PENYELEWENGAN TERHADAP AYAT : (INGATLAH) SUATU HARI (YANG PADA HARI ITU) KAMI PANGGIL TIAP UMAT DENGAN PEMIMPINNYA..
Penyelewengan Terhadap Ayat
يَوْمَ نَدْعُو كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ
(Ingatlah) suatu hari (yang pada hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya..[al-Isra : 71]
PENYELEWENGAN MAKNA AYAT
Sebagian kelompok, dengan sengaja melakukan penafsiran yang dipaksakan
atas ayat tersebut, berkaitan dengan penyebutan kata "imam". Mereka
melakukan penyelewengan terhadap makna ayat. Ini dilakukan untuk
mendukung kepentingan golongan atau kelompoknya supaya bisa tetap eksis,
dan para tokohnya teropini sebagai sosok yang hebat, lantaran akan
dipanggil oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala saat hari Kiamat kelak. Para
pengikutnya pun dibuat tercengang dengan tafsiran tersebut.
Di antara golongan yang "memanfaatkan" ayat ini ialah Islam Jama'ah,
yang kini bernama Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Kelompok yang
sudah berulang kali berganti nama ini memelintir kandungan ayat di atas.
Mereka memberi penafsiran, yang isinya diarahkan kepada pemimpin LDII,
yaitu Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol). Berdasarkan penuturannya dalam
"tafsir manqul" miliknya, ia berkata: "Pada hari kami panggil setiap
manusia dengan imam mereka, sehingga yang tidak punya amir, maka akan
masuk neraka". Penyebutan kata "imam" yang dimaksud oleh LDII ialah amir
mereka, yaitu Nur Hasan. Keterangan ini dituturkan oleh mantan tokoh
besar LDII yang telah sadar, yaitu Ustadz Hâsyim Rifâ'i yang pernah
berguru selama 17 tahun kepada Nur Hasan 'Ubaidah Lubis, pendiri
LDII.[1]
Kalangan lainnya, yaitu Sufi, juga berkepentingan memegangi ayat ini
untuk mempropagandakan thariqat-thariqat yang sebenarnya tidak pernah
dicetuskan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kalangan Sufi
menggiring jamaah-jamaahnya untuk taat kepada para syuyûkh (guru)
penggagasnya secara mutlak. Padahal dari ayat tersebut tidak ada muatan
sedikit pun yang bisa mendukung klaim mereka. Hal ini akan menjadi jelas
dari dua sisi.[2]
Pertama : Para ulama besar dari kalangan ahli tafsir tidak ada satu pun
dari mereka yang memaknai kata "imam" dengan makna "syaikh-syaikh
tarikat". Orang-orang yang ahli dalam bidang tafsir pada masa lalu,
seperti Ibnu 'Abbâs, al-Hasan al-Bashri, Mujâhid, Qatâdah, adh-Dhahhâk,
mereka memberi penafsiran kata "imam" dengan makna kitab yang berisi
amalan-amalan. Demikian pula Imam al-Qurthubi rahimahullah dan Imam Ibnu
Katsir rahimahullah merajihkan pengertian ini dengan merujuk firman
Allah pada surat Yâsîn/36 ayat 12.
Menurut al-Qâsimi rahimahullah, yang dirajihkan oleh Ibnu Katsir
rahimahullah itulah pendapat yang benar. Karena Al-Qur`ân menjelaskan
sebagian ayatnya dengan sebagian lainnya. Dan yang pertama kali perlu
diperhatikan dalam memahami makna-makna ayat-ayat Al-Qur`ân, yaitu
dengan mengacu pada ayat-ayat yang semakna.
Kedua : Seandainya yang dimaksud dengan "imam" adalah syaikh thariqah
–sebagaimana klaim kalangan Sufi–, maka pernyataan ini tidak bisa
dijadikan dalil untuk menunjukkan tingginya kedudukan syaikh atau
keharusan untuk memuliakannya. Sebab, panggilan dengan namanya tidak
mesti menunjukkan keutamaan diri seseorang.
Imam ath-Thabari rahimahullah sendiri merajihkan pengertian "imam"
tersebut, ialah orang-orang yang diikuti dan menjadi panutan di dunia.
Seperti sudah diketahui, sejumlah orang mudah mengekor setiap penyeru
dan menyambut setiap ajakan. Tidak aneh jika mereka menyambut para tokoh
kesesatan pula. Karena itu, diriwayatkan dari sejumlah ulama tafsir
dari Ibnu 'Abbas, berkata tentang tafsir kata "imam mereka" dalam ayat,
yaitu "imam dalam hidayah dan imam dalam kesesatan".[3]
Keterangan ini juga telah disinggung oleh Ibnu Katsir. Kata beliau:
"Mungkin saja pengertian dari "imam mereka", maksudnya ialah setiap kaum
(dipanggil) dengan orang yang mereka ikuti. Orang-orang beriman akan
mengikuti para nabi, dan orang-orang kafir akan mengikuti para tokoh
mereka. Allah telah berfirman, yang artinya: Dan Kami jadikan mereka
pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka ….
(al-Qashash/28:41).
Mujahid berkata,"Imam, ialah orang yang diikuti. Maka nanti akan
dipanggil, datangkanlah para pengikut Nabi Ibrahim, datangkanlah para
pengikut Musa, datangkanlah para pengikut setan, datangkanlah para
pengikut berhala-berhala. Orang-orang yang berada di atas al haq, akan
mengambil kitab (amalan) mereka dengan tangan kanan. Dan para penganut
kebatilan akan mengambil kitab (amalan) mereka dengan tangan kiri".
Apabila telah jelas bahwa "imam" itu bisa bermakna panutan dalam hidayah
atau panutan dalam kesesatan; bisa juga seorang nabi, setan yang
terkutuk, maupun berhala dan para pemuja (penganut)nya akan dihimpun di
bawah panji sang panutan, baik ia panutan dalam kebaikan maupun dalam
kejelekan, jika telah jelas hakikat ini; maka status seorang syaikh
thariqat sebagai imam bagi para jamaahnya, tidak otomatis
mengindikasikan keutamaannya. Bahkan tetap saja, penilaian terhadap diri
syaikh thariqat ini tergantung kepada amalan-amalan, ucapan-ucapan dan
ajaran-ajarannya yang ditimbang dengan ajaran Rasulullah, sehingga ia
pun menjadi panutan dalam hidayah jika bertumpu pada ajaran-ajaran
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebaliknya, bisa jadi ia
menjadi panutan dalam kesesatan seiring dengan penyelewengannya dari
Al-Qur`ân dan as-Sunnah. Seandainya yang menjadi "imam" mereka al-Kitab
dan as Sunnah, niscaya mereka tidak membutuhkan penerapan berbagai
ibadah yang tidak pernah diajarkan dalam al-Kitab dan as-Sunnah
DI ANTARA KLAIM PALSU KALANGAN SUFI[4]
Seorang penganut thariqat Tijâniyyah yang bernama al-Fûti, ia mengatakan
kepada jamaahnya, bahwa thariqat mereka merupakan thariqat terbaik dan
akan menjadi maraji` (rujukan) bagi semua wali Allah.
Al-Fûti berkata: "Pada hari Allah memanggil manusia dengan nama syaikh
mereka dan memanggil mereka untuk mendekati syaikh mereka di atas
kedudukannya … kalau para jamaah dipanggil dengan nama-nama syaikh
(thariqah) mereka dan Allah memanggil para ahli thariqat untuk menuju
tempat syaikh mereka dan menempatkannya pada derajat syaikh, maka
menjadi jelas dengan sedikit pencermatan saja, bahwa para penganut
penutup para wali (Ahmad at-Tijani) yang bergantung kepadanya, selalu
konsisten dengan wirid-wirid dan dzikir-dzikirnya, sehingga tidak ada
orang lain yang mampu menyamai derajat mereka, kendatipun mereka itu
ahli ma'rifah, shiddiqîn dan para aghwâts, selain para sahabat
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dari sini, kalangan awam
tarikat Tijaniyyah lebih afdhol daripada yang lainnya". Lihat ar-Rimâh,
2/29.
Al-Fûti kian menampakkan rasa percaya diri terhadap kehebatan
thariqatnya, dengan perkataannya: "Sungguh, seluruh wali akan memasuki
kelompok kita, akan mengambil wirid-wirid kita, dan konsisten dengan
thariqat kita, (wali-wali Allah) dari zaman pertama kali muncul
kehidupan sampai hari Kiamat. Bahkan bila Imam Mahdi telah bangkit di
akhir zaman, ia akan mengambil (ajaran) dari kita dan masuk kelompok
kita". Lihat ar-Rimâh, 2/29.
Sanggahan : Perhatikanlah, sejauh mana kebenaran klaim di atas.
Bagaimana mungkin seluruh wali Allah (yang sebenarnya) sejak pertama
muncul kehidupan akan bergabung dengan thariqat Tijâniyyah?
Ini sebuah klaim yang membutuhkan burhân (petunjuk) dan dalil yang kuat.
Bagaimana mungkin orang-orang yang telah meninggal sebelum Ahmad
at-Tijâni dilahirkan itu bergabung dengan thariqatnya? Sungguh suatu
anggapan aneh yang sangat nyata.
Di bagian lain al-Fûti mengomentari orang-orang yang berada di luar
thariqatnya. Dia berkata: "Adapun orang-orang yang masih berada dalam
kegelapan, kebodohan, kesesatan dan kezhaliman (maksudnya, orang-orang
yang belum mengikuti Tijâniyyah), tidak ada penghalang bagi mereka untuk
bersandar dengan syaikh kami Ahmad at-Tijâni, padahal telah begitu
nampak kemuliaan dan keutamaan thariqatnya, serta keistimewaan para
pengikutnya; seperti terangnya sinar matahari siang hari di musim panas,
kecuali mereka akan tercampakkan dari rahmat Allah Ta'ala, terhambat
dari kebaikan, mendapat laknat, kecelakaan dan kerugian". Lihat
ar-Rimâh, 2/44.
Seorang dai Tijâni bernama Ibrahîm Nayyâs, ia berkata: "Berdasarkan
sebagian pengertian yang dikandung oleh ayat-ayat ini, engkau bisa
mengetahui bahwa orang yang memperoleh taufik dari Allah untuk bergabung
dengan thariqat kami, niscaya kebahagiaannya di dunia dan akhirat
sempurna, dan ia termasuk orang yang dicintai dan diterima di sisi
Allah, walau bagaimanapun kondisinya". Lihat as-Sirrul-Akbar
wan-Nûrul-Abhar, hlm. 416).
Begitu pula salah seorang dari kalangan thariqat Rifâ'iyyah. Setelah
menunjukkan kemampuan syaikhnya yang luar biasa, seperti menempuh jarak
sejauh perjalanan 100 tahun hanya dengan satu langkah saja, mengetahui
bahasa-bahasa burung, dan lain-lain, ia berkata: "Pegangilah ujung-ujung
pakaiannya. Jadilah engkau orang yang duduk di majlisnya. Jangan
sekali-kali menjauh dari kehidupannya dan mintalah syafaat dengan
namanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sungguh Allah Subhanahu wa
Ta'ala tidak akan menolak permohonan syafaatmu melalui namanya. Karena
ia termasuk ahli bait yang mulia. Sungguh orang-orang besar, tokoh-tokoh
…, mereka semua telah mengetahui bahwa tarikatnya merupakan jalan
keselamatan dan keamanan. Kecintaan terhadapnya termasuk faktor paling
efektif untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka
mengharuskan diri dan keluarga mereka untuk berpegang dengan janjinya,
dan komitmen dengan thariqatnya" Lihat ar-Rimâh, 2/25, 1/349-350.
Oleh karena itu, setiap kaum Muslimin harus waspada. Jalan selamat dalam
beragama ialah dengan mengikuti pemahaman generasi Salaf, yaitu jalan
yang penuh hikmah dan berdasarkan ilmu.
[1]. Lihat Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, hlm. 86-87.
[2]. Dinukil dari Taqdîsul-Asykhâs, 1/348-352.
[3]. Fat-hul-Qadîr, 3/248. Nukilan dari Taqdîshul-Ashkhâs, 1/348.
[4]. Dikutip dari Taqdisul-Asykhâs, I/349-350.
Sumber: Majalah As Sunnah
Shoffiyah Az Zahra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar