperti masjid, seiring dengan
bertukar-tukarnya penjelmaan Allah.
Dia-lah yang menampakkan diri dalam wujud segala sesuatu.
Dalam syairnya ia berkata:
Hatiku meyakini bentuk segala sesuatu
Tidak ada beda antara padang rumput tempat rusa merumput dengan biara
para ruhban (ahli ibadah) tidak ada beda antara rumah berhala dengan
Ka’bah begitu juga antara lembaran Taurat dengan mushaf Al-Qur‘ân
Aku senantiasa menjadikan cinta sebagai agama kemana saja kendaraanku menghadap[3]
Bagiku seluruh agama itu adalah agamaku dan imanku
Dalam kisah Bisyr, Hindun, dan saudaranya terdapat teladan yang baik bagi kita.
Begitu pula dalam kisah Qeis dan Laila, Serta kisah Mayy dan Ghailan.[4]
Dalam syair lain ia berkata:
Kadangkala aku disebut penggembala kambing di padang rumput
Kadangkala pula aku disebut rahib dan ahli nujum
Kekasihku menjelma menjadi tiga yang sebelumnya hanyalah satu.
Sebagaimana mereka menyebut satu oknum dengan beberapa identitas.[5]
Lebih jauh lagi ia mengatakan: “Seorang ahli ma’rifat yang sempurna,
adalah yang dapat melihat seluruh sesembahan yang disembah menjelma
dalam wujud Allahk. Oleh sebab itu, orang-orang menamakannya ilâh
(sesembahan), disamping nama-nama khusus seperti batu, pohon, hewan,
manusia, bintang dan malaikat. Itulah identitas khususnya. Uluhiyah,
adalah sebuah martabat yang tergambar di benak penyembah berhala;
seolah-olah itulah martabat sesembahannya. Namun pada hakikatnya yang
terlihat oleh penyembah berhala itu adalah Allahk yang menjelma pada
benda-benda khusus yang disembahnya itu”.[6]
Jadi, menurut falsafah Ibnu Arabi, penyembahan anak sapi yang dilakukan
Bani Israil tidak lain adalah penyembahan Allah. Ia berkata: “Nabi Musa
Alaihissallam lebih paham tentang hal ini daripada Harun Alaihissallam.
Beliau menyadari apa sebenarnya yang disembah oleh para penyembah anak
sapi itu. Beliau mengetahui secara pasti, Allah Azza wa Jalla telah
menetapkan bahwa tidak ada sesuatupun yang disembah kecuali Allah. Dan
ketetapan Allah Azza wa Jalla tersebut pasti berlaku. Oleh karena itulah
Nabi Musa Alaihissallam menegur Nabi Harun Alaihissallam yang
menyanggah mereka dan tidak bersikap toleran. Sebab seorang ‘arif (yang
telah mencapai derajat ma’rifat), adalah yang dapat melihat Allah Azza
wa Jalla pada segala sesuatu. Bahkan ia melihat Allah sebagai hakikat
segala sesuatu”.[7]
Ibnu Arabi juga meyakini bahwa semua orang pasti masuk surga, tanpa
pandang bulu apakah ia seorang muslim ataukah kafir. Ia berkata: “Telah
nyata bagimu bahwa Allah Azza wa Jalla berada di arah mana saja. Yang
berkembang di tengah-tengah manusia hanyalah sebatas keyakinan-keyakinan
belaka. Semua pihak berada di atas kebenaran. Dan setiap yang benar
berhak mendapat pahala. Dan setiap yang mendapat pahala pasti bahagia.
Dan setiap orang yang berbahagia berarti telah mendapat keridhaan.
Meskipun celaka selama beberapa waktu di Akhirat”.[8]
Ibnu Arabi juga berkata: “Adapun penghuni neraka, maka tempat kembali
mereka adalah kenikmatan. Namun mereka tetap berada di neraka, sebab
neraka akan berubah menjadi dingin dan penuh keselamatan setelah habis
masa penyiksaan. Itulah kenikmatan penghuni neraka. Kenikmatan mereka
itu seperti kenikmatan Nabi Ibrahim Alaihissallam ketika dilemparkan ke
dalam api. Beliau merasa takut dan tersiksa melihat api tersebut, karena
mengetahui apa yang diakibatkan oleh bakaran api itu. Beliau juga
mengetahui bahwa api itu dapat membakar hewan yang ada di sekitarnya dan
benda apa saja yang dikehendaki Allah Azza wa Jalla. Setelah penghuni
neraka merasakan siksaan, mereka akan mendapatkan kesejukan dan
kedamaian meskipun ia menyaksikan neraka. Neraka itu hanyalah neraka
dalam pandangan manusia. Dan pandangan manusia bisa jadi berbeda dengan
kenyataan yang sebenarnya. Itulah tajalli ilahi”.[9]
Itulah pendahulu mereka! Betapa mirip dahulu dengan sekarang. Sekarang,
mereka juga menyuarakan seperti itu namun dengan nada yang sedikit
berbeda tetapi dengan tujuan yang sama, yaitu menisbikan agama! Semua
bertolak dari satu pijakan, yaitu kebebasan berpikir dan mendewakan akal
di atas syariat.
Jadi, liberalisme sebagai sebuah paham sesungguhnya sudah lama ada,
seiring dengan proses penerjemahan buku-buku filsafat Yunani, Persia dan
India ke dalam bahasa Arab atas perintah al-Makmun. Sejak itu, seruan
kepada wihdatul-adyân (penyatuan agama) dan penisbian nilai-nilai agama
sudah terdengar. Penganut paham pluralis ini mengambil patokan tahun
1798 sebagai tonggak berdirinya paham Liberal.
Pada tahun 1798 Napoleon Bonaparte menancapkan kukunya di Mesir. Tahun
itu sangat bersejarah sehingga Bernard Lewis menyebutnya sebagai “a
watershed in history” dan “the first shock to Islamic complacency, the
first impulse to westernization and reform” (Lewis 1964:34). Para
sejarawan menyebutkan, kedatangan Napoleon di Mesir merupakan tonggak
penting bagi Muslim Liberal dan juga bagi bangsa Eropa. Bagi kaum Muslim
Liberal, kedatangan itu membuka mata mereka, betapa tentara Eropa yang
modern mampu menaklukkan dan menguasai jantung Islam. Bagi orang Eropa,
kedatangan itu menyadarkan betapa mudah menaklukkan sebuah peradaban
yang di masa silam begitu berjaya dan sulit ditaklukkan. Begitu
pentingnya tahun 1798 ini hingga Albert Hourani, sejarawan Inggris
keturunan Lebanon, menjadikannya sebagai awal era liberal bagi bangsa
Arab dan kaum muslimin. Seperti telah ia jelaskan dalam bukunya, Arabic
Thought in the Liberal Age, kedatangan Napoleon ke Mesir bukan sekadar
invasi militer, melainkan juga titik awal westernisasi bangsa Arab dan
kaum Muslim. Hourani ini menjadikan era liberal sebagai rujukan masa
kebangkitan Islam di dunia modern.
Kata liberal di sini, ialah sebuah kondisi dan suasana dimana kaum
muslim bebas mengartikulasikan kesadaran budaya dan peradaban mereka.
Dalam konteks Eropa, liberal mengacu kepada situasi kebangkitan dan
pencerahan. Itulah sebabnya ketika karya Hourani ini diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab, kata yang digunakan untuk menerjemahkan “liberal age”
adalah ‘ashr al-nahdhoh, yang berarti “era kebangkitan”. Judul lengkap
buku Hourani ini ialah al-Fikr al-Arabi fi asr al-nahdhoh.
Menurut Hourani, era liberal di dunia Arab dimulai antara tahun 1798
sampai tahun 1939. Selama rentang itu, dasar pemikiran seperti kemajuan,
modernitas, kebebasan, dan persamaan dibincangkan secara luas.
Para pembaharu generasi awal seperti at-Tahtawi, at-Tunisi, dan
al-Kawâkibi memandang kondisi kaum muslimin saat itu terbelakang, tidak
semaju bangsa Eropa. Perhatian utama mereka adalah bagaimana mengubah
keadaan ke arah lebih baik. Mereka selalu membenturkan kondisi
keterbelakangan kaum muslimin dengan kemajuan Eropa. Persis seperti yang
dipertanyakan al-Kawaakibi dalam bukunya berjudul, Limâdza Ta-akhkhara
al-Muslimun wa Limâdza Taqaddama Ghairuhum (Mengapa kaum muslim mundur
dan mengapa bangsa lain maju?).
Seluruh pemikiran dan gagasan yang dikemukakan para pembaharu Islam abad
ke-19 berputar pada upaya menjawab pertanyaan di atas. Adalah ironis,
peradaban yang pada masa silam memiliki sejarah gemilang dan kitab
sucinya mewartakan “umat terbaik di dunia” (khairu ummatin ukhrijat
linnas), namun ia berada pada titik nadir peradaban. Bukan hanya berada
dalam keterbelakangan, tetapi juga berada dalam penjajahan bangsa lain.
Mesti ada satu sebab utama, mengapa kaum Muslim terbelakang dan mengapa
bangsa Eropa maju?
Rifa’a at-Tahtawi (1801-1873), adalah salah satu tokoh pembaharu
generasi awal yang mencoba menjawab pertanyaan itu. Menurut at-Tahtawi,
kunci pertanyaan itu adalah “kebebasan” (hurriyyah). Bangsa Eropa maju
karena memiliki kebebasan. Temuan sains dan teknologi di Eropa sejak
abad ke-16 didorong oleh suasana kebebasan dalam masyarakat itu.
At-Tahtawi menganggap, kebebasan bukan hanya kunci bagi kebahagiaan,
tetapi juga bagi keamanan dan kesejahteraan. Menurut at-Tahtawi, sebab
utama keterbelakangan kaum muslimin, ialah ketiadaan kebebasan itu. Ini
sudah terjadi sejak kerajaan Islam di Baghdad (abad ke-12) dan Cordova
(abad ke-15) runtuh. Sebaliknya, kebebasan berpikir, yang dalam istilah
agama dikenal dengan ijtihad justru dimusuhi dan diharamkan. Selama
rentang abad ke-15-ke-19, wacana pemikiran Islam diwarnai dengan
semangat menutup pintu ijtihad.
At-Tahtawi tak sendirian meyakini “kebebasan” sebagai kunci kemajuan
suatu bangsa. Pada tahun 1878 Sa’dullah, seorang intelektual dan
diplomat Turki, berkunjung ke Pameran Besar di Paris. Dalam sepucuk
surat kepada teman-temannya, dia bercerita: “Di depan pintu utama, aku
melihat patung kebebasan. Dia duduk dan memegang sesuatu di tangannya.
Gayanya seolah sedang menyampaikan pesan: ‘Hai para pengunjung! Jika
anda menyaksikan berbagai pencapaian kemajuan manusia dalam pameran ini,
jangan lupa bahwa seluruh pencapaian ini adalah hasil dari kebebasan.
Lewat kebebasan manusia mencapai kebahagiaan. Tanpa kebebasan, tak akan
ada keamanan; tanpa keamanan, tak akan ada pencapaian; tanpa pencapaian,
tak akan ada kesejahteraan; tanpa kesejahteraan, tak akan ada
kebahagiaan’.” [Lewis 1964:47].
Begitulah awal mula munculnya paham kebebasan yang kebablasan ini. Para
pembaharu atau liberalis muslim generasi awal melihat kebebasan
benar-benar sebagai kunci kebahagiaan. Bukan hanya kebahagiaan individu,
tetapi juga kebahagiaan suatu bangsa.
Yang dimaksud dengan kebebasan adalah kebebasan politik. Yaitu suatu
keadaan saat individu bisa memikirkan dan berbuat sesuatu secara bebas
tanpa tekanan atau larangan penguasa. Yang dimaksud dengan “penguasa”
sebetulnya adalah kepala negara –raja maupun sultan- tetapi dalam
pemahaman at-Tahtawi dan kelompoknya, “penguasa” adalah otoritas dalam
sebuah kelompok masyarakat yang mampu mempengaruhi. Dalam hal ini, tokoh
atau lembaga agama yang memiliki pengaruh politik di masyarakat bisa
dianggap sebagai “penguasa”.
Generasi kedua gerakan liberalisme Islam juga menganggap kebebasan
sebagai kunci utama memperbaiki keadaan kaum muslimin. Para tokoh
generasi ini, seperti Muhammad Abduh yang kemudian dilanjutkan oleh
murid setianya, Qassim Amin, Ali Abdur-Raziq, dan seorang murid asal
Indonesia, Muhammad Tahir Djalaluddin, menganggap kebebasan sebagai
modal penting merealisasikan solusi lain. Qassim Amin misalnya,
menganggap kebebasan sebagai prasyarat utama bagi terwujudnya gagasan
emansipasi perempuan. Amin adalah tokoh Islam pertama yang lantang
menyuarakan emansipasi perempuan di dunia Islam.
Ali Abdur-Raziq (1888-1966) adalah sahabat dan pendukung Qassim Amin.
Sepenuhnya ia setuju dengan gagasan emansipasi perempuan dan perlunya
kaum muslimin memberi ruang “kebebasan” bagi perempuan. Tetapi, system
kekuasaan yang menaungi kaum muslimin tak bersahabat pada gagasan
progresifnya ini. Selama itu pula, gagasan ini tak bisa terwujud. Yang
dia maksud dengan “sistem kekuasaan tak bersahabat”, adalah sistem
pemerintahan khilafah.
Ketika Abdur-Raziq berbicara tentang “khilafah”, rujukannya ialah system
pemerintahan Kerajaan ‘Utsmaniyah. Seperti umumnya para reformis Muslim
saat itu, Abdur-Raziq juga memandang kekhalifahan ‘Utsmaniyah sebagai
contoh buruk pemerintahan Islam. Pola hidup hedonistik para khalifah
dengan harem dan kemewahan yang mengelilinginya kerap dikontraskan
dengan kemiskinan dan kebodohan kaum muslimin ketika itu. Menurutnya,
sistem khilafah bukan sistem yang ideal. Itu sebabnya, Abdur-Raziq
menolak sistem khilafah. Baginya, khilafah bukan sistem politik yang
diwajibkan Islam. Khilafah hanya satu dari banyak pilihan ciptaan
manusia. Di era modern, ketika ada system politik yang lebih baik, sudah
seharusnya kaum muslimin menyerapnya. Menurutnya, mempertahankan sistem
khilafah tak hanya menghabiskan energi kaum muslimin, tetapi juga
melestarikan kebodohan dan keterbelakangan.
Muhammad Tahir Djalaluddin adalah murid Muhammad ‘Abduh yang menyebarkan
gagasan pembaharuan Islam di Indonesia. Selesai berguru kepada Abduh,
ia meninggalkan Mesir. Karena situasi politik tak menguntungkan, ia tak
kembali ke Indonesia, tetapi transit di Singapura dan mulai menyebarkan
gagasan pembaruannya dari sana. Di Singapura, ia mendirikan majalah
al-Imam. Nama ini terinspirasi dari panggilan akrab Muhammad ‘Abduh. Di
Mesir, mereka mendirikan kelompok diskusi yang disebut madrasah al-Imam
dan mendirikan partai politik yang disebut Hizb al-Imam.
Lewat Djalaluddin, gagasan pembaruan dan liberalisme Islam Timur Tengah
disebarkan di Indonesia dan Malaysia. Tulisan al-Afghani dan ‘Abduh
dalam al-’Urwatul-Wutsqa dan al-Manar diterjemahkan dan diterbitkan
dalam majalah al-Imam. Tema tentang kemajuan, kebebasan, dan emansipasi
wanita mewarnai majalah ini. Majalah al-Imam menjadi media Islam pertama
yang menyebarkan gagasan liberalisme Islam di Indonesia. Pada 1911
majalah Islam lain, al-Munir, terbit di Sumatera. Pendirinya, ‘Abdullah
Ahmad, adalah murid Ahmad Khatib, reformis Melayu yang bermukim di
Mekkah. Majalah ini, bersama al-Imam, menjadi corong kaum muda
menyebarkan gagasan Islam Liberal.
Gerakan Islam Liberal menemukan momentumnya kembali di Indonesia pada
awal 1970-an, seiring dengan perubahan politik dari era Soekarno ke
Soeharto. Gerakan ini dipicu oleh munculnya generasi baru yang lebih
banyak berkesempatan belajar Islam di Barat (Eropa dan Amerika). Tokoh
paling sentral dalam gerakan baru ini adalah Nurcholish Madjid. Ia
banyak melontarkan gagasan baru. Di antaranya tentang sekularisasi,
pluralisasi dan paham kenisbian (relativisme). Cak Nur inilah yang
mengartikan “Lâ ilâha illallah” dengan “tiada tuhan selain Tuhan”. Dia
kemudian mendirikan Universitas Paramadina yang menjadi “tempat
berkumpulnya” orang-orang yang sepaham dengannya.
Cak Nur ini tak sendirian. Menjelang tahun 1980-an, gerbong Islam
Liberal diperkuat dengan semakin banyaknya liberalis-liberalis baru.
Mereka menganggap diri sebagai penerus cita-cita kebangkitan dalam
semangat Muhammad ‘Abduh, Qassim Amin, Ali ‘Abdur-Raziq, dan Muhammad
Iqbal. Tulisan dan refleksi mereka tersebar di media massa. Gagasan
pembaruan mereka dikaji dan disebarkan generasi lebih muda di berbagai
perguruan tinggi di Indonesia.
Pada 2001 Jaringan Islam Liberal (JIL) didirikan di Jakarta. Organisasi
(lebih tepatnya gerakan) ini melengkapi munculnya organisasi Islam
serupa yang sudah ada lebih dulu: Rahima, Lakpesdam, Puan Amal Hayati,
Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), dan Lembaga
Kajian Agama dan Jender (LKAJ). Sejak awal, JIL diniatkan sebagai payung
atau penghubung organisasi Islam Liberal yang ada di Indonesia. Karena
itu, gerakan ini tak memakai nama organisasi atau lembaga, tapi
jaringan. Dengan nama jaringan, JIL berusaha menjadi komunitas tempat
para aktivis muslim berbagai organisasi Islam Liberal berinteraksi dan
bertukar pandangan secara bebas.[10]
Jadi, inti agenda Islam liberal ini ialah menanamkan bahwa urusan negara
adalah murni urusan dunia, dan sistem manapun yang dipakai tidak
menjadi masalah, mengangkat isu toleransi antar agama, menyuarakan
emansipasi wanita dan kebebasan berpendapat secara mutlak. [11]
Itulah makar orang-orang kafir dan zindiq untuk menyesatkan kaum
muslimin. Lalu apa kewajiban kaum muslimin? Bagaimana cara menghadapi
serangan yang ditujukan secara membabi buta terhadap Islam dan kaum
muslimin?
Tentu saja, tanggung jawab besar ada di pundak kaum muslimin, baik
secara individu maupun kelompok, rakyat maupun pemerintah dalam
menghadapi arus pemikiran sesat yang memangsa setiap individu umat ini,
yang besar maupun kecil, lelaki maupun wanita! Hasbunallah wa ni’mal
wakil! Boleh kita katakan, kewajiban ini berlaku secara menyeluruh
meskipun harus kita akui bahwa ada solusi dan pemecahan syar’i secara
khusus bagi setiap kondisi dan peristiwa, berikut perinciannya:
1. Menancapkan kembali dasar-dasar aqidah Islamiyah di hati kaum
muslimin. Melalui kurikulum-kurikulum pendidikan dan tarbiyah dalam
skala umum, dan lebih memusatkan penanaman dasar-dasar aqidah ini bagi
generasi muda, khususnya anak-anak, di lembaga-lembaga pendidikan formal
maupun non formal, negeri maupun swasta.
2. Membangkitkan fanatisme beragama yang positif di segala lapisan umat
dan menumbuhkan kesadaran membela kesucian dan kehormatan Islam.
3. Menutup seluruh saluran masuknya produkproduk dan arus pemikiran barat.
4. Memberikan penyuluhan kepada kaum muslimin tentang bahaya-bahaya
paham paham sesat ini agar mereka tidak terjerat jaring-jaringnya.
5. Memperhatikan seluruh bidang yang menjadi kebutuhan primer kaum
muslimin, di antaranya pelayanan kesehatan dan pendidikan secara khusus.
6. Setiap muslim dimana saja berada, hendaklah berpegang teguh kepada
Al-Qur‘an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salaf, tidak dengan pemahaman
lainnya yang menyesatkan. Hendaklah memegang teguh nilai-nilai Islam
dalam diri mereka dan orang orang yang berada di bawah penguasaannya
sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing. Dan setiap keluarga muslim,
hendaklah memiliki benteng yang kokoh dalam menghadapi setiap usaha
yang ingin merusak aqidah dan akhlak mereka.
7. Setiap pribadi maupun keluarga muslim, hendaklah tidak melakukan
perjalanan ke negeri-negeri kafir kecuali untuk kepentingan yang sangat
darurat, seperti untuk berobat atau menuntut ilmu yang sangat vital yang
tidak dapat dipelajari di negeri-negeri Islam. Sebelumnya mereka
dibekali dengan kesiapan untuk menghadapi berbagai syubhat dan fitnah
yang dibidikkan kepada kaum muslimin.
8. Menggugah kesadaran sosial di antara kaum muslimin dan semangat
tolong menolong di antara mereka. Orang-orang kaya hendaklah
memperhatikan kaum fuqara’, mengulurkan kedermawanan dalam hal-hal
kebaikan dan program-program yang bermanfaat untuk mencukupi kebutuhan
kaum muslimin. Sehingga tangan-tangan kotor Nasrani tidak memanfaatkan
kemiskinan dan kefakiran untuk memurtadkan mereka.
MARAJI‘:
1. Al-Ibthâl, Syaikh Bakr Abu Zaid.
2. Bahaya Islam Liberal, Hartono Ahmad Jaiz.
3. Dirasâtun fît Tashawwuf, Ihsan Ilahi Zhahir.
4. Fiqih Lintas Agama, Nurcholish Majid dkk.,Yayasan Wakaf Paramadina & The Asia Foundation,
Jakarta, 2004.
5. Islam Liberal Paradigma Baru Wacana dan Aksi Islam Indonesia, Zuly Qodir, Pustaka Pelajar, 2003.
6. Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal?, Adian Husaini, www.insistnet.com., 2004.
7. Shahwatur-Rajulil Maridh, Jamaluddin al-Afghani fil-Mizan, diambil
dari al-Ibthâl li Nazhariyatil-Khalath baina Dinil-Islam wa Ghairihi
minal-Adyan.
8. Harian Kompas.
9. Majalah Gatra, edisi 3 April 2004.
Note :
[1]. Al-Insan al-Kamil, ‘Abdul-Karim al-Jîli, I/99.
[2]. Al-Yawaqit wal-Jawahir, asy-Sya’rani, II/58.
[3]. Maksudnya, agama apapun yang kuanut.
[4]. Dzakhairul-Akhlaq Syarh Turjumani Asywaq, Ibnu Arabi, hlm. 49 dan sesudahnya.
[5]. Ibid., hlm. 52-53.
[6]. Fushushul Hikam, Ibnu Arabi, hlm. 195.
[7]. Ibid., hlm. 192.
[8]. Ibid., hlm. 114.
[9]. Ibid., hlm 169-170.
[10]. Lihat tulisan Oleh Luthfi Asysyaukâni pendiri JIL, Peneliti Freedom Institute, dan Dosen Universitas Paramadina, Jakarta.
[11]. Lihat tulisan berjudul “Empat Agenda Islam Yang Membebaskan” tulisan Luthfi asy-Syaukâni.
Sumber : Ustadz Abu Ihsan Al-Maidani
Shoffiyah Az Zahra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar