Shalat merupakan ibadah teragung dan menjadi standar dalam hisab bani
Adam di akherat kelak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
:
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ
عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ
فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ
قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ
فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ
عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ
Sesungguhnya pertama yang dihisab pada hamba di hari kiamat dari
amalannya adalah shalat nya. Apabila bagus maka ia beruntung dan selamat
dan bila rusak maka celaka dan merugi. Apabila kurang sempurna dari
yang wajib maka Allâh berfirman: Lihatlah apakah hambaKu ini memiliki
shalat sunnah guna menyempurnakan kekurangan yang wajib kemudian baru
dihisab amaan-amalan lainnya. [HR. Tirmidzi dan dinilai shahih oleh
syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan Tirmidzi, no. 413 dan Shahihut
Targhîb wat Tarhîb no. 377]
Oleh karena itu, setiap muslim berkewajiban untuk memberikan perhatian
serius dan menganggapnya sebagai urusan terpenting dalam hidupnya. Juga
berusaha melaksanakannya sesuai dengan tuntunan Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam . Inilah yang ditekankan oleh Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّمَا صَنَعْتُ هَذَا لِتَأْتَمُوْا بِيْ وَلِتَعْلَمُوْا صَلاَتِي
Aku berbuat demikian semata untuk kalian ikuti dan supaya kalian mengetahui shalat ku [1]
Juga sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّي
Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat [2]
Diantara amalan dalam shalat yang perlu diperhatikan dan sering dianggap
remeh oleh sebagian kaum Muslimin yaitu mengucapkan kata "amien" dalam
shalat . Tentang urgensitas ucapan "amîn" ini, Ibnul Qayyim rahimahullah
mengatakan, "Mengucapkan "amien" (ta’mîn) adalah perhiasan shalat
seperti mengangkat kedua tangan yang merupakan perhiasan shalat. Juga
termasuk mengikuti sunnah dan mengagungkan perintah Allâh."[3]
MAKNA TA’MIN
Ta’mien adalah bahasa arab yang bermakna mengucapkan kata “Amîn” (آمين)
setelah selesai membaca al-Fâtihah dan ketika mendengar do’a orang
lain.[4] Menurut kebanyakan para ulama, kata “Amîn” (آمين) itu sendiri
bermakna Ya Allâh kabulkanlah ! Imam Ibnu Abdilbarr rahimahullah
menyatakan, "Menurut para ulama, kata "amîn" itu bermakna Ya Allâh
kabulkanlah doa-doa kami. [5]
Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, "Maknanya menurut mayoritas ulama
adalah ya Allâh kabulkanlah dan ada yang menyatakan lain namun masih
kembali semuanya kepada makna ini.[6]
KEUTAMAAN TA’MIN (MENGUCAPKAN AAMIIN DALAM SHALAT DAN DOA).
Dari penjelasan diatas diketahui bahwa ta’mîn adalah do'a (permohonan)
dari orang yang mendengar do'a orang lain agar do'a itu dikabulkan oleh
Allâh Azza wa Jalla. Namun tidak sebatas sebagai do'a, ta’mîn juga
memiliki keutamaan yang banyak, diantaranya :
1. Menjadi sebab terampuninya dosa apabila ucapan amin itu bersamaan
dengan aminnya para malaikat. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
إِذَا أَمَّنَ الإِمَامُ فَأَمِّنُوا فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ
تَأْمِينَ الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Apabila imam mengucapkan ‘âmîn’ maka ucapkanlah ‘âmîn’, karena siapa
yang ucapan âmînnya bersamaan dengan ucapan âmîn para malaikat maka akan
diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.[7]
2. Menjadi penebab terkabulnya do’a, seperti yang dijelaskan Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
إِذَا صَلَّيْتُمْ فَأَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ ثُمَّ لْيَؤُمَّكُمْ أَحَدُكُمْ
فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا قَالَ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ
عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ فَقُولُوا آمِينَ. يُجِبْكُمُ اللَّهُ
Apabila kalian shalat maka luruskanlah shaf (barisan) kalian kemudian
hendaknya salah seorang diantara kalian menjadi imam. Apabila imam
bertakbir maka kalian bertakbir dan bila imam mengucapkan “GHAIRIL
MAGHDHÛB BI’ALAIHIM WALAADH-DHÂLÎN” maka ucapkanlah: Aamiin, niscaya Allâh
mengabulkannya[8]
3. Yahudi iri dengan adanya ta’mîn pada kaum Muslimin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ الْيَهُوْدَ قَوْمٌ حَسَدٌ وَ إِنَّهُمْ لاَ يَحْسِدُوْنَنَا عَلَى
شَيْءٍ كَمَا يَحْسِدُوْنَنَا عَلَى السَّلاَمِ وَ عَلَى (آمِيْنَ )
Sesungguhnya yahudi adalah kaum yang penuh hasad dan mereka tidak hasad
kepada kami tentang sesuatu yang melebihi hasadnya mereka kepada kita
dalam salam dan ucapan âmîn.[9]
SHIGHAT TA’MIN (BENTUK LAFAZH AAMIIN).
Para Ulama berbeda pendapat tentang lafazh âmîn yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Kesimpulannya adalah :
1. Lafazh yang disepakati kebolehannya dan sesuai dengan sunnah yaitu
mengucapkan âmîn dengan dua lafazh; Pertama, âmîn (آمِيْن) dengan
memanjang huruf hamzah; dan kedua, amîn (أَمِيْن) dengan tanpa memanjang
huruf hamzah.
2. Lafazh yang dianggap sama dengan yang lafazh yang diperbolehkan
yaitu: âmîn (آمِيْن) dengan memanjangkan hamzah ataupun tidak dengan
disertai imâlah.
3. Lafazh yang diperselisihkan kebolehannya dan membatalkan shalat. Ini
ada dua lafazh: Pertama, Aammin (آمِّيْن) dengan memanjang suara hamzah
disertai tasydîd pada huruf mim. Yang rajah, lafazh ini membatalkan
shalat. Kedua, Aamin (آمِن) dengan memanjang suara hamzah disertai
membuang huruf Ya’. Yang rajah, lafazh ini terlarang dan membatalkan
shalat.
4. Lafazh yang disepakati tidak boleh, namun masih diperselisihkan,
apakah membatalkan shalat ? Yaitu Ammîn (أَمِّيْن) dengan tidak
memanjangkan suara hamzah disertai tasydiid pada huruf Mim.
5. Lafazh yang disepakati membatalkan shalat adalah aammin (آمِّن)
dengan memanjangkan bacaan Hamzah lalu tasydid pada huruf Mim dan
menghapus huruf Ya’ dan ammin (أَمِّن) dengan tanpa memanjangkan bacaan
hamzah lalu tasydid pada huruf Mim serta menghapus huruf Ya’ serta amin
(أَمِن) dengan tanpa memanjangkan huruf Hamzah, tanpa tasydid pada huruf
Mim dan menghapus huruf Ya’.
TAMBAHAN KATA PADA PENGUCAPAN LAFAZH AAMIIN
Terkadang ada yang menambah ucapan âmîn dengan lafazh YA RABBAL ALAMÎN
setelah selesai membaca al-Fâtihah. Dalam masalah ini para ulama berbeda
pendapat, namun yang râjih adalah pendapat yang menyatakan tidak
disunnahkan menambah dengan kata atau lafazh lainnya, dengan alasan :
1. Cukup dengan ucapan âmîn adalah suatu yang sudah sesuai dengan ucapan
dan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa menambahkan satu
katapun. Tindakan ini merupakan realisasi ittiba’ kepada Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
2. Tidak ada satu hadits shahih pun yang menetapkan adanya tambahan
tersebut. Dan ini juga tidak dilakukan oleh para sahabat semasa hidup
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal shalat dilakukan berulang
kali, baik yang fardhu ataupun yang sunnah. Dan yang terbaik bagi kita
yaitu menyesuaikan dengan petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam .
3. Orang yang hanya mencukupkan diri dengan membaca âmîn tidak ada yang
mencela dan tidak yang menilainya meninggalkan sunnah. Ini berbeda
dengan orang yang menambah, maka mungkin ada orang yang menilainya tidak
mengamalkan sunnah.
4. Sedangkan dalil yang dijadikan landasan pendapat orang yang
membolehkan menambah lafazh dalam âmîn dan menganggapnya sebagai
tambahan yang baik, seperti hadits Rifâ’ah bin Râfi’ Radhiyallahu anhu
yang berbunyi :
كُنَّا يَوْمًا نُصَلِّي وَرَاءَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَلَمَّا رَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ رَأْسَهُ مِنْ الرَّكْعَةِ وَقَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ
حَمِدَهُ قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا
كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ الْمُتَكَلِّمُ آنِفًا
فَقَالَ الرَّجُلُ أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ
مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهُنَّ أَوَّلُ
Pada suatu hari, Kami shalat dibelakang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat
kepalanya dari ruku’, dan membaca, “SAMI’ALLÂHU LIMAN HAMIDAH” maka ada
seorang dibelakang beliau membaca, “RABBANÂ WALAKAL HAMDU HAMDAN
KATSÎRAN THAYYIBAN MUBÂRAKAN FÎHI”. Ketika selesai shalat, Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, "Siapakah yang berbicara tadi ?"
Orang itu menjawab, "Aku, wahai Rasûlullâh!" Lalu Rasûlullâh
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Aku melihat lebih dari tiga
puluh malaikat berlomba-lomba menjadi penulisnya pertama kali."[10]
Imam ibnu Abdilbarr rahimahullah menyatakan, "Semua dzikir berupa
tahmîd, tahlîl dan takbîr diperbolehkan dalam shalat dan bukan ucapan
yang membatalkan shalat, bahkan ia terpuji dan pelakunya disanjung
berdasarkan dalil hadits ini.[11]
Ini memang termasuk hal-hal yang sudah dijelaskan oleh Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebolehan menambah lafazh dzikir.
Namun masalah ta’min adalah masalah khusus yang tidak ada dalil yang
menjelaskan bolehnya menambahkan sesuatu padanya. Wallâhu a’lam.
HUKUM MEMBACA AAMIIN SETELAH AL-FAATIHAH
Membaca al-Fâtihah ada kalanya dalam shalat dan adakalanya diluar
shalat. Dengan demikian maka hukum membaca âmîn setelah membaca
al-Fâtihah dibagi dalam dua hukum, yaitu hukum membacanya diluar shalat
dan didalam shalat.
1. Hukum Membaca Amîn Setelah Al-Fâtihah Diluar Shalat
Orang yang membaca surat al-Fâtihah disyari'atkan membaca âmîn
setelahnya. Ibnu al-Humaam t menyatakan, "Pensyari'atan mengucapkan âmîn
setelah membaca al-Fâtihah. Ketahuilah bahwa sunnah yang shahih dan
mutawatir dengan tegas menunjukkan hal tersebut.[12]
Adapun dasarnya :
• Hadits Wâ’il bin Hujr Radhiyallahu anhu yang berbunyi :
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقْرَأُ : ( غَيْرِ
الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّيْنَ ) فَقَالَ : آمِيْنَ مَدَّ
بِهَا صَوْتَهُ .
Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca : GHAIRIL
MAGHDHÛBI ‘ALAIHIM WALADH-DHÂLÎN lalu beliau mengucapkan : âmîn dengan
memanjangkan suaranya.[13]
Nampak dalam hadits ini adanya pensyariatan ucapan âmîn setelah membaca
al-Faatihah secara mutlak baik didalam shalat maupun diluarnya. Oleh
karenanya imam ibnu Katsir rahimahullah menyatakan: Sahabat-sahabat kami
(ulama madzhab Syafi’iyyah (pen)) dan selain mereka menyatakan bahwa
disunnahkan hal itu pada orang yang membacanya diluar shalat dan lebih
ditekankan lagi pada diri orang yang shalat, baik sendirian, sebagai
imam ataupun sebagai makmum dan dalam segalakeadaan.[14]
• Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا
قَالَ أَحَدُكُمْ آمِينَ وَقَالَتْ الْمَلَائِكَةُ فِي السَّمَاءِ آمِينَ
فَوَافَقَتْ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ
ذَنْبِهِ
Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Apabila
salah seorang dari kalian mengucapkan âmîn dan malaikat di langit juga
mengucapkan âmîn lalu saling berbarengan maka diampuni dosanya yang
telah lalu. [Muttafaqun ‘alaihi].
2. Hukum Membaca Âmîn Setelah Al-Faatihah Didalam Shalat
Sedangkan hukum membaca âmîn dalam shalat dapat di kategorikan dalam tiga sub pembahasan.
1. Ucapan Amîn Bagi Imam
Dalam masalah ini para Ulama memiliki dua pendapat. Mayoritas para Ulama
memandang imam disyari'atkan membaca âmîn berbeda dengan imam Abu
Hanîfah rahimahullah yang memandang imam disyari'atkan membacanya bahkan
menurut beliau rahimahullah yang disyariatkan adalah makmum.
Yang râjih –insya Allâh- adalah pendapat mayoritas para Ulama dengan argument sebagai berikut :
• Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi :
إِذَا أَمَّنَ الإِمَامُ فَأَمِّنُوا فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ
تَأْمِينَ الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Apabila imam mengucapkan ‘âmîn’ maka ucapkanlah ‘âmîn’, karena siapa
yang ucapan âmînnya berbarengan dengan ucapan amiin para malaikat maka
akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. [15]
Setelah menyampaikan hadits ini, Imam Ibnu Syihâb az-Zuhri rahimahullah
menjelaskan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu
mengucapkan âmîn.
• Hadits Wâ’il bin Hujr Radhiyallahu anhu yang berbunyi :
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقْرَأُ : ( غَيْرِ
الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّيْنَ ) فَقَالَ : آمِيْنَ مَدَّ
بِهَا صَوْتَهُ .
Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca GHAIRIL
MAGHDHÛBI ‘ALAIHIM WALADH-DHÂLÎN lalu beliau mengucapkan : âmîn dengan
memanjangkan suaranya [16]
2. Pensyariatannya Bagi Makmum
Dalam masalah ini ada lima pendapat Ulama, yaitu :
• Pendapat mayoritas Ulama yang memandang makmum disyari'atkan
mengucapkan âmîn secara mutlak baik dalam shalat siriyah maupun jahriyah
• Pendapat Imam Mâlik rahimahullah yang memandang makmum disyariatkan
mengucapkan âmîn dalam shalat sirriyah dan dalam shalat jahriyah apabila
mendengar imamnya membaca (وَلاَ الضَّالِّيْنَ).
• Pendapat sekelompok Ulama yang memandang tidak disyariatkan secara mutlak.
• Pendapat Imam Syâfi’i rahimahullah dalam al-qaulul jadîd (pendapat
beliau rahimahullah setelah berada di mesir) yang memandang makmum tidak
disyariatkan mengucapkan âmîn apabila imam telah mengucapkannya dengan
jelas.
• Pendapat Imam Abu Hanifah rahimahullah yang memandang tidak
disyariatkan dalam shalat sirriyah walaupun makmum mendengar imam
mengucapkan amin.
Dari kelima pendapat ini, yang rajih adalah pendapat mayoritas Ulama
karena dalil mereka kuat. Diantaranya hadits-hadits yang memerintahkan
makmum mengucapkan âmîn , seperti dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu
anhu yang berbunyi :
إِذَا أَمَّنَ الإِمَامُ فَأَمِّنُوا فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ
تَأْمِينَ الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Apabila imam mengucapkan ‘âmîn’ maka ucapkanlah ‘âmîn’, karena siapa
yang ucapan âmînnya berbarengan dengan ucapan ‘âmîn para malaikat maka
akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.[17]
Juga sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِذَا صَلَّيْتُمْ فَأَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ ثُمَّ لْيَؤُمَّكُمْ أَحَدُكُمْ
فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا قَالَ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ
عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ فَقُولُوا آمِينَ. يُجِبْكُمُ اللَّهُ
Apabila kalian shalat maka luruskanlah barisan kalian kemudian hendaknya
salah seorang kalian menjadi imam. Apabila imam bertakbir maka kalian
bertakbir dan bila imam mengucapkan “GHAIRIL MAGHDHÛB BI’ALAIHIM
WALAADH-DHÂLÎN” maka ucapkanlah: âmîn, niscaya Allâh mengabulkannya[18]
3. Pensyariatannya Bagi Orang Yang Shalat Sendirian.
Dalam masalah ini pun para Ulama berselisih dalam dua pendapat, yaitu:
• Mayoritas Ulama mensyariatkan orang yang shalat sendiri mengucapkan amin .
• Imam Malik rahimahullah dalam salah satu riwayatnya memandang tidak disyariatkannya dalam shalat sendirian.
Pendapat yang rajih dalam hal ini adalah pendapat mayoritas Ulama karena
kuatnya dalil mereka, diantaranya adalah hadits Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu yang berbunyi:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا
قَالَ أَحَدُكُمْ آمِينَ وَقَالَتْ الْمَلَائِكَةُ فِي السَّمَاءِ آمِينَ
فَوَافَقَتْ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ
ذَنْبِهِ
Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Apabila
salah seorang dari kalian mengucapkan âmîn dan malaikat di langit juga
mengucapkan âmîn lalu saling berbarengan maka diampuni dosanya yang
telah lalu. [Muttafaqun ‘alaihi]
Hadits ini bersifat umum, juga mencakup orang yang shalat sendirian. Wallahu a’lam.
Demikian ringkasan dari pendapat para Ulama seputar hukum membaca amin setelah bacaan al-Faatihah, semoga bermanfaat.
(Makalah ini diringkas dari artikel berjudul at-Ta’mîn ‘Aqibal fâtihah
Fis Shalât (hukmuhu wa sifatuhu), tulisan DR. Abdullah bin Ibrâhim
az-Zâhim yang dimuat dalam majalah al-Jâmi’ah al-Islamiyah edisi 125,
hlm. 163-224 dengan beberapa penambahan dari redaksi.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar