Kita patut meragukan apakah sumber mereka masih
orisinil atau sudah dipermak sana sini. Dengan mengetahui validitas
sumber sebuah ajaran, kita bisa menilai validitas ajaran tersebut.
Ada beberapa kitab yang dianggap oleh syiah sejajar
dengan kitab empat di atas, artinya derajat validitas riwayatnya tidak
berbeda, sehingga kitab itu berisi dalil-dalil yang valid untuk
penyimpulan hukum syareat menurut syiah imamiyah. Hal ini seperti
disebutkan oleh Al Majlisi pada pengantar Biharul Anwar –bisa dilihat
pada jilid 1 hal 26-: kitab-kitab karya Ash Shaduq –selain lima kitab-
sama terkenalnya dengan kitab empat. Majlisi meneruskan begitu; juga
kitab Basha’ir Darajat termasuk literatur pokok yang juga dijadikan
rujukan oleh Kulaini dan lainnya. Bisa dilihat di halaman yang sama,
Majlisi juga menyebutkan kitab-kitab lain yang sederajat dengan kitab
empat. Pendapat yang sama juga dinyatakan oleh Al Hurr Al Amili dalam
kitab Wasa’il Syi’ah jilid 20. juga dalam pengantar setiap kitab
disebutkan bahwa kitab itu sama validnya dengan kitab yang empat.
Nampaknya
yang disebut adalah dua kitab itu, yaitu kitab-kitab As Shaduq dan
Bashair Darajat karena kitab-kitab itu adalah kitab-kitab besar kumpulan
hadits, atau bisa jadi juga untuk menyaingi mazhab ahlussunnah dan
untuk sekedar promosi. Nampak hal itu jelas ketika kita melihat kitab Al
Wafi dimasukkan ke delapan kitab rujukan utama, dan kitab itu dianggap
sebagai kitab tersendiri, padahal isi kitab Al Wafi hanyalah kumpulan
dari empat kitab utama (Al Kafi, Tahdzib, Al Istibshar dan Man La
Yahdhuruhul Faqih), mengapa dianggap sebagai kitab baru, padahal isinya
hanyalah pengulangan dari empat kitab yang terdahulu. Ini semua dalam
rangka membuat image bahwa syiah memiliki banyak rujukan, padahal
isinya itu-itu juga, pengulangan dari empat kitab rujukan.
Begitu juga kitab AL Istibshar dianggap sebagai kitab tersendiri, padahal kitab Al Istibshar hanyalah ringkasan dari kitab Tahdzibul Ahkam, seperti dijelaskan oleh Thusi sendiri pada pengantar kitab Al Istibshar – jilid 1 hal 2-3- begitu juga siapa saja yang menelaah kedua kitab itu akan jelas mendapati bahwa kitab Al Istibshar hanyalah ringkasan dari kitab Tahdzibul Ahkam. Semua ini jelas dalam rangka promosi mazhab.
Begitu
juga anda akan menemukan bahwa kitab Biharul Anwar karya asli
penulisnya hanya sebanyak 25 jilid, lalu karena jilid ke 25 nampak
terlalu besar maka dipisah menjadi 2 jilid, akhirnya jumlah keseluruhan
kitab Biharul Anwar hanyalah 26 jilid. Bisa dilihat hal ini dalam kitab
Dzari’ah jilid 3 hal 27. Tetapi kitab Biharul Anwar hari ini berjumlah
110 jilid, dimulai dari jilid 0, supaya nampak intelek. Pembaca yang
“intelek” akan bertanya-tanya tentang asal tambahan kitab Biharul Anwar
dari jilid 27 sampe jilid 110, hasil karya Majlisi sendiri –yang menulis
26 jilid- atau ada tangan-tangan lain yang menambah supaya nampak
tebal?
Syiah memang
senang sekali dengan yang demikian, biasanya ada sekelompok orang yang
digaji khusus oleh hauzah ilmiyah untuk menulis sebuah buku, lalu buku
itu dibuat seolah ditulis oleh satu orang, seakan orang itu menulis buku
yang besar yang sangat sulit utnuk ditulis oleh sendirian, seperti bisa
kita perhatikan kitab Al Ghadir – yang konon ditulis oleh seorang
bernama Abdul Husein Al Amini-, selain itu syiah juga gemar mengaku-aku,
bahwa syiah adalah pionir dalam semua cabang ilmu, padahal pengetahuan
mereka hanyalah mengambil dari kitab-kitab Ahlussunnah, mereka memiliki
pendapat-pendapat aneh yang membongkar kebohongan mereka. Dalam kitab
A’yanus Syi’ah banyak sekali ulama ahlussunnah yang dianggap sebagai
syiah imamiyah hanya karena mereka memiliki sedikit kecondongan kepada
Ali, padahal hal demikian itu tidak sampai membuat mereka masuk menjadi
syiah rafidhah, karena kecintaan ahlussunnah pada ahlulbait adalah
kecintaan sejati, lebih dari kecintaan syiah rafidhah pada ahlulbait.
Isi
kitab-kitab utama syiah hanyalah maslah fiqih, kecuali dua jilid
pertama dari kitab Al Kafi memuat tentang akidah syiah. Jika kita
perhatikan, isi kitab fiqih mereka mirip dengan fiqih ahlussunnah,
membuat kita makin percaya dengan keterangan para ulama yang menyebutkan
bahwa ulama syiah banyak yang mencontek kitab ahlusunnah, di antaranya
adalah Ibnu Taimiyah dalam Minhajussunnah jilid 3 hal 264. Syiah
memiliki pendapat-pendapat aneh dalam fiqih, yang berbeda dengan ulama
ahlusunah, pendapat-pendapat itu kadang begitu aneh dan tak terbayangkan
bahwa pendapat-pendapat itu perlu ditulis dalam kitab tersendiri. Asy
Syarif Al Murtadha mengumpulkan pendapat-pendapat syiah yang berbeda
dengan ulama ahlussunah dalam kitabnya Al Intishar.
Sebagai selingan, tidak ada salahnya bila kita menyimak sedikit pendapat-pendapat yang hanya dimiliki oleh syiah dari kitab Al Intishar:
Keluar Madhi dan Wady tidak membatalkan wudhu – hal 119
Wajib mengucapkan Hayya Ala Khairil Amal dalam adzan – hal 137
Wajib hukumnya shalat gerhana matahari maupun bulan, siapa yang ketinggalan harus mengqadha’ – hal 173
Barangsiapa berpuasa ramadhan dalam keadaan musafir maka harus membayar puasanya – hal 190 –kasihan sungguh-
Orang
sakit yang memaksakan diri berpuasa di bulan Ramadhan –padahal dia
dibolehkan untuk tidak berpuasa- maka puasanya tidak sah dan tetap harus
mengqadha’ – hal 192
Jika
menemukan bangkai ikan di tepi sungai, sedangkan dia tidak tahu apakah
ikan tersebut mati atau disembelih, maka dicelupkan di air, jika ikan
tersebut mengambang di atas dadanya maka ikan itu disembelih, jika
mengambang di atas punggungnya maka ikan itu mati dengan sendirinya
tanpa disembelih – hal 402 [dimana letak perbedaan antara punggung dan
dada ikan?]
Sembelihan ahli kitab haram dimakan – hal 403
Haram memakan makanan buatan orang kafir – hal 409
Ibnu
Aqil Al Hanbali menukil pendapat-pendapat itu dan dia pun merasa heran,
tulisan Ibnu Aqil dinukil juga oleh Ibnul Jauzi dalam kitab Al
Muntazham –jilid 8 hal 120- juga Ibnul Jauzi menuliskan dalam Al
Maudhu’at: Rafidhah telah membuat kitab fiqih yang mereka sebut sebagai
mazhab imamiyah, di dalamnya memuat pendapat yang menyimpang dari ijma’
kaum muslimin tanpa dalil apa pun. Lihat Al Maudhu’at jilid 1 hal 338.
Sementara
bahasan lain yang terdapat dalam Al Kafi dan Biharul Anwar adalah
tentang tauhid, al adl , imamah.. kebanyakan berisi keyakinan mereka
tentang imamah dan para imam yang dua belas, tentang penunjukan mereka
dari Allah, sifat-sifat para imam, kisah hidup mereka dan keutamaan
berziarah ke kubur mereka. Begitu juga membahas tentang musuh para imam,
terutama para sahabat Nabi SAAW, jika kita perhatikan, mayoritas
bahasan adalah tentang imamah dan para imam.
Pembaca
yang menelaah kitab hadits syiah akan mendapati jurang perbedaan antara
kitab hadits syiah dan kitab hadits ahlussunnah, begitu juga perbedaan
yang ada para riwayat ahlussunnah dan syiah imamiyah. Kitab sunnah yang
meriwayatkan hadits, hanyalah meriwayatkan hadits Nabi, dan hanya hadits
Nabi-lah yang disebut dengan hadits. Sedangkan kitab hadits syiah
mayoritas memuat riwayat dari salah satu dari dua belas imam mereka,
selain itu mereka juga berkeyakinan bahwa riwayat yang berasal dari imam
sama dengan riwayat yang berasal dari Nabi, artinya sabda imam sama
seperti sabda Nabi.
Jika kita perhatikan kitab hadits syiah, kita akan menemukan bahwa hadits yang berasal dari Nabi sangatlah sedikit, sedangkan mayoritas riwayat Al Kafi adalah dari Ja’far Ash Shadiq, sangat jarang sekali yang berasal dari ayahnya Muhammad Al Baqir, apalagi yang berasal dari Amirul Mukminin Ali, jumlahnya lebih sedikit, begitu juga yang berasal dari Rasulullah Shallallahu A;laihi Wa Sallam, jauh lebih sedikit
Begitu
juga kita perhatikan, empat kitab utama syiah disusun pada abad ke
sebelas Hijriyah, dan setelahnya, yang terakhir ditulis oleh Husein Nuri
Thabrasi, -judulnya Mustadrakul Wasa’il- yang wafat tahun 1320 H –hidup
sejaman dengan syaikh Muhammad Abduh-
Kitab
itu memuat 23000 hadits dari para imam syiah [lihat Ad Dzari’ah jilid 7
hal 21] yang belum pernah ditemukan sebelumnya. Kitab itu ditulis
ratusan tahun setelah wafatnya para imam, jika memang benar kitab itu
berisi riwayat bersanad dari para imam bagaimana orang berakal bisa
percaya pada riwayat yang belum pernah ditulis sejak 11 abad atau 13
abad lalu ? jika memang riwayat itu tertulis dalam kitab, mengapa kitab
itu baru ditemukan di abad 14 Hijriah?
Sebagian penulis kitab syiah menyatakan bahwa merka menemukan buku yang belum pernah ditemukan sebelumnya, Al Majlisi mengatakan: Alhamdulillah, di depan kami terkumpul sebanyak 200 judul buku, seluruh isinya telah kunukil dalam Biharul Anwar, [lihat I’tiqadat Al Majlisi hal. 24, lihat juga Al Fikr Asy Syi’I hal. 61]sementara Al Hurr Al Amili menyatakan bahwa dirinya memiliki delapan puluh kitab selain empat kitab rujukan mereka, isi kitab-kitab itu dituliskan dalam Wasa’ilusy Syi’ah [lihat Wasa’ilusy Syi’ah jilid 1, pengantar. Juga lihat Adz Dzari’ah jilid 4 hal 352-353].
Begitu
juga Nuri Thabrasi ikutan mengklaim bahwa dirinya menemukan kitab-kitab
yang belum pernah ditulis sebelumnya walaupun dirinya hidup di abad 14
Hijriyah, Agho BArzak Tahrani mengatakan: hal yang mendorong Husein Nuri
Thabrasi untuk menulis mustadrak Al Wasa’il adalah karena Thabrasi
menemukan kitab-kitab penting yang belum pernah ditulis dalam
kitab-kitab kumpulan hadits syiah sebelumnya [lihat Ad Dzari’ah jilid 21
hal 7]. Ulama syiah menganggap hadits-hadits baru hasil penemuan Nuri
Thabrasi yang dituliskan dalam Mustadrak Al Wasa’il sebagai
hadits-hadits yang sangat penting dan diperlukan, tidak bisa
ditinggalkan, ulama syiah yang bernama Al Khurasani –seperti dinukil
dalam Adz Dzari’ah- mengatakan: setiap mujtahid tidak boleh berijtihad
sebelum merujuk ke kitab Mustadrak Al Wasa’il dan menelaah hadits-hadits
yang termuat di dalamnya, [lihat Ad Dzari’ah jilid 2 hal 111], apakah
ini berarti sebelum adanya kitab Mustadrak Al Wasa’il ucapan ulama
mereka tidak dapat dijadikan pegangan? Silahkan anda merasa heran,
barangkali masih ada lagi hadits yang baru ditemukan.
Riwayat-riwayat
itu tidak ditemukan di literatur kuno syiah, mengapa demikian? Mengapa
Kulaini tidak meriwayatkannya padahal dia dapat menghubungi empat
“dubes” imam Mahdi?Kulaini memberi judul kitabnya dengan Al Kafi karnea
dianggapnya cukup bagi syiah, bahkan kitab Al Kafi telah ditunjukkan
kepada imam Mahdi –yang bersembunyi hingga hari ini- melalui “duta besar
”, kemudian Imam Mahdi memberikan komentar: kitab ini cukup bagi syiah
kami, begitu juga At Thusi menyatakan, bahwa dirinya mengumpulkan
hadits-hadits syiah yang berkaitan dengan fiqih dari kitab-kitab
literatur inti syiah, dalam kitabnya Tahdzibul Ahkam, tidak ada yang
terlewatkan kecuali hanya sedikit saja [lihat Al Istibshar jilid 1 hal
2].
Apakah kitab-kitab
ini ditulis pada era dinasti shafavid di iran lalu ditulis atas nama
para ulama klasik syiah? Bisa jadi, dan sangat mungkin.
Bahkan empat kitab syiah yang utama [Al Kafi, Tahdzibul Ahkam, Al Istibshar dan Man La Yahdhuruhul Faqih] tidak luput dari tambahan dari tangan-tangan tidak bertanggung jawab. Salah satu buktinya, bisa dilihat dalam kitab Ad Dzari’ah –jiild 4 hal 504- dan A’yanus Syi’ah –jilid 1 hal 288- juga keterangan ulama syiah hari ini, bahwa jumlah hadits Tahdzibul Ahkam adalah 13950 hadits, tetapi penulisnya sendiri menyatakan dalam kitab Iddatul Ushul [jilid 1 hal 139 ,cetakan sitarah-Qum] bahwa jumlah hadits Tahdzibul Ahkam hanya 5000 lebih, artinya tidak mencapai jumlah 6000. bisa dilihat dalam kitab Al Imam As Shadiq hal 485.
Bahkan empat kitab syiah yang utama [Al Kafi, Tahdzibul Ahkam, Al Istibshar dan Man La Yahdhuruhul Faqih] tidak luput dari tambahan dari tangan-tangan tidak bertanggung jawab. Salah satu buktinya, bisa dilihat dalam kitab Ad Dzari’ah –jiild 4 hal 504- dan A’yanus Syi’ah –jilid 1 hal 288- juga keterangan ulama syiah hari ini, bahwa jumlah hadits Tahdzibul Ahkam adalah 13950 hadits, tetapi penulisnya sendiri menyatakan dalam kitab Iddatul Ushul [jilid 1 hal 139 ,cetakan sitarah-Qum] bahwa jumlah hadits Tahdzibul Ahkam hanya 5000 lebih, artinya tidak mencapai jumlah 6000. bisa dilihat dalam kitab Al Imam As Shadiq hal 485.
Ternyata
jumlah hadits Tahdzibul Ahkam bertambah lebih dari dua kali lipat,
inilah bukti nyata yang ada di depan mata. Begitu juga ulama syiah masih
berbeda pendapat, apakah kitab Raudhatul Kafi –kitab Al Kafi jilid 8-
termasuk dalam kitab Al Kafi yang ditulis oleh Kulaini, ataukah
merupakan tambahan yang ditulis setelah kitab Al Kafi, bisa dilihat
dalam kitab Raudhatul Jannat jilid 6hal 176-188, seolah-olah penambahan
dalam kitab adalah hal biasa dan sangat mungkin terjadi..
Yang
lebih berbahaya, seorang ulama syiah terkemuka yang bernama Husein bin
Haidar Al Karki Al Amili [wafat th 1076 H] mengatakan: kitab Al kafi
berjumlah lima puluh jilid, memuat riwayat dengan sanad yang bersambung
pada para imam [Raudhatul Jannat jilid 6 hal 114], sementara Thusi
[wafat 360 h] mengatakan bahwa kitab Al Kafi berjumlah 30 jilid,….
[lihat Al Fahrasat hal 161].
Apakah
kitab Al Kafi mengalami penambahan selama kurun waktu antara abad ke
lima dan sebelas hijiriyah? Tambahannya pun bukan sedikit, tapi 20
jilid, padahal setiap jilid terdiri dari banyak bab yang memuat banyak
hadits. Mungkin hal ini tidak menjadi masalah bagi syiah, jika mereka
berani memalsu riwayat dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam dan Ahlulbait, mestinya memalsu
buku dari gurunya bukanlah hal susah, bukti dalam hal ini sangat banyak,
yang kami paparkan sudah cukup bagi mereka yang mau menggunakan akalnya
yang masih sehat. Kita tanyakan lagi pada penganut syiah, mana sumber
ajaran agama kalian? Kalian banyak menggunakan logika dan mantiq karena
miskin dalil naqli, apalagi setelah tahu bahwa kitab literatur kalian
terbukti masih harus diragukan lagi validitasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar