Sabtu, 29 Juni 2013

Fatwa Dan Pendirian Ulama Sunni Terhadap Aqidah Syi'ah Bag 1

Apabila orang mengkaji buku-buku referensi dan rujukan Agama Syi'ah untuk mendalami dan meneliti kepercayaan, aqidah dan landasan berpijak agama mereka itu, maka seseorang akan tersentak heran dan tercekam kaget, hampir tidak terbayang baginya kalau ada di antara manusia yang mengaku berilmu dan beradab telah dirangsang oleh nafsunya untuk mengarang dan menulis buku-buku semacam itu yang dijejali dengan tumpukan kebathilan, kepicikan, khurofat, caci-maki, dan kebohongan, kemudian menamakan tumpukan sampah busuk itu "RUJUKAN AGAMA"; begitu juga rasanya tidak terbayang bahwa di antara anak-anak Adam yang masih menghargai dirinya dan prikemanusiaannya serta menghormati budi dan akalnya begitu bodoh, picik dan terkecoh untuk mempercayai literatur yang terjangkit wabah itu, serta bersimpati dengannya, mengikuti dan menjadi missionarisnya.

Maka untuk melepaskan diri dari cekaman yang menherankan dan sesak napas yang membingungkan akibat membaca dan meneliti literatur Agama Syi'ah yang tidak kepalang joroknya yang membuat orang bijak terheran-heran, terpanggillah jiwa untuk mengingat dan mengenang firman-firman Allah subhanahu wataala:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللَّهَ عَلَى مَا فِي قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ • وَإِذَا تَوَلَّى سَعَى فِي الأرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ وَاللَّهُ لا يُحِبُّ الْفَسَادَ • وَإِذَا قِيلَ لَهُ اتَّقِ اللَّهَ أَخَذَتْهُ الْعِزَّةُ بِالإثْمِ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ

Artinya: 204. dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, Padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk Mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan[130]. Dan apabila dikatakan kepadanya: "Bertakwalah kepada Allah”, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya. (Albaqarah 204-206).

[130] Ungkapan ini adalah ibarat dari orang-orang yang berusaha menggoncangkan iman orang-orang mukmin dan selalu Mengadakan pengacauan.
Dan Firman Allah:

وَجَدْتُهَا وَقَوْمَهَا يَسْجُدُونَ لِلشَّمْسِ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ فَصَدَّهُمْ عَنِ السَّبِيلِ فَهُمْ لا يَهْتَدُونَ

Artinya: "aku mendapati Dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk"(An-Naml 24).

Dan Firman-Nya pula:
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلا تَذَكَّرُونَ
Artinya: "Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya[1384] dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?" (Aljatsiah 23)

[1384] Maksudnya Tuhan membiarkan orang itu sesat, karena Allah telah mengetahui bahwa Dia tidak menerima petunjuk-petunjuk yang diberikan kepadanya.
Selanjutnya Firman Allah:

أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ فَلا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

Artinya: "Maka Apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu Dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan) ? Maka Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya; Maka janganlah dirimu binasa karena Kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat." (Fathir 8).

Firman-firman Allah yang merupakan ayat-ayat mulia yang mu'jaz inilah satu-satunya penenang dan penawar yang mujarrab bagi akal yang terheran-heran dan jiwa yang tertegun kaget dari kedurhakaan kaum Syi'ah itu dan kecerobohan dusta mereka kepada Allah, Rasul-Nya maka hanyalah kepada Allah saja kami berlindung dari kejahatan-kejahatan mereka.

Sebenarnya, Syi'ah itu tidaklah dikenal maupun mempunyai sesuatu dinegeri ini sebelum Revolusi Khumaini, apalagi literatur dan buku-buku rujukan Agama mereka, tetapi disana-sini dalam negeri kaum Muslimin mereka mempunyai missionaris-missionaris dan lembaga-lembaga penerbitan dan distribusi, malah mereka mempunyai satu lembaga yang mereka namakan "RUMAH PENDEKATAN" yang mereka dirikan di negeri Mesir dengan menyalahgunakan prasangka baik penghuni negeri itu dengan tujuan menyebarluaskan racun kepercayaan Syi'ah melalui literatur-literatur propaganda yang menyembunyikan hakekat kepercayaan Syi'ah untuk menarik dan mendekatkan anak-anak kaum Muslimin kepada Syi'ah Rawafidh dan tidak sebaliknya, agar kaum Muslimin yang selalu mendahulukan prasangka baik terjerat dalam perangkap Syi'ah dan mewarnai mereka dengan warnanya.

Hal ini mereka lakukan dikala kaum Muslimin tidak banyak mengetahui Aqidah dan ajaran Syi'ah, kesempatan ini mereka gunakan dengan sebaik-baiknya sebagaimana mereka lakukan terhadap kaum Muslimin sebelum ini di Iran semasa kekuasaan Shofawiyah , di Irak, di Lebanon, di India dan negeri-negeri Teluk.

Maka tidak lama setelah tercetus Revolusi Iran dan tokoh-tokoh Syi'ah mulai menampakkan warna dan corak asli dari ke-Syi'ahan revolusi itu dengan berupaya mengekspor gagasan mereka itu dan menjalarkannya ke negeri ini dan negeri-negeri kaum Muslimin pada umumnya dengan menyebarluaskan kader-kader mereka dan propagandis-propagandis bayaran mereka serta mendirikan di sana-sini lembaga-lembaga penerbitan dan mencetak jutaan buku dan brosur yang disebarluaskan di tengah-tengah kaum Muslimin yang bersahaja dan selalu berprasangka baik, guna menjebak dan memperdaya mereka dengan umpan dan dalih, bahwa Syi'ah itu adalah salah satu Madzhab diantara Madzhab-madzhabnya kaum Muslimin dan tidak ada sedikit pun pertentangan dalam Ushul dan Aqidah antara aliran Syi'ah dan Madzhab-madzhab yang empat, sedangkan selisih yang ada, hanya sedikit dalam soal Furu' saja, sama halnya yang ada di antara keempat Madzhab itu sendiri.

Demikianlah tipu daya Syi'ah itu, malah lebih dari itu, mereka berkata bahwa keempat Madzhab itu sesungguhnya bersumber kepada "Madzhab Ja'fariyah". Dengan kebohongan dan tipu daya ini, mereka berusaha keras dengan tujuan menghalalkan segala cara untuk menjual dagangan mereka yang palsu itu dengan mengelabui kaum Muslimin.

Setelah Syi'ah Rawafidh mulai menunjukkan giginya dan menyebarkan racunnya serta memakai segala cara dengan menipu, memalsu dan memperdaya orang dalam persoalan Agama dan Aqidah, membuat kami terpanggil oleh rasa tanggung jawab dan merasa berkewajiban untuk bangkit menghadapi mereka dan menghentikan ekspansi mereka serta mematahkan tipu daya mereka dengan membuka kedok mereka dan membongkar rahasia Agama mereka yang selama ini disembunyi-sembunyikan, agar orang ramai tahu gerangan siapakah sebenarnya mereka itu dan agama apa yang sebenarnya mereka anut. Untuk upaya ini, kami hanya memohon petunjuk, taufiq, hidayah dan inayah dari Allah Subhanahu Wata'ala semata.

Untuk memberi satu gambaran yang jelas mengenai Syi'ah dan kepercayaannya, kami mengharuskan diri dalam berargumentasi untuk berpaling kepada referensi dan buku-buku rujukan agama mereka, yang merupakan dasar dan landasan berpijak Agama Syi'ah itu, sebab tanpa adanya buku-buku rujukan itu, tentu tidak aka nada Syi'ah Imamiyah, Itsnaa 'asyariyah, Ja'fariyah.

Marilah kita mulai dengan memperkenalkan buku-buku rujukan agama mereka yang terpenting, yang menurut mereka adalah "AGUNG, BAGUS, HEBAT dan SEMPURNA', serta merupakan sumber agama mereka yang utama dan tertua yang menurut pengarang-pengarangnya langsung mereka terima dari imam-imam mereka yang Ma'shum, yang mereka namakan "EMPAT RUJUKAN SYI'AH YANG SHAHIH", yang dari keempat sumber itu literatur-literatur mereka yang lain bercabang.

Tentang keempat rujukan itu, Ulama mereka yang bernama Abdulhusain Syaraf Almausawi dalam bukunya "Al-muraja'at" halaman 311, berkata: Kitab-kitab itu adalah: AL-KAFI, AT-TAHZIB, AL-ISTIBSHAR, dan MAN LA YAHDHURUHUL-FAQIH, dan kitab-kitab itu adalah MUTAWATIR, isinya adalah PASTI KEBENARANNYA (SHAHIHNYA), dan diantaranya AL-KAFI adalah yang TERTUA, TERAGUNG, TERBAGUS dan TERSEMPURNA.

Pertama:
AL-KAFI, dikarang oleh ALKULAINI, kitab ini terdiri dari tiga bagian dalam 8 juz: AL-USHUL, AL-FURU' AL-RAWDHAH, terisi dengan 16199 Hadits.
v Berkata Ulama mereka Agha Bazrak Attahrani memujinya: Dia (AL-KAFI) adalah yang paling mulia di antara keempat kitab, Ushul yang menjadi sandaran, tidak pernah ditulis riwayat-riwayat manqul dari keluarga Rasul seperti (AL-KAFI) itu, oleh kepercayaan Islam Muhammad bin Yaqub Alkulaini Arrazi, Wafat tahun 328 Hijriyyah. (Kitab Adzdzari'ah fi thashanif Assyiah 17 hlm. 245).

v Berkata Annisaburi memujinya: KEPERCAYAAN ISLAM, TOKOH ULAMA-ULAMA, BULAN PURNAMA, PENGHIMPUN SUNAN DAN ATSAR, yang dihadiri oleh DUTA-DUTA AL-QAIM (Imam mereka yang ghaib), yaitu: Abu Ja'far Muhammad bin Ya'qub Alkulaini Arrazi, telah diceritakan bahwa kitabnya dipertunjukkan kepada AL-QAIM (imam mereka yang ghaib), yang dijawab olehnya: CUKUP, ITU UNTUK SYI'AH KAMI". (Rawdlatul Jannat 2 hlm. 116).

v Berkata Husin bin Abubakar Alhabsyi Bangil, memujinya: AL-KAFI, oleh ALKULAINI, Abi Ja'far Muhammad bin Ya'qub Alkulaini (329), YANG PALING AGUNG, PALING BENAR DAN PALING BAGUS, isi matannya 16190 Hadits, dihimpun oleh ALKULAINI dalam masa 20 tahun. (Surat tulisan tangan dibubuhi tanda tangannya).

Kedua:
MAN LA YAHDHURUHUL-FAQIH dikarang oleh tokoh mereka ABI JA'FAR ASSADUQ, MUHAMMAD BIN ALI BIN ALHUSIN BIN MUSA BIN BABAWAIH ALQUMMI, meninggal tahun 381 H, terdiri dari 6593 Hadits; berkata Muhammad Shodiq Asshadr memujinya: Ini adalah sumber kedua bagi Assyi'ah, dan berkata: Tokoh kami ASSADUQ telah mencapai satu kedudukan yang mulia di zamannya yang tidak pernah dicapai oleh orang lain, dan merupakan orang yang pertama mendapat gelar ASSADUQ (yang benar) dimana gelar itu khusus baginya, dimana dengan gelar itu langsung orang mengenalnya, gelar itu didapat karena KEPASTIANNYA dalam meriwayatkan, serta KEKUATAN HAFALANNYA, dan KETELITIANNYA. (Assyi'ah hlm. 124).

Ketiga:
ATTAHDZIB, oleh tokoh Ulama Syi'ah, ABI JA'FAR MUHAMMAD BIN ALHASAN BIN ALI ATTHUSI, meninggal tahun 460 H, kitab ini merupakan ketiga bagi Agama Syi'ah mencakup 1590 Hadits.
Telah disebutkan tentang kitab ini: IA MERUPAKAN BEKAL BAGI SEORANG FAQIH TENTANG APA YANG DIMINTA DARI RIWAYAT-RIWAYAT HUKUM PADA UMUMNYA YANG TIDAK DAPAT DIPENUHI OLEH SELAINNYA. (Assyi'ah hlm. 125-126).

Keempat:
AL-ISTIBSHAR, oleh tokoh Ulama Syi'ah Abi Ja'far Atthusi juga yang digelar dengan SYAIKHUTTAIFAH (Tokoh Ulama Syi'ah), buku ini terdiri dari 6531 Hadits.

Inilah keempat kitab mereka dalam Hadits yang mereka anggap SHAHIH (benar), yang mereka percaya, dan mengakui KEAGUNGANNYA, KEBENARANNYA, DAN KEBAGUSANNYA yang mereka puji buku-buku itu maupun pengarangnya dengan sanjungan dan pujian setinggi langit.
Dari buku-buku inilah bercabang banyak buku-buku mereka yang lain yang senada dan seirama dengan keempat induk rujukan itu, seperti: ALWAFI, yang dikarang oleh Almullah Muhsin Alkasyi, WASAILUS-SYIAH, yang dikarang oleh Muhammad bin Hasan bin Alhurrulamili, BIHARUL ANWAR, dikarang oleh Almajlisi, ALAWALI FILHADITS, dikarang oleh Albahrani, MUSTADRAK AL-WASAIL, dikarang oleh Mirza Husin Annuri Attibrisi pengarang kitab celaka FASHLULKHITAB, AL-ANWARUNNUMANIYAH, dikarang oleh Ni'matullah Aljazairi, AL-IHTIJAJ, oleh Ahmad bin Ali Attibrisi, dan banyak lagi. Begitu juga mereka mempunyai kitab-kitab mengenai perawi-perawi Hadits, seperti: Rijalul Kissyi, Rijalun-Najasi, Rijalutthusi dan lain sebagainya.

Kitab-kitab tafsir mereka yang terkenal adalah Tafsir Alqummi, Abulhasan Ali bin Ibrahim Alqummi, yang dipuji oleh Annajasi dengan: BENAR DALAM HADITS, TELITI, DAPAT DIANDALKAN, LURUS ALIRANNYA, BANYAK MENDENGAR dan MENGARANG KITAB-KITAB, dan mempunyai KITABUTTAFSIR. (Rijalunnajasi 183).

v Telah disebut oleh Alabbas Alqummi dengan pujian: Dia termasuk yang termulia di antara perawi-perawi sahabat-sahabat kami, dan tokoh-tokoh Ahlilhadits meriwayatkan dari padanya, tidak kami ketahui tanggal kematiannya, tetapi dia hidup ditahun 307 H. (Alkuna Wal-alqab 3 hlm. 68).

v Disebut juga oleh Agha Bazrak Attahrani dengan: Dia hidup semasa Abilhasan Muhammad Alimam Alaskari AS, dan mengenai Tafsirnya dia berkata: Sesungguhnya tafsir itu adalah Tafsir kedua Imam yang Shodiq. (Kitab Addzariah 4 hlm. 302).

Di antara kitab-kitab mereka yang penting juga adalah NAHJULBALAGHAH yang ditafsir oleh Ibnu Abilhadid Almu'tazili.
Itulah induk kitab-kitab Assyi'ah, yang menjadi saksi atas penyimpangan mereka dan pembuka rahasia-rahasia Aqidah mereka yang selama ini mereka tutup rapat, dari kitab-kitab rujukan agama mereka itu, kami simpulkan Aqidah dan kepercayaan mereka dalam mukaddimah ini dalam sepuluh kesimpulan, yang bagaimanapun juga tidak dapat dihubungkan atau dikaitkan dengan Islam yang dibawa Rasulullah Muhammad saw, dari Allah Tuhannya, Islam yang Allah sempurnakan sebagai Agama dan genapkan sebagai ni'mah dan ridla untuk menjadi DIN Agama bagi kaum Muslimin.

Sepuluh kesimpulan itu adalah sebagai berikut:
1. Kaum Syi'ah Rawafidh berkepercayaan bahwa Sahabat-sahabat Nabi Saw. Kesemuanya murtad dari Agama Islam setelah Rasulullah Saw. Wafat, terkecuali belasan orang saja.

2. Kaum Syi'ah berkeyakinan bahwa para sahabat Nabi Saw. (selain beberapa orang saja yang mereka sebut dalam buku-buku rujukan agama mereka) telah berkhianat kepada Allah dan Rasulnya dan mengkhianati amanat-amanat yang Rasulullah serahkan kepada mereka dan mereka telah merubah-rubah Al-Quran yang merupakan amanah ditangan mereka. Mereka para Sahabat itu dan barangsiapa mengikuti dan membela mereka, adalah kafir yang tidak diterima amalan maupun kebajikan apapun dari mereka.

3. Kaum Syi'ah berkepercayaan bahwa khilafah harus ada pada Ali Bin Abi Thalib kemudian anaknya Alhasan, kemudian Alhusain dan kemudian sembilan orang lagi dari anak cucu Alhusain, Radhiallahu Anhum Ajmain, dan tidak boleh selain mereka itu, sekalipun pada anak-anaknya Alhasan Cucu Rasulullah atau keluarga Rasulullah yang lain, adapun Abu Bakar, Umar, Utsman dan yang lain, menurut Syi'ah, telah merampas kekuasaan dari Ali dan anak-anaknya, maka dengan perampasan itu mereka menjadi, DHALIM, FASIQ, KAFIR, WAJIB DILA'NAT DAN WAJIB KEKAL DALAM NERAKA. (Naudzubillah dari kedengkian Syi'ah)

4. Kaum Syi'ah percaya bahwa Al-Quran yang ada ini, sesungguhnya telah dirubah-rubah, ditambah dan banyak dikurangi, dan isinya hanya sepertiga dari Quran yang asli yang disimpan oleh Imam mereka yang Ghaib, Muhammad bin Hasan Al-Askari, yang akan membawanya nanti apabila dia keluar dari Gua persembunyiannya bila tiba waktunya, kemudian menyingkirkan Quran yang ditangan kaum Muslimin ini; sementara Imam mereka yang Ghaib itu belum keluar dari Gua persembunyiannya, Imam-imam kaum Syi'ah memerintahkan kaum Syi'ah pengikutnya untuk memakai Al-Quran yang ada ini secara terpaksa dan secara taqiyyah, sampai Imam Ghaib mereka itu datang membawa Al-Quran yang asli yang dihimpun oleh Amirul Mu'minin Ali bin Abi Thalib ra menurut anggapan dan kepercayaan Syi'ah Rawafidh (Waliadzubillah dari kedurhakaan dan dusta mereka)

5. Kaum Syi'ah percaya kalau Imam-imam mereka mengetahui Ilmu Ghaib dan mengetahui yang telah terjadi dan akan terjadi dan mengetahui yang ada di sorga dan apa yang ada di neraka, dan mereka tidak akan mati terkecuali dengan ikhtiar dan kehendak mereka sendiri, dan derajat mereka lebih tinggi dari derajat para Malaikat dan para Rasul, Roh-roh mereka diciptakan dari cahaya keagungan Allah, sedangkan tubuh-tubuh mereka dan Roh-roh Syi'ah mereka, Allah ciptakan dari sejenis tanah yang tersimpan dan terpelihara di bawah "Al-Arsy", bahan-baku dan materi yang dari padanya Imam-imam Syi'ah dan kaum Syi'ah diciptakan, adalah materi khususi untuk mereka saja, sedangkan manusia-manusia yang lain diciptakan dari sejenis materi yang menjadi kayu bakar untuk api neraka.

6. Kaum Syi'ah percaya bahwa Sunnah dan Hadits-hadits Nabi Saw yang terhimpun dalam kitab-kitab Shahih, Sunan dan Musnad-musnad kaum Muslimin Ahlissunnah Wal-Jama'ah, tidak bernilai senilai sayap seekor nyamuk.

7. Kaum Syi'ah percaya kepada Aqidah "ARRAJ'AH", yaitu kembalinya roh-roh ke jasadnya masing-masing di dunia ini sebelum hari Kiamat dikala Imam mereka yang Ghaib keluar dari persembunyiannya, dimana Imam itu nanti menghidupkan kembali Ali dan anak-anaknya beserta para Syi'ahnya untuk menghukum musuh-musuhnya serta melampiaskan pembalasan dendam kepada mereka yang akan dihidupkan kembali juga pada waktu itu. Menurut Syi'ah musuh-musuh itu adalah: Abubakar, Umar, Utsman, Aisyah, Hafsah dan siapa saja yang mengikuti dan membenarkan mereka dan bersimpati kepada mereka.

8. Kaum Syi'ah percaya kepada Aqidah "AL-BADA'", yaitu hilangnya sesuatu dari pengamatan Allah, kemudian nampak kembali bagi-Nya. Telah disebutkan oleh Ulama mereka: ANNUBAKHTI, bahwa Ja'far bin Muhammad Al Baqir menentukan keimamam ISMAIL anaknya, dan menunjukkan kepada itu sewaktu Ismail masih hidup, tetapi Ismail kemudian mati sewaktu ayahnya Ja'far masih hidup, oleh sebab itu kata mereka Ja'far berkata: TIDAK ADA YANG TAMPAK BAGI ALLAH DALAM SESUATU HAL SEBAGAIMANA YANG TAMPAK BAGINYA DALAM ANAK SAYA ISMAIL. (Kitab Firaqus Syi'ah hal 84). Kaum Syi'ah percaya kalau Imam-imam mereka itu MA'SHUM (tidak dapat lupa, tidak dapat khilaf, tidak dapat berbuat salah dan sempurna semenjak lahir sampai mati), sedangkan Imam mereka Ja'far As shadiq yang menurut mereka ma'shum itu telah menentukan dan menobatkan keimaman anaknnya sendiri yang bernama Ismail, tetapi kemudian Ismail itu meninggal dunia sewaktu ayahnya Ja'far masih hidup. Maka untuk melepaskan diri dari problema "ISHMAH" ini, bahwa Imam tidak bisa lupa atau khilaf, mereka mengada-ngada "Aqidah Bada'", jadi buat mereka BADA', adalah tampak bagi Allah dalam hal Ismail yang tadinya tidak tampak, jadi buat mereka Allah boleh khilaf, tetapi Imam mereka tidak! (WALIADZUBILLAH).

9. Kaum Syi'ah percaya kepada "TAQIYYAH" dan berkata Taqiyyah itu adalah Agamanya dan Agama Leluhurnya dan mereka berkata tidaklah beriman barangsiapa tidak pandai-pandai bertaqiyyah dan bermain watak. Arti Taqiyyah itu adalah, menampakkan selain yang mereka niat dan sembunyikan, bila mereka bertemu orang beriman, mereka katakan kami ini beriman, tetapi bila mereka menyendiri dengan tokoh-tokoh mereka, mereka berkata, sebenarnya kami tetap menyertai kamu, kami hanya memperdaya mereka, sesungguhnya Allah-lah yang memperdaya mereka dan menghanyutkan mereka tenggelam dalam kesesatan.

10. Syi'ah percaya adanya "NIKAH MUT'AH", yang telah Allah HARAMKAN atas kaum Muslimin sampai hari Kiamat, tetapi Aqidah Syi'ah berkata: Silahkan sekaligus anda kawin seribu dari perempuan-perempuan itu, sebab wanita-wanita itu adalah wanita sewaan. Telah diriwayatkan oleh Alkulaini, bahwa Abban bin Ta'lab berkata kepada Ja'far Asshadiq: pada suatu waktu saya dalam perjalanan melihat wanita cantik (untuk saya kawin mut'ah) tetapi saya ragu-ragu kalau wanita itu punya suami atau wanita lajang, dijawab oleh Ja'far Asshadiq: ITU TIDAK MENJADI SOAL BAGIMU, YANG PENTING PERCAYA SAJA APA YANG DIKATAKAN WANITA ITU. Tidak cukup dengan dusta itu saja, malah Syi'ah menggalakkan serta menghimbau pengikut mereka untuk kawin mut'ah dengan berani berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya, dan berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

Barangsiapa kawin mut'ah satu kali derajatnya sama dengan derajat Alhusain, dan barangsiapa kawin mut'ah dua kali maka derajatnya sama dengan derajat Alhasan, dan barangsiapa kawin mut'ah tiga kali maka derajatnya sama dengan derajat Ali bin Abi Thalib, dan barangsiapa kawin mut'ah empat kali maka derajatnya sama dengan derajatku. (Tafsir Minhajussadiqin 2-493).

Demikianlah kejinya dusta dan durhaka mereka kepada Rasulullah Saw. Mereka juga berkata, kawin mut'ah itu bermula dan berakhir tanpa saksi, tanpa wali, tanpa warisan, tanpa perceraian dan boleh untuk satu jam, satu hari atau lebih dari itu, menurut hajat keperluan kepada wanita-wanita itu.

Para pembaca yang budiman dan beradab, demikianlah ringkasan I'tikad dan kepercayaan Syi'ah, kami nukil, tulis dan jelaskan dalam buku kecil ini dari buku-buku rujukan Syi'ah dan referensi Agama mereka yang asli yang menjadi saksi atas mereka. Kami persilahkan mereka rujuk dan melihat serta memperhatikan buku-buku itu. Mereka berhak bangga dengan buku-buku itu, tetapi selama mereka percaya, mengagungkan dan bertopang kepada buku-buku itu, sedikitpun mereka tidak berhak untuk menisbahkan dan menghubungkan diri dengan ISLAM dan KAUM MUSLIMIN, sebab Islam adalah Agama Allah, sedangkan aqidah Syi'ah telah dibentuk dan diwarnai oleh hawanafsu dan pemikiran kaum ZINDIQ, YAHUDI, MAJUSI DAN NASRANI; Aqidah dan kepercayaan yang terlepas jauh dari Islam dan Kaum Muslimin.

Tetapi kalau kaum Syi'ah dan pakar-pakarnya bersitegang leher dan ngotot memaksa untuk diakui ahlilqiblat dan saudara dalam Islam, maka mereka harus bangkit dan wajib melepaskan diri dari buku-buku rujukan yang menjadi landasan agama mereka dan melupakan kebudayaan yang busuk dan terjangkit, serta membakarnya hangus dalam pembakaran-pembakaran sampah yang harus mereka dirikan di Teheran, di Qum, di Abadan, di Syiraz, di Masyhad, di Najaf, di Karbala, di Kuffah, di Jabal Amil dan di tiap Kota dan Desa yang terdapat Literatur-literatur busuk terjangkit itu, kemudian mereka harus membersihkan Aqidah dan kepercayaan mereka dari korosi sampah literatur itu yang lama sekali melekat pada jiwa dan bercampur-aduk dengan darah dan daging mereka, setelah pembersihan dan cuci darah ini dilakukan, mereka harus mengumumkan dalam persaksian umum taubat mereka kepada Allah, dan kembalinya mereka dari petualangan kesesatan itu kepada kejernihan Aqidah Islam yang Murni dan Benar yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam

Dikala itu barulah mereka berhak menyandang nama Islam dan mendapatkan kemulyaan itu, dan menjadi wajib atas tiap individu Muslim untuk menerima mereka, membela mereka dan melindungi mereka sebagai sesama saudara dalam Islam, tidak ada perbedaan antara yang Arab atau bukan Arab, antara yang berkulit putih maupun yang berkulit hitam, terkecuali dengan Taqwa kepada Allah, semua sebagai Hamba Allah bersaudara, sejajar dalam penilaian Allah. Tetapi, kalau SYI'AH tetap saja bersandar dan berpijak kepada Aqidah dan kepercayaan mereka yang sesat dan menyesatkan itu dan tetap bermain watak dan berperangai tipu muslihat, mengutuk dan menuduh Leluhur umat Islam dengan dusta, keji, nifaq dan taqiyyah, kemudian menghimbau kaum Muslimin untuk menutup mata dan menolerir kekejian dan kejahatan yang mereka tulis, katakan, yakini dan perbuat itu, malah mereka ngotot agar Syi'ah Rawafidh yang begitu Aqidah dan perangainya dianggap sebagai saudara se Islam dan saudara sekiblat?.

Logika picik dan tidak lurus itu, tidak akan dikatakan oleh seorang yang berakal yang menghargai diri dan akalnya setelah mengkaji dan mengetahui apa yang dianut, diyakini dan ditulis dalam buku-buku rujukan Agama mereka. Tipu daya picik mereka itu tidak akan memperdaya seorang Muslim beriman yang Allah terangi akal budi dan jiwanya.
Mukaddimah ini kami akhiri dengan Firman Allah Subhanahu Wa ta'ala

إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ

Artinya:"Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang Dia menyaksikannya". (Qaaf: 37).

Shoffiyah Az Zahra

Kamis, 27 Juni 2013

ADAKAH BID'AH TERBAHAGI DUA?


Beberapa golongan ulama ahli Sunnah wal Jamaah dari kalangan Salaf as-Soleh telah membahagikan bid'ah kepada dua bahagian iaitu bid'ah yang diistilahkan sebagai bid'ah hasanah (بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ) "bid'ah yang baik" dan bid'ah dhalalah (بِدْعَةٌ ضَلاَلَةٌ) "bid'ah yang sesat".

Perselisihan dalam soal pembahagian bid'ah timbul lantaran kekeliruan umat Islam selepas zaman as-Salaf dalam memahami istilah bid'ah dan kesilapan pada memahami maksud dari penggunaan bahasa bid'ah itu sendiri oleh masyarakat 'Ajam (bukan Arab). Antara punca-punca yang lain ialah:

(1). Timbulnya beberapa kecelaruan untuk menentukan asas dan cara mengistimbat hukum ahkam serta pemahamannya. (Lihat: علم اصول البدع Hlm. 43. Ali Hasan) Untuk mengatasi masalah ini sebahagian ulama yang terpengaruh dengan kaedah mantik (logik) Yunani (Greek) menggunakan kaedah ini untuk memahami istilah agama dan cara mengistimbat hukum halal dan haram di dalam syara. Kejadian ini telah berleluasa dan ketara terutamanya selepas berlalunya zaman Salaf as-Soleh disebabkan menularnya kejahilan, kehilangan (kematian) ulama sunnah, bertambahnya ulama bid'ah, ulama nifak dan ulama pengampu yang suka bekerjasama dengan pemerintah zalim yang sentiasa berusaha untuk menghapuskan ulama sunnah dan para pengikut mereka.

Dari Ziad berkata: Pernah berkata kepada aku 'Umar radhiallahu 'anhu:


هَلْ تَدْرِىْ مَا يُهْدِمُ دِيْن اْلاِسْـلاَمِ ؟ قُلْتُ : لاَ . قَالَ يُهْدِمُ زِلَّةُ الْعَالِمِ وَجِدَالُ مُنَافِقِ بِاْلآيَاتِ وَحُكْمُ اْلاَئِمَّةِ الْمُضِلِّيْنَ

"Tahukah engkau siapa yang menghancurkan agama Islam? Aku berkata: Tidak! Beliau berkata: Yang menghancurkannya ialah orang alim yang jahat (yang sukakan bid'ah), perbincangan (perdebatan) orang munafik tentang ayat-ayat (Allah) dan perlaksanaan hukum dari para pemimpin pemerintah yang zalim". (Dikeluarkan oleh: (1). Ad-Darami dalam "As-Sunan". Jld. 1. 71. (2). Ibn Abdulbar dalam جامع البيان العلم. Jld. 2. Hlm 110. (3). Abu Syamah dalam الباعث على انكار البدع والحوادث. Hlm. 13)

(2). Mematuhi (ittiba') kehendak hawa nafsu dalam menentukan hukum ahkam agama adalah antara punca berlakunya bid'ah. (Dikeluarkan oleh: (1). Ad-Darami dalam "As-Sunan". Jld. 1. 71. (2). Ibn Abdulbar dalam جامع البيان العلم. Jld. 2. Hlm 110. (3). Abu Syamah dalam الباعث على انكار البدع والحوادث. Hlm. 45) Sepatutnya setiap individu muslim berittiba' kepada al-Quran dan as-Sunnah dan tidak bertaklid buta serta berittiba' kepada hawa nafsu yang menjadi punca utama berlakunya penyelewengan dari jalan Allah yang lurus.

Syara’ mewajibkan setiap mukmin hanya mengikut jalan Allah yang dipandu oleh sunnah Rasul-Nya. Meninggalkan sunnah samalah seperti meninggalkan petunjuk yang mengakibatkan berlakunya bid'ah dan kesesatan sebagaimana keterangan nas di bawah ini:

وَلاَ تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلُّكَ عَنْ سَـبِيْلِ اللهِ اِنَّ الَّذِيْنَ يُضِـلُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيْدٌ بِمَا نَسُوْا يَوْمَ الْحِسَابِ

"Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu kerana ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat kerana mereka melupakan hari perhitungan". (Shaad, 38: 26)

وَمَنْ اَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًاى مِنَ اللهِ

"Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun". (al-Qasas, 28: 50)

Berkata Ubay bin Ka'ab radhiyallahu 'anhu:

عَلَيْكُمْ بِالسَّـبِيْلِ وَالسُّنَّةِ ، فَاِنَّهُ لَيْسَ مِنْ عَبْدٍ عَلَى سِبِيْلٍ وَسُـنَّةٍ ذَكرَ الرَّحْمَنَ فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ مِنْ خَشْيَةِ اللهِ فَتَمَسَّهُ النَّار اَبَدًا . وَاِنَّ اِقْتِصَـادًا فِىْ سَبِـيْلِ سُـنَّةٍ خَيْرٌ مِنْ اِجْتِهَادٍ فِىْ خِلاَفِ سَبِيْلٍ وَسُنَّةٍ

"Hendaklah kamu mengikut jalan (Allah) dan sunnah (Rasul-Nya). Maka sesungguhnya tidak akan diperolehi oleh seseorang hamba yang tidak mengikut jalan (Allah) dan sunnah (Rasul-Nya walaupun) berzikir kepada Rahman (Allah) sehingga mengalir air matanya kerana takutkan Allah, namun dia akan tetap disentuh (dimasukkan) ke dalam neraka (lantaran tidak mengikut sunnah). Sesungguhnya berpada-pada (dalam melakukan ibadah tetapi) mengikut jalan (Allah) dan sunnah (contoh Rasul-Nya) lebih baik dari bersungguh-sungguh tetapi menyalahi (terkeluar) dari jalan (Allah) dan sunnah (Rasul-Nya)". ((1). Dikeluarkan oleh Ibn Battah dalam "Al-Ibanah" (1/27/1) Makhtut. (2). Al-Lalikaii. Lihat: شرح اصول اعتقاد اهل السنة. Jld. 1 Hlm. 54. (3). Abu Na'em. Lihat: حلية الاولياء. Jld. Hlm. 252-253. (4). Ibn Jauzi. Lihat: تلبيس ابليس. Hlm. 9. (5). Imam as-Syatibi. Lihat: الاعتصام. Jld. 1. Hlm. 81 dan 94. (6). Al-Baghawi. Lihat: شرح السنة. Jld. 1. Hlm. 208)

Al-Juneid rahimahumullah juga pernah berkata:

اَلطَّرِيْقُةُ كُلُّهَا مَسْدُوْدَةٌ اِلاَّ عَلَى الْمُتَّفِقِيْنَ آثَارِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْمُتَّبِعِيْنَ سُنَّتِهِ وَطَرِيْقَتِهِ ، فَاِنَّ طُرُقَ الْخَيْرَاتِ كُلُّهَامَفْتُوْحَةٌ عَلَيْهِ كَمَا قَالَ تَعَالَى (لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُوْلِ اللهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ)

"Semua jalan (ke syurga) tertutup kecuali bagi mereka-mereka yang mengikut (berpegang kepada) atsar Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam, mengikut sunnah serta jalannya. Maka sesungguhnya jalan-jalan semuanya dibuka di atas landasan sunnah sebagaimana firman Allah: Sesungguhnya telah ada bagi kamu pada diri Rasulullah contoh yang baik". (Lihat: تلبيس ابليس. Hlm. 10-11. Dan Lihat: الاعتصام. Jld. Hlm. 10-11)

Maksud sebenar dari istilah bid'ah yang dikehendaki oleh golongan Ulama Salaf as-Soleh bolehlah diringkaskan melalui penjelasan berikut ini:

1. Bid'ah dhalalah : (بِدْعَةٌ ضَلاَلَةٌ) "Bid'ah (ciptaan yang diada-adakan) yang menyesatkan" ialah setiap bid'ah yang bersangkut-paut dengan akidah dan amal-ibadah atau urusan agama (syara). Larangan melakukan bid'ah dalam hal ini amat tegas kerana agama Islam tidak boleh dibid'ahkan lagi, ia sudah cukup sempurna dan lengkap sebagaimana yang sudah dijelaskan dengan dalil-dalil dan hujjah-hujjah di atas. Bid'ah dhalalah menyebabkan pembuatnya ke neraka dan akan kekal di dalamnya jika yang dilakukan bid'ah akidah.

2. Bid'ah hasanah(بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ) : "Bid'ah yang baik". Bid'ah yang kedua ini hanya dimaksudkan pada bid'ah (ciptaan) dalam hal urusan (perkara-perkara) yang berbentuk keduniaan (kebendaan) semata. Sebagaimana yang telah kita fahami bahawa antara pengertian bid'ah ialah ciptaan. Usaha mereka-cipta (sesuatu ciptaan) yang berupa kebendaan atau kemajuan berbentuk keduniaan yang diperlukan oleh manusia amat digalakkan oleh agama selagi ciptaan (yang diistilahkan bid'ah keduniaan) tersebut tidak membahayakan atau memudaratkan manusia dan alam sejagat.

Terdapat beberapa nas yang menggalakkan orang-orang beriman supaya mencipta berbagai-bagai peralatan dan rekaan yang canggih untuk menjadi kegunaan, menambah kemakmuran dan memenuhi keperluan generasi manusia di dunia kerana dalam hal urusan dunia manusia diberi kebebasan dan lebih tahu menguruskannya sendiri menurut kemampuan dan kepakaran masing-masing sebagaimana sabda Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلِيْهِ وَسَلَّمَ : (اَنْتُمْ اَعْلَمُ بِشُـؤُنِ دُنْيَاكُمْ)

“Telah bersabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam: Kamu lebih tahu hal ehwal (urusan) dunia kamu”. (H/R Muslim)

وَقَالَ رَسُـوْلُ اللهِ صَـلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَـلَّمَ : ( اَنْـتُمْ اَعْلَمُ بِاَمْرِ دُنْيَاكُمْ )

"Bersabda Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam: Kamu lebih tahu (pandai) tentang urusan dunia kamu". (H/R Muslim)

Di dalam al-Quran terdapat ayat-ayat yang menggesa orang-orang beriman supaya mengecapi segala nikmat pemberian Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan jalan berusaha dan melakukan sesuatu. Antara cara yang digalakkan ialah dengan sentiasa membuat pembaharuan, mereka-cipta peralatan yang diperlukan oleh masyarakat dunia yang diistilahkan sebagai bid'ah (ciptaan) duniawi yang hasanah (baik).

Mencipta peralatan moden (teknologi canggih) adalah untuk kegunaan dan kemudahan manusia supaya dapat menjalani keselesaan dan kebahagian hidup agar dapat menunaikan ibadah di dunia dengan sempurna dan juga sebagai tanda kesyukuran mereka terhadap nikmat pemberian Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah telah berfirman:

وَابْتَغِ فِيْمَاآتَاكَ اللهُ الدَّارَ اْلآخِرَةَ وَلاَ تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَا اَحْسَنَ اللهُ وَلاَ تَبْغِ الْفَسَادَ فِى اْلاَرْضِ اِنَّ اللهَ لاَيُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ

"Dan carilah apa yang telah Allah berikan kepada kamu demi untuk akhirat dan jangan lupa pula bahagianmu (kenikmatan) di dunia dan berbuat baiklah (kepada yang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerosakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerosakan". (al-Qasas, 28: 77)

Orang yang beriman diangkat oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai khalifah-Nya di bumi ini. Mereka diseru supaya memakmurkan dunia antaranya melalui kemajuan dari hasil ciptaan (bid'ah) yang berbentuk kebendaan. Maka bid'ah (ciptaan baru) dalam berbagai-bagai bidang yang berbentuk keduniaan adalah fardu kifayah, sebaliknya pula bid'ah (ciptaan atau mengada-adakan sesuatu) di segi agama atau keagamaan adalah bid'ah dhalalah (menyesatkan) yang diharamkan oleh syara dari melakukannya buat selama-lamanya.

Memang ada segolongan ulama yang membahagikan bid'ah dalam urusan agama kepada bid'ah hasanah (baik) dan bid'ah qabihah (buruk). Ini adalah pembahagian yang batil. Agama atau syariat adalah hak Allah Subhanahu wa Ta'ala Tuhan semesta alam. Manusia tidak mempunyai hak untuk menentukan sesuatu perkara atau masuk campur dalam setiap urusan agama kerana semua yang berkaitan dengan agama Islam hanya urusan Allah semata.

Jika manusia dibenarkan masuk campur seperti menambah sesuatu (melakukan bid'ah) di dalam agama Allah ini, tentulah mereka dibenarkan juga mengurangkan sesuatu darinya. Namun, tidak pernah ada keizinan seperti itu dari al-Quran, as-Sunnah, athar yang sahih atau dari kalangan ulama Salaf as-Soleh. Dalam perkara ini seorang ulama telah memberi peringatan yang tegas melalui puisinya:

بدين المسلمين ، ان جاز زيد # فجازالنقص ايضاان يكونا
كفىذاالقول قبيحا ياخليلى # ولا يرضاه الا الجاهلون

"Dengan agama ini setiap Muslimin, jika dibenarkan menambah, maka akan dibenarkan juga mengurangkan, jika ini berlaku, cukuplah dikatakan perkara itu amat buruk wahai kekasihku. Dan tidak akan meredhainya yang demikian kecuali orang-orang yang jahil". (Lihat : تطهير الجنان عن درن الشرك والكفران Ahmad bin Hajar Ali Butami Ali as-Syafie as-Salafi. Hlm. 42-23)

SETIAP BID'AH DALAM AGAMA PASTI MENYESATKAN

(كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ)

"Setiap yang bid'ah itu sesat".


Perlu diperingatkan bahawa bid'ah di dalam perbincangan ini hanya merangkumi akidah, muamalah atau ibadah yang tidak melibatkan persoalan duniawi (kebendaan). Jika seseorang itu mahu memahami kesemua hadis-hadis yang telah dipaparkan kemudian mampu serta ada keinginan untuk membaca kitab-kitab yang menjelaskan sikap para sahabat terhadap setiap bid'ah, insya-Allah akan terbukti bahawa tidak terdapat walaupun seorang dari kalangan para sahabat Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam yang berani membahagikan bid'ah di dalam akidah, muamalah atau ibadah kepada dua bahagian, dua bentuk, dua cara, dua jenis atau lebih dari itu.

Kalimah kullu (كُلُّ) menurut ahli bahasa adalah salah satu bentuk kata umum. berkata Imam Syatibi rahimahullah:

مَحْمُولٌ عِنْدَ الْعُلَمَاءِ عَلَى عُمُوْمِهِ ، لاَ يُسْتَثْنَى مِنْهُ شَيْءٌ البَتَّة ، وَلَيْسَ فِيْهَا مَهُوَ حَسَنٌ اَصْلاً

"Menurut ulama: Hadis ini hanya diterapkan pada keumumannya, tanpa ada pengecualian apa pun darinya dan pada kalimah bid'ah tidak ada yang disebut bid'ah hasanah". (Lihat: الفتوى hlm. 181. as-Syatibi)

Adapun kalimah bid'ah dalam hadis ini ialah nakirah (indefinitif) yang jelas menunjukkan umum kerana tidak diawali dengan (ال). Begitu juga tidak seorangpun dari kalangan jumhur ulama hadis yang pernah mensyarahkan hadis-hadis yang berkaitan dengan bid'ah kepada dua jenis bid'ah atau lebih. Jika dibuat pengkajian secara ilmiyah, memang tidak kedapatan dari kalangan jumhur Ulama Salaf as-Soleh yang membahagikan bid'ah menurut syara kepada bid'ah hasanah dan bid'ah dhalalah.

Kalangan ulama khalaflah (ulama selepas zaman salaf) menjadi perintis dan yang mula-mula sekali membahagikan bid'ah kepada beberapa pecahan dan bahagian. Keadaan ini pesat berlaku terutamanya selepas 400 hijrah. Ini (antaranya) berpunca apabila lahirnya beberapa orang ulama selepas zaman Salaf (selepas kurun terbaik) khususnya yang terpengaruh dengan unsur-unsur metodologi pemahaman istilah Bahasa Arab yang diambil atau ditiru dari kaedah falsafah Bahasa Yunani, ditambah pula gerakan pemikiran falsafah Yunani yang tersebar luas dan lebih menekankan logika akal (mantik) dari kaedah naqal (pengambilan langsung dari al-Quran, as-Sunnah dan athar sahabat), maka kaedah Yunan (Greek) ini diguna pakai oleh sebahagian ulama Khalaf dalam menyelesaikan persoalan hukum ahkam dalam agama.

Cara yang betul dan selamat untuk memahami Bahasa Arab dan istilahnya mestilah melalui kaedah, cara, nahu atau tatabahasa melalui Bahasa Arab itu sendiri. Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam berbahasa dan berbangsa Arab. Al-Quran dan penafsirannya begitu juga as-Sunnah berserta syarahnya hanya menggunakan Bahasa Arab yang asli dan fasih (مُبِيْنٌ).

Kaedah yang selamat dan betul untuk memahami maksud dalam bahasa al-Quran serta as-Sunnah mestilah hanya dengan cara dan kaedah pemahaman melalui bahasa yang digunakan oleh kedua kitab tersebut berserta penafsirannya yang juga mestilah melalui bahasa itu sendiri. Adalah tidak tepat jika menggunakan bahasa asing atau elemen bahasa asing untuk memahami Bahasa Arab walau semaju mana sekalipun bahasa asing yang digunakan.

FUNGSI KALIMAH KULLU

Kalimah "Kullu" menurut ahli bahasa adalah salah satu bentuk kata umum. Imam Syatibi menjelaskan kaedah hadis ini yang menekankan kalimah kullu, iaitu:

مَحْمُوْلٌ عِنْدَ الْعَلَمَاء عَلَى عَمُوْمِهِ ، لاَيُسْتِثْنَى مِنْهُ شَيْءٌ اَلْبَتَّة وَلَيْسَ فِيْهَا مَا هُوَا حَسَنٌ اَصْلاً

"Menurut ulama, hadis ini diterapkan pada keumumannya tanpa ada pengecualian apa pun darinya. Pada bid'ah (di hadis ini pula) sama sekali tidak ada yang disebut (bid'ah) yang baik". (الفتوى Hlm. 180-18 Syatibi. Lihat: علم اصول البدع hlm. 91 Ali Hasan)

Antara fungsi kalimah (كُلُّ) yang digunakan oleh hadis di atas, dapat difahami dan diertikan dengan betul dan sempurna hanya melalui tatacara dan kaedah Bahasa Arab sahaja yang mana kalimah tersebut hanya boleh diertikan kepada makna: "Semua atau Kesemuanya".

Kalimah atau perkataan (كُلُّ) di dalam hadis ini adalah kalimah yang digunakan dalam Bahasa Arab untuk menjelaskan kepadatan atau kepastian yang semata-mata hanya memberi makna "Semuanya". Kalimah ini juga diistilahkan sebagai kalimah (جَامِعَةٌ) yang digunakan dalam Bahasa Arab hanya untuk menerangkan atau menunjukkan "kesemuanya atau keseluruhannya" tanpa adanya pengecualian sama sekali.

Dengan penjelasan ini perlu diberi penekanan dan perhatian yang serius bahawa kalimah (كُلُّ) dalam Bahasa Arab hanya memberi makna, erti dan maksud: "Semuanya atau Keseluruhannya". Ia sama sekali tidak boleh diterjemahkan kepada makna, erti atau maksud: "Separuh, Sebahagian atau Setengah". Maka hadis ini tidak membizakan dalam hukum antara satu bid'ah dengan bid'ah yang lain, iaitu tidak ada bid'ah hasanah dalam urusan agama.

Tambahan pula jika difahami kalimah kullu di hadis yang dibincangkan ini secara lahiriyah dan tabiinya menurut kaedah yang dimaksudkan oleh hadis tersebut, ia hanya memberi satu makna, satu maksud, satu erti dan satu tujuan iaitu "Setiap bid'ah itu pasti sesat" dan tidak boleh diertikan atau diterjemahkan kepada "Separuh, sebahagian atau setengah bid'ah itu baik (tidak sesat)". Menolak hakikat (istilah) kalimah ini samalah seolah-olah menganggap Nabi tidak tahu menggunakan istilah Bahasa Arab dengan betul maka anggapan serupa ini adalah kepercayaan yang dianggap bid'ah dan membawa kepada kekufuran yang nyata.

Dengan demikian tidak dapat diterima pendapat yang meyakini bahawa bid'ah dalam urusan agama terbahagi kepada dua, tiga atau lima bahagian kerana pembahagian seperti itu bertentangan dengan ketegasan dan maksud hadis-hadis yang menjelaskan bahawa hakikat bid'ah jika dilibatkan dalam persoalan syara adalah sesat keseluruhannya. Jika perbuatan menukar maksud dan makna kalimah kullu di hadis ini disengajakan sebagaimana yang dilakukan oleh sebahagian pengikut yang berpegang kepada kaedah mantik yang dipengaruhi oleh kaedah Yunani, ia adalah perbuatan yang fasik dan batil.

Secara ilmiyah, apabila dikembalikan kepada penilaian bahasa al-Quran kalimah atau perkataan (كُلُّ) yang terdapat di dalam al-Quran atau al-Hadis hanya memberi makna "kesemuanya" atau "keseluruhannya".

Untuk memahami satu-satu ayat atau kalimah yang terdapat di dalam al-Quran mestilah melalui panduan dan penafsiran yang telah disyaratkan oleh al-Quran itu sendiri, kemudian barulah melalui panduan as-Sunnah. Begitu juga, cara untuk memahami al-Hadis dan satu-satu kalimah dari hadis-hadis yang sahih dengan betul dan sempurna mestilah melalui al-Quran terlebih dahulu.

Dengan itu untuk memahami kalimah (كُلُّ) di hadis yang sahih ini tentulah melalui landasan kalimah yang seumpamanya yang banyak terdapat di dalam al-Quran. Kalimah kullu ini dapat difahami melalui firman Allah sepertimana di bawah ini yang menggunakan kalimah yang sama dan mempunyai fungsi yang serupa:

كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ

"Setiap yang hidup akan merasai mati". (Ali Imran, 3: 185)

Kedudukan kalimah (كُلُّ) pada ayat ini menunjukkan bahawa kalimah kullu tersebut hanya memberi maksud dan makna "semua, setiap atau keseluruhan" tanpa adanya pengecualian. Iaitu: "semua, setiap atau keseluruhan yang hidup akan mati" kerana inilah kenyataan yang wajib diyakini oleh setiap orang Islam yang beriman dengan keseluruhan ayat-ayat al-Quran bahawa setiap atau keseluruhan (كُلُّ) yang hidup akan menghadapi kematian kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana juga firman-Nya:

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُوْالْجَلاَلِ وَاْلاِكْرَامِ

"Kesemua yang terdapat di bumi akan binasa dan hanya yang tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan". (ar-Rahman, 55: 26-27)

Kedudukan kalimah kullu (كُلُّ) di ayat pertama mempunyai konsep dan fungsi yang sama dengan kedudukan kalimah kullu yang terdapat pada ayat yang kedua. Begitu juga kalimah (كُلُّ) pada kedua-dua ayat di atas ini mempunyai fungsi yang sama pula dengan kalimah kullu di hadis sahih yang telah kita bincang dan jelaskan.

Menafsirkan kalimah (كُلُّ) pada kedua-dua ayat di atas kepada pengertian separuh, setengah atau sebahagian adalah merupakan penafsiran atau pengolahan yang fasik lagi batil kerana bertentangan dengan kaedah penafsiran yang betul.

Telah terbukti bahawa kalimah kullu yang terdapat pada hadis tentang bid'ah yang sering menjadi isu ini tidak boleh dimaksudkan, diertikan, disyarahkan atau diterjemahkan kepada pengertian sebahagian, setengah atau separuh sebagaimana perbuatan segolongan ulama mantik kacukan Yunani kerana ia bertentangan dengan maksud hadis dan makna dari pengertian kalimah (كُلُّ) di dalam al-Quran dan juga hadis tersebut.

Menurut kaedah atau ketetapan ilmu usul jika sesuatu kalimah diulang berkali-kali di beberapa tempat sebagaimana diulang-ulangnya kalimah kullu (كُلُّ) dalam menetapkan bahawa "setiap (كل) bid'ah itu sesat", maka apabila ia terdapat dalam dalil-dalil (al-Quran, al-Hadis dan athar yang sahih) maka ia menjadi dalil syarii kulli (دليل شرعي كلي) iaitu: "Pasti setiap (كل) bid'ah itu sesat."

Penolakan adanya bid'ah hasanah dikuatkan dengan kenyataan bahawa tidak pernah terkeluar atau terucap dari mulut Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia walaupun sebuah sabda yang menerangkan adanya bid'ah hasanah (bid'ah yang baik) di dalam amal-ibadah atau akidah. Sebaliknya, pendapat dan ucapan yang mengatakan adanya bid'ah hasanah hanyalah berpunca dari kekeliruan pemahaman istilah bahasa atau hasil dari kata-kata serta pendapat yang direka oleh ulama suk dan bukanlah berdasarkan al-Quran, as-Sunnah atau athar yang sahih.

Pada hakikatnya tidak mungkin ada bid'ah hasanah dalam agama kerana secara jumlah bid'ah semuanya maksiat sebagaimana penjelasan as-syatibi:

وَلاَ شَكَّ اَنَّ الْبِدَعَ مِنَ الْجُمْلَةِ الْمَعْصِيَةِ

"Tidak dapat diragukan bahawa bid'ah secara keseluruhannya adalah maksiat." (Lihat: الاعتصام. Jld. 2. Hlm. 60)

وَانَّ السَّلَفَ لَمْ يُطْلقُوْا لَفْظَ الْبِدْعَةِ اِلاَّ عَلَى مَا هُوَ فِى نَظرِهِمْ مَذْمُوْم

"Sesungguhnya (para ulama) salaf tidak pernah menggunakan lafaz bid'ah kecuali terhadap apa yang mereka dapat tercela (maksiat)." (Lihat: البدع hlm. 182. 'Izzat 'Atiah)

Terdapat segolongan mubtadi' (pembuat bid'ah) beralasan bahawa kalimah "Kullu" dalam hadis yang sedang dibincangkan tidak menunjukkan erti umum dengan dalil bahawa Allah berfirman:

تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِاَمْرِ رَبِّهَا

"Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya". (al-Ahkaf, 56: 25)

Pembuat bid'ah seterusnya beralasan: Dalam ayat yang mulia di atas ini angin tidak menghancurkan segala sesuatu, maka hal ini menunjukkan bahawa kalimah "Kullu" tidak sentiasa menunjukkan erti yang bersifat umum.

Sebagai jawapan terhadap kesilapan mereka, bahawa kalimah "Kullu" dalam ayat di atas menunjukkan erti umum, sebab angin itu menghancurkan segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah untuk dihancurkan dan tidak segala sesuatu yang terdapat di dunia. Penjelasan ini berdasarkan tafsiran Ibn Jarir:

اِنَّمَا عَنَى بِقَوْلِهِ : { تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِاَمْرِ رَبِّهَا } مِمَّا اُرْسِلَتْ بِهَلاَكِهِ لاَنَّهَا لَمْ تُدَمِّْ هُوْدًا وَمَنْ كَانَ آمَنَ بِهِ

Sesungguhnya yang dimaksudkan Allah dengan firmanNya: Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya. Adalah bahawa angin menghancurkan segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah untuk dihancurkan. Sebab angin tidak menghancurkan Nabi Hud alaihis salam dan orang-orang yang beriman kepadanya". (Lihat: تفسير الطبرى (13/ 26-27))

Imam al-Qurtubi rahimahullah pula menafsirkan ayat di atas sebagai berikut:

اَيُّ كَلُّ شَيْءٍ مَرَّتْ عَلَيْهِ مِنْ رَجَالِ عَادٍ وَاَمْوَالِهَا

"Maksudnya, yang dihancurkan hanyalah segala sesuatu yang dilewati angin dari kaum 'Ad dan harta mereka". (الجامع لاحكام القرآن (16/206). Al-Qurtubi)

Begitu jugalah dengan pendapat para ulama tafsir yang lain tentang kalimah "Kullu" di ayat di atas. Oleh itu, menggunakan dalil bahawa kalimah "Kullu" dalam hadis tidak mengundang erti umum tidak dapat dijadikan hujjah sama sekali.

Syeikh Mulla Ahmad Rumi al-Hanafi amat tegas dalam perkara ini sehingga beliau berkata:

فَمَنْ اَحْدَثَ شَيْئًا يَتَقَرَّبُ بِهِ اِلَىاللهِ تَعَالَى مِنْ قَوْلٍ اَوْ فِعْلٍ ، فَقَدْ شَرَعَ مِنَ الدِّيْنِ مَا لَمْ يَاْذَنْ بِهِ اللهُ فَعُلِمَ اَنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ مَنَ الْعِبَادَةِ الدِّيْنِيَّةِ لاَ تُكُوْنُ اِلاَّ سَيِّئَةً

"Sesiapa yang membuat perkara yang baru untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan, sesungguhnya dia telah membuat syariat dalam agama dengan bentuk ibadah keagamaan, ia adalah bid'ah yang keji". (Lihat: علم اصول البدع hlm. 101 Ali Hasan)
 
Shoffiyah Az Zahra

ANCAMAN & BAHAYA BID'AH



Setiap amal yang tidak mengikut dan mencontohi sunnah maka ianya tidak akan berupaya untuk membawa pelakunya dekat kepada Allah Subhanahu wa-Ta'ala, bahkan akan semakin menjauhkannya dari Allah. Ini adalah kerana Allah memerintahkan manusia dan jin untuk beribadah kepada-Nya dengan ketentuan yang telah diperintahkan-Nya yang tidak boleh berdasarkan akal dan hawa nafsu. (Rujuk: مدارج السالكين 1/84. Ibnul Qaiyim)

Fitnah yang sangat besar bahayanya terhadap akidah dan muamalah (ibadah) Ummah Islamiyah ialah bid'ah dan kesan dari aktiviti para pelaku bid'ah (mubtadi'). Oleh itu para mukmin perlu memahami, mengetahui dan berhati-hati terhadap bid'ah dan para aktivisnya.

Syeikh al-'Allamah Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah telah menjelaskan:


ثُمَّ لَيُعْلَم اَنَّ هَذِهِ الْبَدَع لَيْسَتْ خُطُوْرَتُهَا فِى نِسْبَةٍ وَاحِدَةٍ بَلْ هِيَ عَلَى دَرَجَاتٍ : بَعْضُهَا شِرْكٌ وَكُفْرٌ صَرِيْحٌ وَبَعْضُهَا دُوْنَ ذَلِكَ

“Seterusnya telah jelas diketahui bahawasanya bid'ah ini bukanlah bahyanya pada satu nisbah sahaja, tetapi ia mengikut beberapa darjat: Sebahagiannya membawa kepada kesyirikan, kekufuran dan selain dari itu”. (Lihat: علم اصول البدع hlm. 32. Ali Hasan bin Ali bin Abdul Hamid)

Kemudian telah berkata Yahya bin Mu'az ar-Razi rahimahullah:


اِخْتِلاَفُ النَّاسِ كُلّهمْ يَرْجِعُ اِلَى ثَلاَثَةِ اُصُوْلٍ ، فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهَا ضِدٌّ ، فَمَنْ سَقَطَ عَنْهُ وَقَعَ فِى ضِدِّهِ : اَلتَّوْحِيْدُ ضِدُّهُ الشِّرْكُ ، وَالسُّنَّةُ وَضِدُّهَا الْبِدْعَةُ ، وَالطَّاعَةُ وَضِدُّهَا الْمَعْصِيَّةُ

“Ikhtilaf manusia keseluruhannya kembali kepada tiga usul, pada setiap satu ada lawannya, maka sesiapa yang jatuh pada salah satu (dari tiga usul ini) maka berlaku padanya lawannya: Tauhid lawannya syirik, sunnah lawannya bid'ah dan taat lawannya maksiat”. (Lihat: الاعتصام (1/91). As-Syatibi)

Antara bahaya bid'ah ialah Allah Azza wa-Jalla menghijab (tidak menerima/menutup) taubat ahli bid'ah selagi dia tidak bertaubat atau meninggalkan bid'ah yang dikerjakan. Hal ini dapat difahami dari hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi 'Asim dalam “Kitabus Sunnah” dari Anas bin Malik bahawa Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اِنَّ اللهَ حَجَزَ اَوْ قَالَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ صَاحَبِ بِدْعَةٍ

“Sesungguhnya Allah menahan (tidak menerima) atau pernah baginda (Rasulullah) mengatakan: Allah menutup pintu taubat orang yang melakukan bid'ah”. (Syeikh Muhammad Nashiruddin al-Albani menjelaskan bahawa hadis ini sahih. Hadis ini disokong oleh hadis Abu Hamzah (dikenali sebagai Anas bin 'Iyad al-Laitsi al-Madani seorang yang dipercayai “tsiqah”). Beliau termasuk salah seorang perawi Bukhari dan Muslim. Lihat: as-Sahihah. Hlm. 1620. al-Albani. Hadis ini diriwayatkan juga oleh at-Thabrani. Dan dinyatakan hasan oleh al-Munziri)

Al-Hasan bin Abi Hasan dan Abu 'Amr as-Syaibani rahimahullah berkata:

“Allah Tabaraka wa Ta'ala tidak menerima taubat Ahli Ahwa (pembuat bid'ah)”. (Lihat: شرح اصول اعتقاد اهل السنة Hlm 141. Dan Lihat: البدع والنهي عنها Hlm. 54)

Para sahabat radhiallahu 'anhum, para ulama dan semua pendakwah yang berpegang kepada manhaj Salaf as-Soleh sangat keras penentangannya terhadap semua jenis bid'ah dalam agama dan semua aktivis bid'ah. Ini amat jelas jika dinilai melalui apa yang diriwayatkan oleh Ibn Abdi al-Barr dalam kitabnya yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'oud radiallahu 'anhu:

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا اَخَذُوْا الْعِلْمَ عَنْ اَكَابِرِهِمْ فَاِذَا اَخَذُوْهُ مِنْ اَصَاغِرِهِمْ وَشِرَارِهِمْ هَلَكُوْا

“Akan sentiasa umat manusia dalam kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari tokoh-tokoh besar (ulama Ahli Sunnah) dari kalangan mereka. Maka apabila mereka mengambil dari orang-orang kecil (orang jahil) dan orang-orang keji (Ahli Bid'ah) maka nescaya mereka akan binasa.” (Lihat: جامع بيان العلم وفضله. Hlm. 248)

Setiap umat Islam yang beriman dari kalangan Ahli Sunnah wal-Jamaah yang berpegang dengan manhaj Salaf as-Soleh dingatkan oleh syara supaya sentiasa berhati-hati agar tidak belajar dan menerima hukum ahkam agama dari ulama bid'ah yang dikenali juga sebagai ulama su’ (علماء سوء) “Ulama Jahat”.

Ali bin Abi Talib radiallahu 'anhu menjelaskan:

اُنْظُرُوْا عَمَّنْ تَاْخُذُوْنَ هَذَا الْعِلْمَ فَاِنَّمَا هُوَ دِيْنٌ

“Selidikilah (ketahuilah terlebih dahulu) dari siapa kamu mengambil ilmu ini kerana ia adalah agama.” (Lihat: الكفاية. Hlm. 121. Al-Khatib al-Baghdadi)

Umat Islam diperingatkan oleh Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam agar berjaga-jaga dari penyebar bid'ah kerana di akhir zaman bid'ah akan merebak sehingga menguasai kehidupan masyarakat Islam seolah-olah ia suatu ledakan yang besar. Sabda Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam:

اِنَّ مِنْ عَلاَمَاتِ السَّاعَةِ وَاقْتِرَابِهَا اَنْ يَقِلَّ الْعِلْمُ وَيَكْثُرَ الْجَهْلُ

“Sesungguhnya di antara tanda-tanda Hari Kiamat dan hampirnya hari tersebut ialah berkurangannya ilmu dan bertambahnya banyak kejahilan”. (H/R Bukhari (1/178))

Menurut Abu 'Uthman Ismail Abdulrahman as-Sabuni bahawa maksud “ilmu” di hadis ini ialah “sunnah”, iaitu akan tiba di akhir zaman kurangnya manusia yang menyeru dan mengamalkan (menghidupkan) sunnah. Adapun makna “al-jahlu” (kejahilan) ialah “bid'ah”, yang bermaksud di akhir zaman pelaku bid'ah dan pembela (penyeru) bid'ah akan terus menerus bertambah dengan banyaknya. (Lihat: عقيدة السلف اصحاب الحديث Hlm. 124. as-Sabuni)

Ibn 'Umar radhiallahu 'anhuma pula pernah memberikan nasihatnya:

دِيْنُكَ ! دِيْنُكَ ! اِنَّمَا هُوَ لَحْمُكَ وَدَمُكَ فَانْظُرْ عَمَّنْ تَاْخُذُ خُذْ عَنِ الَّذِيْنَ اسْتَقَامُوْا وَلاَ تَاْخُذْ عَنِ الَّذِيْنَ مَالُوْا

“(Peliharalah) agamamu! (Peliharalah) agamamu! Ia adalah darah dan dagingmu, maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambilnya. Ambillah dari orang-orang yang beristiqamah (memelihara sunnah) dan jangan diambil dari orang-orang yang menyeleweng (melencong dari sunnah iaitu Ahli Bid'ah).” (Lihat: الكفاية Hlm. 121. Al-Khatib al-Bahgdadi)

Untuk menghindarkan diri dari perangkap bid'ah dan aktivisnya maka Abdullah bin Mas’oud telah berpesan:

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا اَخَذُوْا الْعِلْمَ عَنْ اَكَابِرِهِمْ فَاِذَا اَخَذُوْهُ مِنْ اَصَاغِرِهِمْ وَشِرَارِهِمْ هَلَكُوْا

“Akan sentiasa seseorang manusia dalam kebaikan selama ia mengambil ilmu dari tokoh-tokoh besar mereka (ulama sunnah). Jika ia mengambil ilmu dari orang-orang kecil (ulama bid'ah) di antara mereka maka nescaya mereka akan binasa”.

Imam Abu Fadl al-Hamadani rahimahullah berkata:

“Pelaku bid'ah dan para pemalsu hadis lebih berbahaya daripada orang-orang kafir yang terang-terangan menentang Islam. Kaum kuffar menentang Islam dari luar sedangkan ahli bid'ah menghancurkan Islam dari dalam. Pelaku bid'ah diumpamakan sebagai penduduk kampung yang ingin menghancurkan kampungnya, sedangkan kuffar diumpamakan musuh di luar benteng yang sedang menunggu pembukaan pintu oleh ahli bid'ah. Ahli bid'ah berupaya memberi kesan yang amat buruk terhadap Islam jika dibandingkan (dengan kuffar) yang menentang Islam secara terang-terangan.” (Lihat: الموضوعات Ibn al-Jauzi. نقد الرجال Hlm. 128)

Sebahagian pengikut Imam Syafie dan Imam Ahmad menghalalkan membunuh para penyeru (pendakwah) bid'ah yang jelas telah menentang al-Quran. Begitu juga pandangan pengikut Imam Malik yang menjelaskan bahawa beliau menghalalkan membunuh golongan Qadariah bukan kerana murtadnya mereka tetapi kerana mereka menyeru kepada kerosakan (bid'ah) di permukaan bumi. (Lihat: الموضوعات Ibn al-Jauzi. نقد الرجال. Hlm. 128)

Keseluruhan para ulama Ahli Sunnah wal Jamaah yang berpegang dengan manhaj salaf mengharamkan orang-orang beriman dari berteman dan menghadiri apa pun majlis bid'ah terutamanya majlis pengajian ilmu (mujalasah) yang diadakan oleh ahli al-bida’ (اهل البدع) sebagaimana yang diperingatkan oleh para ulama salaf di bawah ini:

Berkata Imam al-Barbahari:

“Apabila kamu mendapati seorang yang bersungguh-sungguh menyiksa dan menganiaya dirinya dengan meninggalkan urusan dunianya semata-mata untuk beribadah maka dia adalah mengikut hawa nafsu (dia ahli bid'ah). Janganlah kamu berkawan, duduk-duduk bersamanya, mendengar perkataan, berjalan bersama-sama kerana saya tidak menjamin kamu (akan selamat dari bid'ah - pent) jika kamu bersamanya”. (Lihat: شرح السنة Hlm. 104. Imam al-Barbahari)

Al-Hasan rahimahullah berkata:

“Janganlah kamu berteman dengan pengikut hawa nafsu (ahli bid'ah) kerana akan tersemai di hatimu apa yang telah kamu terpengaruh darinya. Akhirnya kamu akan binasa atau kamu mengingkari (sesuatu dalam agama) sehingga hatimu menjadi tersiksa.” (Lihat: البدع Hlm. 17. Dr. Ali bin Muhammad Nashir al-Fazihi)

Imam az-Zahabi rahimahullah berkata:

“Berpegang kepada sunnah bermakna menghidupkan hati. Apabila seseorang membiasakan hatinya untuk menerima amalan bid'ah maka hati tersebut tidak akan memuliakan sunnah”. (Lihat: علم اصول البدع. Hlm. 288-289. Ali Hasan)

Ibnu Sirin rahimahullah berkata:

Tidak pernah ditemui seseorang yang melakukan bid'ah akan menolak bid'ah-bid'ah yang lain”.

Ini bermakna pelaku bid'ah sememangnya menggemari setiap apa sahaja jenis bid'ah yang disangkanya baik. Kebiasaannya mereka memang jahil (kurang memahami tentang syara’ atau sunnah). Lantaran kejahilan tersebut, penggemar bid'ah pasti akan mencintai apa sahaja perbuatan bid'ah kerana dianggapnya amalan yang berpahala. Akhirnya mereka lebih menggemari dan mempertahankan bid'ah dari sunnah yang jelas ada dalilnya untuk diamalkan.

Ahli bid'ah sama ada para penyebarnya (penyeru dan pendakwahnya) atau pengikutnya, mereka bukan sahaja akan memikul dosanya sendiri tetapi akan berterusan memikul dosa-dosa orang lain yang meniru perbuatan bid'ah yang mereka hidupkan sehinggalah ke Hari Kiamat. Firman Allah Azza wa-Jalla:

لِيَحْمِلُوْا اَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمِنْ اَوْزَارِ الَّذِيْنَ يُضِلُّوْنَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ

“Mereka akan menanggung dosa mereka keseluruhannya pada Hari Kiamat, dan akan menanggung dosa orang yang mereka sesatkan tanpa ilmu”. (an-Nahl, 16: 25)

SALAH FAHAM TERHADAP BID’AH

Pelaku bid'ah sama ada bid'ah yang berbentuk akidah atau muamalah, mereka tidak akan merasa gerun atau takut untuk melakukan bid'ah tersebut kerana mereka menyangka bahawa bid'ah terbahagi kepada dua, iaitu bid'ah hasanah dan bid'ah dholalah, mereka berhujjahkan hadis di bawah ini:

مَنْ سَنَّ فِىاْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ اَجْرُهَاوَاَجْرُمَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ غَيْرَ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ اُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً سِيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ اَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Barangsiapa menghidupkan dalam Islam satu sunnah dari sunnah yang baik, maka baginya ganjaran pahala dan pahala tambahan dari orang yang meniru (mengamalkan sepertinya) sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun pahala tersebut. Dan barangsiapa yang menghidupkan suatu sunnah dari jenis sunnah yang keji dalam Islam maka baginya dosa dan tambahan dosa bagi sesiapa yang meniru (mengikut jejaknya) sesudahnya tanpa dikurangkan sedikitpun dosa-dosa mereka itu.” (H/R Muslim)

Kalimah sunnah yang terdapat pada hadis di atas tidak boleh dimaksudkan sebagai bid'ah atau bid'ah hasanah. Adalah suatu kesilapan yang besar bagi sesiapa yang mengertikannya sedemikian. Kekeliruan ini boleh dijelaskan dan difahami melalui penerangan sebagaimana berikut:

Makna as-Sunnah: Menurut etimologi (bahasa) as-Sunnah diambil dari kata-kata:

سَنَّ - يَسِنُّ - وَيَسُنُّ - سُنًّا

Sunnah menurut bahasa ialah:

اَلسُنَّةُ هِيَ الطَّرِيْقَةُ ، مَحْمُودَةٌ كَانَتْ أمْ مَذْمُوْمَةٌ

“As-Sunnah ialah jalan, sama ada yang baik (terpuji) atau yang keji.” (Lihat: لسان العرب - مادة (سنن))

Sunnah boleh memberi maksud:

“Kebiasaan, perilaku, cara hidup dan suatu kaedah/method. Ia juga membawa: (السيرة): as-Sirah.” (Lihat: مختار الصحاح. Hlm. 133. Ar-Razi)

Sunnah menurut syara’:

“Apa yang dipindah/diambil (diriwayatkan, diterima dan diambil) dari Nabi Muhammad (sallallahu 'alaihi wa sallam) dan para sahabat baginda berkaitan dengan akidah dan amal.” (Lihat: لغة الاعتقاد الى سبيل الرشاد. Hlm. 40. Al-Uthaimin) Sunnah diistilahkan juga sebagai: (الطريقة المحمدية): “Jalan atau petunjuk Muhammad (sallallahu 'alaihi wa sallam) atau (السنة المحمدية): “Sunnah Muhammad (sallallahu 'alaihi wa sallam)”.

Menurut istilah Ahli Usul pula ialah:

“Segala yang disalin (dipindah, diambil, dinukil dan diriwayatkan) dari Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam secara khusus. (Lihat: الموافقات juz. 4. Hlm. 47. As-Syatibi) Ia berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, akhlak, disiplin dan segala yang bersangkutan dengan hukum halal dan haram.”

Pengertian ini dapat difahami melalui sabda Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam di bawah ini:

تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُ اِنْ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ رَسُوْلِهِ.

“Sesungguhnya aku telah tinggalkan kepada kamu dua perkara yang mana kamu tidak akan sesat buat selama-lamanya selagi berpegang dengan keduanya iaitu Kitab Allah (al-Quran) dan sunnah Rasul-Nya.” (H/R Muslim. (2137) Al-Haj. Abu Daud (1628) al-Manasik. Ibn Majah (3060) Al-Manasik)

Jika dikembalikan kepada istilah, bid'ah amat berbeza dengan sunnah kerana bid'ah ialah mengada-adakan (mencipta atau mereka-reka sesuatu yang baru) dalam agama. (Lihat: اللمع فى الرد على محسني البدع Abdul Qayyum bin Muhammad bin Nasr)

Hadis yang dijadikan hujjah untuk membolehkan membuat bid'ah ini sebenarnya menggesa agar: “Menghidupkan sunnah Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam yang telah ditinggalkan oleh ummah.” Ia bukan bermaksud: “Halal mencipta atau melakukan bid'ah yang tidak ada contohnya dari Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam.”

Hadis tersebut disyarahkan oleh Imam Nawawi di dalam kitab sahih Muslim di bawah tajuk:

(اَلْحَثُّ عَلَى الصَّدَقَةِ وَاَنْوَاعِهَا وَاَنَّهَا حِجَابٌ مِنَ النَّارِ)

“Galakan untuk bersedekah dan jenis-jenis sedekah yang ianya menghijab dari api neraka.” (Lihat : صحيح مسلم ، بشرح النووي. Juz. 7. Hlm. 104)

Dalam syarahnya Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan:

“Pada hadis ini suatu pengkhususan dari sabda Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam bahawa setiap yang diada-adakan itu bid'ah dan setiap bid'ah itu sesat. Apa yang dimaksudkan oleh Rasulullah ialah setiap yang diada-adakan itu batil dan menjadi bid'ah yang tercela.” (Lihat : صحيح مسلم ، بشرح النووي. Juz. 7. Hlm. 104)

Mengerjakan bid'ah termasuklah yang disangka bid'ah hasanah tidak boleh dianggap sebagai menghidupkan sunnah kerana sunnah ada contohnya dari Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat. Sebaliknya bid'ah tidak ada sama sekali contohnya kerana ia suatu yang baru, ciptaan baru, yang diada-adakan dan rekaan yang tidak ada contoh sebelumnya sama ada dari al-Quran atau as-Sunnah.

Apa yang dijelaskan oleh Imam Nawawi apabila mensyarahkan hadis di atas merupakan suatu galakan kepada setiap orang-orang yang beriman supaya menghidupkan kembali segala sunnah yang telah ditinggalkan atau tidak lagi dikerjakan oleh ummah. Ia bukan bermaksud supaya mengada-adakan suatu yang baru dengan mencipta beberapa bid'ah yang mana ciptaan tersebut tidak ada sama sekali suruhan atau contohnya dari Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam, dari para sahabat, dari tabiin atau para Salaf as-Soleh.

Penjelasan Imam Nawawi ini amat bersesuaian dengan hadis Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam di bawah ini:

مَنْ اَحْيَا سُـنَّةً مِنْ سُنَّتِيْ قَدْ اُمِيْتَتْ بَعْدِيْ فَاِنَّ لَهُ اْلاَجْرِ مِثْلَ اَجْرِمَنْ عَمِلَ بِهَا مِنَ النَّاسِ لاَ يَنْقُصُ مِنْ اُجُوْرِ النَّاسِ شَـيْئًا وَمَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً لاَ يَرْضَـاهَا اللهُ وَرَسُــوْلُهُ فَاِنَّ عَلَيْهِ مِثْلِ آثِمِ مَنْ عَمِلَ بَهَا مِنَ النَّاسِ لاَ يَنْقُصُ مِنْ آثِمِ النَّاسِ شَيْئًا

“Barangsiapa yang menghidupkan suatu sunnah dari sunnahku setelah ia dimatikan (ditinggalkan oleh manusia) selepas (peninggalan)ku, maka baginya pahala sebagaimana pahala sesiapa yang mengerjakannya dari kalangan manusia yang tidak dikurangkan sedikitpun pahala tersebut sebagaimana pahala yang diberikan kepada manusia yang menirunya. Dan sesiapa yang melakukan suatu bid'ah yang tidak diredhai oleh Allah dan Rasul-Nya maka baginya dosa sebagaimana dosa sesiapa yang (meniru) mengamalkan tanpa dikurangkan dosa tersebut walau sedikitpun.” (H/R Ibn Majah (207), al-Iman. Turmizi (2601), al-Ilm. Ibn Abi 'Asim dalam 'As-Sunnah” (1/23). Berkata Turmizi dan al-Bahgawi: Hadis Hasan)

Menghidupkan sunnah hanyalah melalui contoh (ittiba' kepada sunnah) dari Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam. Menghidupkan satu bid'ah samalah seperti mematikan satu sunnah dan ini pasti berlaku apabila sunnah ditinggalkan dan mengambil sebaliknya. Dalam hal ini Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ عَامٍ اِلاَّ فِيْهِ بِدْعَةٌ وَتَمُوْتُ فِيْهِ سُنَّةٌ حَتَّى تَظْهَرُ الْبِدَعُ وَتَمُوْتُ السُّنَنُ

“Tidak ada suatu tahun kecuali akan berlaku padanya satu bid'ah dan akan mati satu sunnah, hingga nyatalah (terang-terang dikerjakan) perbuatan bid'ah dan (diketika itu) matilah (lenyaplah) sunnah-sunnah. (H/R at-Thabrani dan Ibn Wadha dalam al-Bida')

Selain daripada sunnah adalah bid'ah dholalah kerana pengertian sunnah sebagaimana yang telah dijelaskan ialah “Jalan” atau “Yang diambil (diittiba') dari contoh Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam”. Ini bermakna jalan yang diperkenankan hanyalah jalan yang ada nasnya dari syara iaitu agama Islam yang diturunkan dari langit, bukan melalui jalan-jalan (bid'ah) yang dicipta oleh manusia. Nas-nas di bawah ini menjelaskan:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْـعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : خَطَّ رَسُـوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَـلَّمَ لَنَا خَطًّا ثُمَّ قَالَ : هَذَ سَبِيْلُ الله ثُمَّ خَطَّ خُطُوْطًا عَنْ يَمِيْنِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ وَقَالَ هَذِهِ سُبُـلٌ عَلَى كُلِّ سَـبِيْلٍ مِنْهَا شَيْـطَانٌ يَدْعَوْ اِلَيْهِ وَقَرَاَ : (وَاَنَّ هَذَا صِرَاطِى مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ) وَلاَ تَتَّبِعُوْا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

“Dari Abdullah bin Mas’oud radhiallahu 'anhu: Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam telah menggariskan kepada kami satu garisan kemudian bersabda: Ini jalan Allah. Kemudian menggariskan pula beberapa garisan ke arah kanan dan ke arah kiri baginda lantas bersabda: Inilah jalan-jalan yang mana di atas setiap jalan tersebut syaitan mengajak kepadanya, seterusnya baginda membacakan ayat: (Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah (ittiba'lah) jalan tersebut dan janganlah kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) maka kamu akan disesatkan oleh jalan tersebut. Itulah menjadi wasiat bagi kamu mudah-mudahan kamu menjadi orang-orang yang takwa).” (al-An’am, 6: 153)

Menurut riwayat dari Abi al-Hajjaj bin Jabr al-Makki rahimahullah seorang tabiin dari kalangan imam tafsir, bahawa ayat (وَلاَ تَتَّبِعُوْا السُّبُلَ) “Jangan kamu ikut jalan-jalan (yang lain)” yang dimaksudkan ialah: “(Jalan/perbuatan) yang bid'ah dan yang syubhat.” (Lihat: علم اصول البدع hlm. 40. Ali Hassan bin Abdul Hamid. Dikeluarkan oleh at-Tayalisi dalam musnad (244). Al-Lalikai dalam شرح اصول اعتقاد اهل السنة والجماعة. Jld. 1. Hlm. 80-81. Ahmad (1/435-465). Ibn Abi 'Asim dalam السنة, (1/13). An-Nasii dalam السنن الكبرى Ibn Habban (1/105). Al-Hakim dalam المستدرك (2/318))

Antara nas yang membuktikan bahawa yang dimaksudkan oleh ayat di atas ialah jalan Allah atau sunnah Allah dan Rasul-Nya ialah sabda Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam:

فَسُـنَّةُ اللهِ وَسُــنَّةُ رَسُــوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَـلَّمَ اَحَقُّ اَنْ تَتَّبِعَ مِنْ سُنَّةِ فَلاَن اِنْ كُنْتَ صَادِقًا

“Maka sunnah Allah dan sunnah Rasul-Nya lebih hak kamu ikuti dari sunnah si Pulan jika kamu termasuk orang yang percaya (beriman).” (H/R Muslim)

قَالَ ابْنُ مَسْـعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : عَلَيْكُمْ بِالطَّرِيْقِ فَالْزَمْهُ وَلَئِنْ اَخَذْتُمْ يَمِيْنًا وَشِمَالاً لَتَضِلُّنَّ ضَلاَلاً بَعِيْدًا

“Hendaklah kamu sekalian mengikuti satu jalan (ajaran Rasulullah salallahu 'alaihi wa-sallam) dan tetaplah kamu berpegang dengannya. Kalau kamu mengikut jalan ke kanan atau ke kiri nescaya kamu akan sesat dengan kesesatan yang jauh”.

Selain berpegang dengan sunnah Rasul-Nya, Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam turut menyeru agar orang-orang yang beriman mengikuti (ittiba' kepada) sunnah para sahabat terutamanya para Khulafa ar-Rasyidin kerana mereka telah dijamin masuk Syurga, kekal di dalamnya, mereka meredhai Allah dan Allah redha kepada mereka sebagaimana firman Allah:

وَالسَّابِقُوْنَ الاَوَّلُوْنَ مِنَ الْمُهَاجِرِيْنَ وِاْلاَنْصَارِ وَالَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُمْ بِاِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ وَاَعَّدَ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِيْ تَحْتَهَا الاَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فَيْهَا اَبَدًا ، ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمِ

“Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti (berittiba' kepada) mereka dengan baik, Allah reda kepada mereka dan merekapun reda kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka syurga-syurga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (at-Taubah, 9: 100)

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِىْ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah para Khulafa ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk selepasku. Peganglah ia kuat-kuat dan gigitlah dengan gigi geraham.” (H/R Muslim)

Banyak nas-nas dari syara’ menyeru agar orang-orang beriman berittiba' kepada sunnah bukan bertaqlid buta kepada pembuat bid'ah. Malah tidak pernah terdapat walau satu nas dari syara’ yang mengizinkan atau menyuruh seseorang itu berbuat bid'ah. Semua perbuatan dalam agama yang berbentuk atau berunsur bid'ah telah ditegah (dilarang atau diharamkan) oleh syara’ sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibn Mas'oud radhiallahu 'anhu:

اِتَّبِعُوْا وَلاَ تَبْتَدِعُوْا فَقَدْ كُفِيْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Hendaklah kamu ittiba' (patuh mengikuti syara’) dan janganlah melakukan bid'ah (menambah atau mencipta sesuatu yang baru dalam agama). Sudah memadai (sudah sempurna) bagi kamu sunnah nabi kamu dan setiap yang bid'ah itu sesat.” (Atsar yang sahih. Diriwayatkan dari kalangan tabi’in yang ramai jumlahnya, antaranya ialah: (1). Abu Abdul Rahman as-Salami yang dikeluarkan oleh at-Tabari (8870). Baihaqi di “Madhal” (204). Telah dijelaskan oleh al-Haitami di “al-Mujmak” (1/181) bahawa perawinya semuanya sahih. (2). Ibrahim an-Nakhii. (3). Qatadah, dikeluarkan oleh Ibn Wadah dalam (البدع والنهي عنها) hlm. 11 dari jalan Abi Hilal, beliau dipercayai dan Imam Bukhari mengambil juga dari hadisnya sebagaimana di at-Ta'lik. Menurut Nasruddin al-Albani: Athar ini adalah sahih)

Dalam hal wajibnya ittiba' dan haramnya melakukan bid'ah, Syeikh al-Qarafi rahimah humullah berkata:

فَاِنَّ الْخَيْرَ كُلَّهَا فِى اْلاِتِّبَاعِ وَاِنَّ الشَّرَّ كُلَّهَا فِى اْلاِبْتِدَاعِ

“Sesungguhnya kebaikan seluruhnya hanya dengan cara ittiba' (mengikuti dan taat kepada sunnah) dan keburukan (kesesatan) keseluruhannya ada pada bid'ah.” (Lihat: الفروق. Jld. 4. Hlm. 205. Al-Qarafi)

Berkata pula Imam as-San'ani rahimahullah:

لَيْسَ فِى الْبِدْعَةِ مَا يُمْدَحُ بَلْ كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Tidak terdapat dalam bid'ah itu apa yang terpuji (hasanah) tetapi semua bid'ah itu sesat.” (Lihat: سبل السلام jld. 2. hlm. 12. As-San'ani)

Melalui nas-nas di atas amat jelas bahawa Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan setiap mukmin ittiba’ (mengikuti) sunnah Allah, sunnah Rasul-Nya serta sunnah para sahabat dan mengharamkan mereka daripada mengikuti sunnah si Pulan dan si Pulan termasuklah sunnah Yahudi, Nasrani atau Majusi sebagaimana sabda baginda:

عَنْ اَبِى سَـعِيْدِ الْخُـدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُـوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَـلَّمَ لَتَتَّبِعَنَّ سُـنَنَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوْا فِى حُجْرِ ضَبٍّ لاَ تَبَعْتُمُوْهُمْ قُلْنَا : يَا رَسُوْلَ اللهِ الْيَهُوْدَ والنَّصَارَى ؟ قَالَ فَمَنْ.

“Dari Sa'ied al-Khudri radiallahu 'anhu berkata: Bersabda Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam: Akan terdapat mereka yang mengikut sunnah (cara hidup) mereka yang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta sehingga masuk ke lubang biawak kamu akan masuk ke dalamnya juga. Mereka bertanya: Wahai Rasulullah! (Adakah mereka mengikuti cara) Yahudi dan Nasrani? Baginda bersabda: Siapa lagi kalau tidak mereka?.” (H/R Bukhari (3197). Muslim (4822). Ibn Majah (3948). Ahmad (1023))
 
Shoffiyah Az Zahra

MEMAHAMI PENGERTIAN BID’AH

Bid’ah:
“Suatu bentuk amalan (dalam beragama) yang baru yang tiada contohnya daripada sumber yang haqq bagi tujuan (dengan niat) mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala
Intipatinya:
1 – Suatu amalan/kaedah
2 – yang baru (yang tiada dasar/contoh)
3 – dengan niat beribadah (mendekatkan diri kpd Allah).
Mari kita lihat satu persatu:
Tulisan seterusnya ini di-ambil dari kertas kerja Ustaz Rasul bin Dahri.

PENGERTIAN BID'AH MENURUT BAHASA

Definisi bid'ah menurut takrif etimologi diambil dari asal perkataan al-bida' (اَلْبِدَع) yang memberi makna atau maksud: 

"Mencipta (atau mengada-adakan sesuatu pekerjaan, amalan, benda atau perkara) yang sama sekali tiada contoh atau misal sebelumnya". (Lihat: الاعتصام للشاطبي Jld. 1. hlm. 36)
Asal Kalimah/Perkataan:
(بَدَعَ - يَبْدَعُ - بِدْعًا)
Atau
(بَدَعَ - بِدَاعَةً - بَدُوْعًا)
Atau
(اَبْدَعَ - اِبْتَدَعَ - تَبَدَّعَ)
Kalimah atau perkataan di atas memberi erti: "Mencipta, mereka-reka, mengada-adakan, memulakan atau sesuatu yang baru (pertama-tama diadakan)".

Al-bid'ah (البدعة) juga nama yang diberikan ke atas perbuatan yang sengaja diada-adakan dan jamaknya bida' (بدع) (Lihat: الاعتصام للشاطبي Jld. 1. hlm. 57) atau apa yang dicipta dalam agama dan selainnya (Lihat: العين Jld. 2. Hlm. 55.) dan sesiapa yang mengada-adakan sesuatu dia dianggap telah melakukan bid'ah. Dalam "Takrifat" pula ia ditetapkan sebagai setiap amal yang bertentangan dengan sunnah yang berupa sesuatu urusan yang diada-adakan. (Lihat: التعريفات hlm. 43)
Berkata Imam ath-Thurthusi rahimahullah:

اَصْلُ هَذِهِ الْكَلِمَةِ مِنَ اْلاِخْتِرَاعِ ، وَهُوَ الشَّيْءُ يُحْدَثُ مِنْ غَيْرِ اَصْلٍ سَبَقَ ، وَلاَ مِثَالٍ احْتُذِيَ وَلاَ اُلِفَ مِثْلَهُ

"Kata bid'ah berasal dari kata al-ikhtira' (اَلاِخْتِرَاع) iaitu sesuatu yang baru dicipta tanpa ada contoh sebelumnya, tiada misal mendahuluinya dan tidak pernah ada rekaan sepertinya (sebelumnya)". (Lihat: الحوادث والبدع hlm. 40 ath-Thurthusi (Tahqid oleh Ali Hasan). Diterbitkan oleh Dar Ibn al-Jauzi)
Kalimah bid'ah terdapat di dalam al-Quran yang digunakan dengan penggunaan istilahnya yang paling tepat dan seiringan mengikut maksud serta pengertian yang dikehendaki oleh kalimah tersebut. Kenyataan ini dapat difahami melalui tiga potong ayat di bawah ini:

بَدِيْعُ السَّمَاوَاتِ وَاْلاَرْضِ
"(Dialah) Pencipta segala langit dan bumi". (al-Baqarah, 2:11)
Penggunaan kalimah bid'ah pada ayat di atas adalah yang paling tepat sebagaimana yang dimaksudkan oleh pengertian kalimah bid'ah menurut bahasa kerana hakikatnya hanya Allah Subhanahu wa Ta'ala sahaja Pencipta (melakukan bid'ah) hingga terciptanya langit, bumi dan segala-gala yang ada di alam ghaib atau di alam nyata.

Segala ciptaan Allah Subhanahu wa Ta'ala yang sedia ada ini tidak pernah didahului oleh mana-mana contoh atau pencipta sebelum-Nya, hanya Dialah sahaja Pencipta yang mengadakan dan memulakan seluruh penciptaan yang terdapat di langit, di bumi, di alam dunia atau di alam akhirat yang sebelumnya tidak ada ('adam) kepada ada (mawujud).

Para ahli ilmu yang pakar atau mengetahui kaedah penggunaan tata Bahasa Arab akan lebih mudah memahami maksud dan pengertian bid'ah yang terdapat pada ayat di atas, yang terdapat di dalam hadis-hadis yang begitu banyak bilangannya dan yang banyak digunakan dalam pertuturan dan penulisan Bahasa Arab. Penggunaan bid'ah pada ayat di atas amat tepat baik secara bahasa (termasuk gaya bahasa) atau takrif syara. Ia ditafsirkan oleh para ahli ilmu:

أبدعت الشيء لا عن مثال
"Aku telah ciptakan (mengadakan) sesuatu tanpa ada misal (sebelumnya)." (Lihat: جامع البيان عن تأويل آي القرآن Jld. 1 Hlm. 709. Ibn Jarir at-Tabari)

Di ayat yang kedua pula Allah berfirman:
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ

"Katakanlah (ya Muhammad!): Bukanlah aku seorang Rasul pembawa agama yang baru dari agama yang telah dibawa oleh para Rasul yang lalu". (al-Ahqaf, 46:9)

Menurut Ibn Abbas radhiallahu 'anhu bid'ah yang dimaksudkan pada ayat di atas ialah "Yang Terawal." (Lihat: الجامع لأحكام القرآن ، القرطبى. Juz. 16. Hlm. 180) Ia ditakdirkan juga sebagai ucapan yang bermaksud: "Bukanlah aku ini pembuat bid'ah (sahibul bid'ah)." (Lihat: الجامع لأحكام القرآن ، القرطبى. Juz. 16. Hlm. 180)

Yang paling jelas ayat di atas bermaksud dan bertujuan agar Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam memberi tahu kepada umatnya bahawa baginda bukanlah seorang Rasul yang bid'ah (yang baru) di dunia ini. Sudah ada Rasul-Rasul lain mendahului baginda sebelum baginda diutus menjadi Rasul. Inilah pengertian bid'ah sebagaimana yang dikehendaki oleh ayat (syara’) dan dimaksudkan oleh bahasa iaitu:

"Bid'ah: Ialah sesuatu yang baru yang diada-adakan dan tidak ada contoh atau misal sebelumnya".

Oleh kerana baginda bukan merupakan seorang Rasul yang pertama dan baru kepada manusia maka baginda tidak dinamakan Rasul yang bid'ah menurut pengertian istilah bahasa dan syara’ kerana sudah ada contoh dan beberapa orang rasul sebagai pendahulu sebelumnya.
Dan di ayat ketiga Allah berfirman:
وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوْهَا

"Dan mereka sengaja mengada-adakan rahbaniyah". (al-Hadid, 57:27)
Menurut penafsiran al-Hafiz Imam as-Syaukani rahimahullah tentang ayat di atas:
وَرَهْبَانِيَّةً مُبْتَدِعَةً مِنْ عِنْدِ اَنْفُسِهِمْ

"Kerahiban yang mereka sendiri cipta (ada-adakan)". (Lihat: فتح القدير. Jld. 5. Hlm. 178)
Maka jika difahami pengertian bid'ah dari ketiga-tiga ayat al-Quran di atas maka ia memberi makna atau maksud: 

"Sesuatu yang baru, yang tidak ada misal (contoh) sebelumnya, yang diada-adakan dan yang direka cipta".

Bid'ah menurut bahasa (لُغَةً) juga telah didefinisikan oleh kalangan ulama fiqah yang muktabar:
كُلُّ عَمَلٍ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ

"Setiap amalan (perbuatan atau pekerjaan) yang tiada contoh sebelumnya". (Lihat: البدعة تحديدها وموقف الاسلام منها Hlm. 157. 'Izat Ali Atiah)

Bila dikatakan: (اِبْتَدَعَ فُلاَنٌ بِدْعَة) "Telah mencipta si Fulan satu cara/jalan" bermakna cara/jalan ciptaan si Fulan tidak pernah ada contoh sebelumnya. Menurut Ali Hasan pula bid'ah ialah:
وَهَذَا اْلاِسْمُ (يَعْنِى: اِلْبِدْعَةُ) يَدْخُلُ فِيْمَا تَخْتَرعُهُ الْقُلُوْبُ وَفِيْمَا تَنْطِقُ بِهِ اْلاَلْسِنَةُ وَفِيْمَا تَفْعَلُهُ الْجَوَارِحُ

"Dan yang boleh dikategorikan dalam bid'ah, termasuklah sesuatu yang dilakukan oleh hati, yang dipertuturkan oleh lisan dan yang dilakukan oleh tubuh badan". (Lihat: علم اصول البدع hlm 23. Ali Hasan. Daar ar-Rayah. Cetakan kedua)
Takrif yang ringkas ini amat jelas, mudah dihayati dan difahami, oleh itu tidak perlu dikupas atau diberi penghuraian dengan panjang lebar.

PENGERTIAN BID'AH MENURUT ISTILAH SYARA’

Kalangan jumhur ulama fiqah (fuqaha) dari kalangan Ahli Sunnah wal-Jamaah telah memberikan takrif bid'ah mengikut landasan yang sesuai dengan hukum syara’ atau syariyah (شَرْعِيَّةٌ). Antara takrif yang masyhur yang sering digunakan ialah:

اِحْدَاثُ مَا لَمْ يَكُنْ لَهُ اَصْل فِى عَهْدِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَىْ لاَدَلِيْلَ مِنَ الشَّرْعِ
"Mencipta (mengada-adakan atau mereka-reka) sesuatu (amal) yang sama sekali tidak ada contohnya pada zaman Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam atau tiada dalilnya dari syara".

كُلُّ مَا عَارَضَ السُّنَّةَ مِنَ الاَقْوَالِ اَوِ الاَفْعَالِ اَوِ الْعَقَائِدِ وَلَوْ كَانَتْ عَنْ اِجْتِهَاد
"(Bid'ah): Ialah setiap yang bertentangan dengan sunnah dari jenis perkataan (ucapan) perbuatan (amalan) atau akidah (pegangan/kepercayaan) sekalipun melalui usaha ijtihad." (Lihat: احكام الجنائز وبدعها. Hlm. 306. Sheikh Muhammad Nashiruddin al-Albani)
فَالبِدْعَةُ اِذَنْ عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِى الدِّيْنِ مُخْتَرِعَةٌ تَضَاهِى الشَّرْعِيَّة يَقْصُدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةِ فِى التَّعَبُّدِ للهِ سُبْحَانَهُ

"Maka bid'ah pada dasarnya ialah diibaratkan: Suatu jalan dalam agama yang direka-cipta yang seakan-akan syara’. Ia bermaksud mengadakan suatu cara tata-agama yang berlebih-lebihan sehingga mencapai ke tahap penyembahan (ibadah) terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala." (Lihat: الاعتصام للشاطبى Jld. 1. Hlm. 27)

اَلْبِدْعَةُ طَرِيْقَةٌ فِى الدِّيْنِ مُخْتَرِعَةٌ تَضَاهِى الشَرْعِيَّة يَقْصُدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا مَا يَقْصُدُ بِالطَّرِيْقَةِ الشَّرْعِيَّةِ. اَوْ قَالَ: يَقْصُدُ بِهَا التَّقَرُّب الِى اللهِ وَلَمْ يقمْ عَلىَ صِحَّتِهَا دَلِيْلٌ شَرْعِيٌّ صَحِيْحٌ اَصْلاً اَوْوَصْفًا

"(Maksudnya): Bid'ah ialah suatu jalan (ciptaan/rekaan) yang disandarkan oleh pembuatnya kepada agama sehingga menyerupai syariah. Ianya dilakukan dengan maksud untuk menjadikannya tata-agama sehingga mencapai jalan (cara) yang menyerupai jalan syariah. Atau sebagaimana yang dikatakan: (Amalan) yang bermaksud untuk mendekatkan diri kepada Allah yang tidak ditegakkan kesahihannya melalui dalil syarii yang sahih yang bersumber dari sumber yang sebenar dan tepat." (Lihat: الاعتصام للشاطبى Jld. 1. Hlm. 37)

Berkata Al-Jauhari rahimahullah:
اَلْبَدِيْعُ وَالْمُبْتَدِعُ اَيْضًا واَلْبِدْعَةٌ: اَلْحَدَثُ فِى الدِّيْنِ بَعْدَ اْلاِكْمَالِ

"Al-Badi', al-Mubtadi' dan bid'ah ialah: Mengada-adakan sesuatu dalam agama setelah agama disempurnakan (dinyatakan lengkap)". (Lihat: مختار الصحاح ar-Razi / صحاص اللغة Hlm. 44)

Berkata al-Fairus Abadi rahimahullah:
اَلْبِدْعَةُ: اَلْحَدَثُ فِى الدِّيْنِ بَعْدَ اْلاِكْمَالِ . وَقِيْلَ: مَااسْتُحْدِثَ بَعْدَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ اْلاَقْوَالِ وَاْلاَفْعَالِ

"Bid'ah ialah: Mengada-adakan sesuatu dalam agama setelah (agama) disempurnakan. Dan disebut bid'ah apa sahaja yang direka-cipta selepas Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam sama ada berbentuk percakapan atau amalan (perbuatan)". (Lihat: بصائر ذوى التمييز Jld. 2. Hlm. 132)

Takrif di atas telah disepakati oleh semua golongan ulama salaf dan khalaf. Ini terbukti dengan keseragaman takrif mereka termasuklah definisi yang diberikan oleh Imam Syafie, Hambali, Hanafi, Maliki, Sufyian as-Thauri dan imam-imam fiqah yang lain. Apa yang dimaksudkan "Mendekatkan diri kepada Allah" sebagaimana yang terdapat dalam ta'rif di atas, tidak termasuk bid'ah yang berbentuk (urusan) keduniaan seperti kereta, pesawat, membukukan al-Quran dan sebagainya. (Lihat: البدع واثرها السىء فى الامة hlm. 6 Salim Hilali)

PERKATAAN DAN PERBUATAN YANG SE-ERTI DENGAN BID'AH

Perbuatan seseorang Muslim boleh dihukum bid'ah apabila perbuatan atau amalan tersebut telah ditambah, ubah-suai atau diubah dari bentuk atau cara asalnya yang telah ditetapkan oleh syara’. 

Kedudukan sesuatu amal boleh dinilai melalui makna atau maksud dari kalimah-kalimah yang tercatit di bawah ini:

1 - Bid'ah bererti mereka-reka atau sesuatu rekaan yang direka-reka (dicipta) (اِخْتِرَاعٌ) . (Lihat: القاموس المخيط. Hlm. 907. مقاييس اللغة (1/209). لسان العرب.)

2 - Bid'ah juga bererti baru (mendatangkan yang baru atau sesuatu yang diada-adakan) .(اِحْدَاثٌ اَوْ زِيَادَة) (Berdasarkan hadis: كل محدثة بدعة "Setiap yang baru (diada-adakan) itu bid'ah.") 

3 - Bid'ah bererti mengubah (mengubah-suai atau menukar ganti) .(تَبْدِيْلٌ) (Lihat: Surah al-Baqarah 2:59. "Lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah Allah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka.)

4 - Bid'ah bererti menambah yang baru ( menokok-nambah) .(زِيَادَةٌ) (Nabi Muhammad salallahu 'alaihi wa-sallam telah mengharamkan penambahan dalam agama, baginda bersabda:اذا حدثتكم حديثا فلا تزيدُنَّ علي "Jika aku katakan kepada kamu suatu kata-kata maka janganlah sekali-kali kamu menokok-nambah ke atas kata-kataku")

5 - Bid'ah bererti menyembunyikan atau menyorokkan. .(كِتْمَانٌ)
Setiap amal-ibadah yang masih terlibat dengan mana-mana dari lima kalimah di atas sedangkan tidak ada dalil (hujjah) atau keizinan dari syara (al-Quran, al-Hadis, athar yang sahih dan fatwa dari ulama muktabar) yang mengharuskan maka ibadah tersebut dinamakan ibadah yang bid'ah.
Sewajarnya para ulama di Nusantara mencontohi peranan para ulama Salaf as-Soleh yang telah berusaha sedaya upaya memerangi bid'ah dan semua aktivitinya supaya tidak terus membiak sebagaimana sekarang. Dalam usaha membentaras amalan dan aktiviti bid'ah jumhur ulama Ahli Sunnah wal-Jamaah yang berjalan di atas manhaj Salaf as-Soleh telah menerangkan kekejian atau kesesatan bid'ah. Cara mereka menjelaskan pengertian bid'ah sentiasa mengikut pengistilahan syarii. Mereka mengenegahkan istilah (pengertian) bid'ah dengan penampilan yang amat jelas dan mudah difahami. Walaupun mereka mempunyai gaya susunan bahasa dan ayat yang berlainan tetapi prinsip serta objektifnya adalah sama dan ke arah yang sama.
Al-Hafiz Ibn Rejab al-Hambali rahimahullah menjelaskan:

"Yang dimaksudkan bid'ah ialah setiap perkara yang diada-adakan di dalam agama sedangkan perkara yang diada-adakan itu tidak terdapat sumbernya dari syara’ yang membolehkan seseorang melakukannya. Jika sekiranya terdapat dalilnya (contohnya) dari syara hal seperti ini bukanlah perbuatan bid'ah walaupun ada yang mengatakan bid'ah kerana itu hanyalah bid'ah menurut istilah bahasa sahaja (yang bukan termasuk dalam istilah syara)". (Lihat: جامع العلوم والحكم ، ابن رجب الحنبلى Hlm. 160. India)

Menurut Ibn Hajar al-Asqalani rahimahullah:
"Bid'ah pada asalnya setiap yang dicipta yang tiada contoh sebelumnya. Menurut syara’ pula setiap yang bertentangan dengan sunnah dan tercela". (Lihat: فتح البارى Jld. 5 Hlm. 105)

Menurut Ibn Hajar al-Haitamy rahimahullah:
"Bid'ah menurut bahasa ialah setiap yang dicipta. Di segi syara’ pula ialah: Setiap pembaharuan yang diada-adakan dan bertentangan dengan syara". (Lihat: التبين بشرح الاربعين ، ابن حجر الهيثمى Hlm. 221)

Menurut Azzarkasy rahimahullah:
"Bid'ah menurut syara ialah perkara yang diada-adakan yang tercela". (Lihat: الابداع فى مضار الابتداع ، علي محفوظ. Hlm. 22)
Menurut Imam Syafie rahimahullah:
"Bid'ah ialah setiap perkara yang bertentangan dengan Kitab, Sunnah, Ijma atau Athar. Maka itu semua dinamakan bid'ah yang menyesatkan". 

Apabila memahami pengertian bid'ah (بِدْعَةٌ) di segi bahasa dan juga syara melalui kesemua istilah bid'ah yang telah dikemukakan di atas, tentulah kita akan memahami bahawa bid'ah itu hanyalah merupakan perkara-perkara yang direka-cipta semata-mata dan tidak ada contohnya dari Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam, para sahabat, para Salaf as-Soleh atau tidak terdapat dalilnya dari agama Islam (syara).
Oleh yang demikian, bid'ah itu wajib ditolak oleh setiap orang yang benar-benar beriman dengan kelengkapan dan kesempurnaan agama Islam di segenap aspeknya yang telah dijelaskan di dalam al-Quran dan al-Hadis. 

Setiap mukmin wajib mengimani bahawa agama Islam ini telah sempurna dan lengkap. Tidak ada kekurangannya. Tidak ada cacat celanya. Terpelihara dari pengaruh negatif dan dari segala jenis pencemaran atau kerosakan. Tiada suatu pun tata cara ibadah sama ada yang wajib atau yang sunnah, yang jamaii atau fardi yang pernah tertinggal dalam agama Islam yang berpandukan kepada al-Quran dan al-Hadis dan yang berautoriti sepenuhnya membentuk hukum-ahkam pada setiap zaman dan tempat. Ini semua telah ditegaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam firman-Nya:
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ

"Hari ini Aku sudah sempurnakan bagi kamu agama kamu (Islam)". (al-Ma’idah, 5:3)
Dalam susunan kata (bahasa) ayat ini telah menggunakan kalimah (اَكْمَلْ) iaitu (اسم تفضيل) yang bermaksud:
"Cukup (amat) sempurna, tiada lagi yang mengatasi kesempurnaannya atau yang telah disempurnakan secukup-cukupnya". 

Kesahihan iman seseorang ialah apabila ia mempercayai kesempurnaan firman Allah yang termuat di dalam kitab-Nya yang menjelaskan bahawa agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam benar-benar telah sempurna (اكمل) sehingga tidak perlu dilakukan apa pun penambahan sama ada di segi huruf, kalimah, ayat, perlaksanaan ibadah atau hukum ahkamnya.
Seseorang yang beriman wajib membuktikan kepercayaannya dengan berpegang teguh kepada kalimah (سَمِعْنَا وَاَطَعْنَا) "Kami mendengar dan mentaati" di dalam al-Quran. Jika ini diabaikan bererti dia tidak percaya kepada firman Allah: "Hari ini Aku telah sempurnakan bagi kamu agama kamu."
Malangnya, mengapakah kalam Allah Subhanahu wa Ta'ala yang khusus ditujukan kepada manusia ini tidak dapat difahami atau diterima oleh sebilangan manusia sehingga dipertikaikan dan akhirnya dikufuri? Tentunya perkara itu mustahil berlaku kepada manusia jika mereka menerima amanah yang berupa al-Quran dengan ikhlas dan dengan penuh kesedaran. 

Segala perbuatan Allah Subhanahu wa Ta'ala amat tepat. Terlalu mustahil Allah menurunkan kitab yang tidak boleh difahami oleh hamba-Nya. Pastinya yang tidak mahu memahami kitab Allah ini hanyalah orang-orang yang fasik terhadap ayat-ayat tersebut. Tanda kefasikan mereka ialah apabila tidak mahu menerima ayat-ayat Allah di dalam al-Quran dan al-Hadis untuk diimani tanpa ditakwil atau dipertikaikan.
Hanya orang-orang fasik atau rosak akidahnya sahaja yang suka mentakwil al-Quran dan al-Hadis mengikut reka cipta otak dan hawa nafsu masing-masing sehingga menyimpang dari syara. 

Seolah-olah mereka merasakan ada kekurangan atau sesuatu yang terlupa di dalam al-Quran, sedangkan Allah Subhanahu wa Ta'ala menafikan yang demikian sebagaimana firman-Nya:
مَا فَرَّطْنَا فِى الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ
"Tiadalah Kami lupa (tertinggal) suatu apa pun di dalam al-Kitab (al-Quran)". (al-An’am, 6:38)

وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلاً لاَّ مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
"Telah sempurna (lengkap) kalimah Tuhanmu (al-Quran) sebagai kalimah yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah kalimah-kalimah-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". (al-An’am, 6:115)

Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam wafat setelah baginda selesai menyampai dan mengajarkan segala perbuatan (ibadah) dan petunjuk yang telah diamalkan oleh baginda dan para sahabatnya sebagaimana penjelasan yang terkandung di dalam nas-nas dari syara. Semua yang telah disempurnakan oleh syara merupakan contoh kepada umat Islam di segenap perkara sama ada cara untuk melakukan yang baik atau cara untuk meninggalkan yang buruk dan keji supaya umat Islam tidak tercebur ke dalam perbuatan bid'ah. Abu Hurairah radhiallahu 'anhu telah menjelaskan tentang kesempurnaan agama ini:

عَلَّمَنَا رَسُـوْلُ اللهِ صَـلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَـلَّمَ كُلَّ شَـيْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَ ةَ
"Kami telah diajar oleh Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam segala perkara sehinggalah persoalan (bagaimana cara) membuang kotoran (kencing atau berak)." (Hadis Riwayat Bukhari)
مَا تَرَكْتُ شَيْئًا مِمَّا اَمَرَكُمُ الله بِهِ اِلاَّ وَقَدْ اَمَرْتُكُمْ بِهِ ، وَلاَ شَيْئًا مِمَّا نَهَاكُمْ عَنْهُ اِلاَّ وَقَدْ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ

"Tidaklah aku tinggalkan sesuatu tentang apa yang telah Allah perintahkan kepada kamu kecuali telah aku perintahkan tentangnya. Tidaklah pula (aku tinggalkan) tentang sesuatu yang ditegah (oleh Allah) kecuali telah aku tegah kamu dari (melakukan)nya. (Hadis sahih. Lihat: البدع واثرها السىء فى الامة hlm. 7. Salim Hilali)

اِنِّيْ قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى مِثْلِ الْبَيْضَاء ، لَيْلهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِيْ اِلاَّ هَلَكَ

"Sesungguhnya aku telah tinggalkan kepada kamu di atas contoh yang terang (sehingga keadaan) malamnya seperti siang harinya. Tidak ada yang menyeleweng darinya selepasku kecuali dia akan binasa." (Hadis Riwayat Ahmad, Ibn Majah dan al-Hakim. Disahihkan oleh al-Albani dan mentakhrij kitab sunnah: لابن ابي عاصم Jld. 1. Hlm. 26-27)

Imam at-Thabrani menyebut riwayat dari Abu Dzar al-Ghifari radiallahu 'anhu beliau berkata:
تَرَكَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِى الْهَوَاءِ اِلاَّ وَهُوَ يَذْكُرُ لَنَا مِنْهُ عِلْمًا . قَالَ: فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ اِلاَّ وَقَدْ بَيَّنَ لَكُمْ

"Setelah Rasulullah sallallahu 'alaihi wa-sallam meninggalkan kami, tidak ada seekor burung yang mengepakkan kedua sayapnya di udara melainkan baginda menyebutkan kepada kami ilmu tentangnya. Ia berkata: Maka Rasulullah sallallahu 'alaihi wa-sallam bersabda: Tidak tertinggal sesuatu pun yang mendekatkan ke syurga dan menjauhkan dari neraka melainkan telah dijelaskan kepada kamu". (Lihat: الرسالة hlm. 93. Imam as-Syafie. Tahqiq Ahmad Syakir. Sanad hadis ini sahih. Lihat: علم اصول البدع hlm. 19. Ali Hasan)

Seseorang mukmin yang berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam yang mempunyai daya pemikiran yang tinggi, minda yang baik dan akal yang sempurna, bijak, rasional, waras dan logik tidak mungkin akan bertindak melakukan sesuatu apa pun terhadap perkara-perkara yang ternyata sudah diyakini sempurna, lengkap dan kemas, jauh sekali untuk menokok-nambah atau mengubah-suai (modifikasi). 

Itulah kenyataan yang terdapat pada agama Islam. Ia adalah agama Allah Subhanahu wa Ta'ala yang paling mulia dan sempurna sejak di Loh Mahfuz sehinggalah diturunkan ke bumi. Ia telah dilaksanakan dan dicontohkan keseluruhannya oleh Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam berserta para sahabat baginda secara iktikadi (اعتقادى), fekli (فعلى)dan qauli (قولى)

Penyampaiannya pula tidak pernah tertinggal walaupun satu huruf atau satu kalimah, apatah lagi satu ayat, satu surah atau keseluruhan al-Quran yang menjadi sumber hukum-ahkam kepada sekalian manusia sejak ia diturunkan sehinggalah ke Hari Kiamat. Hakikatnya, segala apa yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah salah dan mustahil tersilap atau tertinggal kerana ia adalah didatangkan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ia telah dijamin kesempurnaannya oleh Allah sehinggalah ke Hari Kiamat. Kenyataan ini dapat difahami dari ayat-ayat yang telah ditampilkan di atas. 

Persangkaan dan kecetekan ilmu pengetahuan adalah punca yang menyebabkan seseorang itu sanggup menambah atau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan al-Quran yang telah dijamin oleh Allah kesempurnaannya. 

Allah telah berulang kali menerangkan di dalam firman-Nya dan melalui hadis-hadis Nabi-Nya tentang kesempurnaan agama ini. Hakikat ini terangkum di dalam al-Quran, hadis-hadis dan athar-athar sahih yang menjadi pegangan serta rujukan dalam menyelesaikan setiap permasalahan ummah, terutamanya yang berhubung dengan hukum-ahkam dalam mengatur urusan kehidupan mereka. 

Lantaran benar-benar sempurnanya al-Kitab (al-Quran dan al-Hadis), Allah menjadikan kedua-dua kitab ini sebagai sumber rujukan yang terbaik untuk ummah di setiap segi atau perkara, dari yang sekecil-kecilnya sehinggalah kepada perkara-perkara yang besar dan rumit.
Allah telah menyeru sekalian manusia agar menganut agama Islam. Diwajibkan agar berpegang teguh kepada Kitab-Nya yang paling sempurna tanpa ditokok-tambah atau diubah-suai di setiap aspeknya demi mentaati suruhan dan contoh yang telah ditunjuk ajar oleh Rasul-Nya termasuklah hukum-ahkamnya yang telah ditetapkan. 

Islam adalah agama yang sempurna, apabila ditokok-tambah atau diubah-suai menurut selera kemahuan manusia maka ia tidak dapat dinamakan agama Islam lagi kerana telah bertukar kepada agama rekaan otak manusia yang dangkal. Dengan adanya campur tangan manusia ia lebih sesuai diistilahkan sebagai agama bid'ah yang sesat lagi menyesatkan. Malahan ia juga lebih layak dinamakan agama jahiliah yang berpandukan hawa nafsu kesyaitanan manusia yang fasik. Kesempurnaan agama Islam lebih nyata apabila manusia diharamkan daripada mencemarkan agama ini dengan penambahan melalui perbuatan bid'ah. 

Larangan dari melakukan bid'ah adalah larangan dari syara kerana larangan tersebut disertakan dengan berbagai-bagai ancaman oleh Allah dan Rasul-Nya. Antara yang paling tegas ialah amaran akan berlaku kesesatan dan pelanggaran batas hukum (hudud) yang telah ditetapkan oleh Allah di dalam syara yang akhirnya boleh membawa kepada kefasikan dan mengkufuri agama serta ayat-ayat Allah. Hal ini telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam melalui beberapa potong hadis baginda:

اُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَاِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا ، فَاِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى بَعْدِى اِخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِىْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِى تَمَسَّكُوابِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَاِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلاُمُوْرِ فَاِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَة وَاِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

"Aku berwasiat kepada kamu sekalian supaya bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat sekalipun diperintah oleh seorang hamba Habsyi. Sesungguhnya sesiapa yang hidup (selepas ini) di antara kamu selepasku akan melihat perbalahan yang banyak, maka kembalilah (berpeganglah) kamu kepada sunnahku dan sunnah para Khulafa ar-Rasyidin selepas peninggalanku, berpegang teguhlah dengannya, maka gigitlah dengan gigi geraham, kemudian berjaga-jagalah dengan hal yang baru (dicipta dalam agama) sesungguhnya setiap ciptaan yang baru itu adalah bid'ah dan setiap yang bid'ah itu sesat". (Hadis Riwayat Ahmad (1653). At-Tirmizi (2600). Musnad Abu Daud (3991). As-Sunnan Ibn Majah (42))

كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
"Setiap yang diada-adakan itu bid'ah, setiap yang bid'ah itu sesat dan setiap yang sesat itu adalah ke dalam neraka". (Hadis Riwayat Muslim)

فِى خُطْبَةِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اَمَّا بَـعْدُ: فَاِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْـثِ كِتَابُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدَْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَـلَّمَ ، وَشَرَّ اْلاُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَكُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ

"Dalam khutbah Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam baginda bersabda: Kemudian dari itu, sesungguhnya sebaik-baik perkataan itu kitab Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam dan sekeji-keji perkara (perbuatan) ialah mengada-adakan yang baru dan setiap bid'ah (yang baru itu) adalah sesat dan setiap yang sesat ke neraka". (Hadis Riwayat Muslim, Abu Daud dan Ibn Majah)

عَنْ حُذَيْـفَةَ قَالَ: لاَيـقْـبَـلُ اللهُ لِصَاحِبِ الْبِدْعَةِ صَلاَةً وَلاَصَوْمًا وَلاَ صَدَقَـةً وَلاَ حَاجًا وَلاَ عُمْرَةً وَلاَ جِهَادًا وَلاَصَـرَفًا وَلاَعَدْلاً ، يَخْـرُجُ مِنَ اْلاِسْلاَمِ كَمَا يَخْرُجُ الشَّـعْرَةَ مِنَ الْعَجِيْنِ. رواه ابن ماجه

"Dari Huzaifah radhiallahu 'anhu baginda berkata: Allah tidak akan menerima dari pembuat bid'ah puasa, sembahyang, haji, umrah, jihad, kebaikan dan keadilan (yang dikerjakannya). Dia akan keluar dari Islam sebagaimana keluarnya rambut dari tepung". (Hadis Riwayat Ibn Majah. Lihat: فتح البارى jld. 17. hlm. 10. Hadis ini lemah dan sebahagian ulama hadis mendapati hadis ini adalah hadis mungkar)

اَبَى اللهُ اَنْ يَقْبَلَ عَمَلَ صَاحِب بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَهَا
"Allah tidak akan menerima amalan pelaku (pembuat) bid'ah sehinggalah ditinggalkan bid'ah tersebut". (Hadis Riwayat Ibn Majah (49) Muqaddimah)

مَا اَحْدَثَ قَوْمٌ بِدْعَةً اِلاَّ رُفِعَ مِثْلُهَا مِنَ السُّنَّةِ فَتَمَسَّكُ بِسُنَّةٍ خَيْرٌ مِنْ اِحْدَاثِ بِدْعَةٍ
"Tidak akan (dibiarkan) berlaku bid'ah pada satu-satu kaum, kecuali akan dicabut (oleh Allah) satu sunnah dari mereka yang sepertinya. Maka berpegang kepada sunnah lebih baik dari melakukan (mencipta) satu bid'ah". (Hadis Riwayat Ahmad (16356))

مَنْ اَحْدَثَ فِىاَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

"Sesiapa yang mencipta (mengada-adakan) yang baru dalam urusan (agama) Kami ini, maka itu tertolak". (Hadis Riwayat Ahmad (24840). Bukhari (2499) as-Soleh. Muslim (3242) al-Aqdhiah. Abu Daud (3990) as-Sunnan. Ibn Majah (14) Muqaddimah)

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ اَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

"Sesiapa yang melakukan (mengerjakan) satu amal yang bukan dari suruhan Kami, maka (amalan itu) tertolak". (Maksud tertolak ialah bermakna “bid'ah” بالبدعة المسمى هو "Ia dinamakan bid'ah". Lihat: علم اصول البدع hlm. 29. Ali Hasan)

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ صَنَعَ اَمْرًا عَلَىْ غَيْرِ اَمْرِنَا فَهُوَ رَدٌّ

"Bersabda Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam: Barangsiapa yang berbuat sesuatu urusan yang lain dari perintah kami, maka ia tertolak". (Hadis Riwayat Ibn Majah)

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ متفق عليه
"Bersabda Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam: Maka barangsiapa yang menyimpang dari Sunnahku, maka bukanlah dia dari golonganku". Muttafaq 'Alaih.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ وَقَّرَ صَاحِبَ بِدْعَةٍ فَقَدْ اَعَانَ عَلَى هَدْمِ اْلاِسْلاَمِ. حديث مرفوع

"Dari Aisyah radhiallahu 'anha berkata: Bersabda Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam: Sesiapa yang memuliakan aktivis bid'ah, maka dia telah menolong untuk menghancurkan Islam" (Hadis Riwayat Ahmad. Lihat: تلبيس ابليس. Hlm. 14. Menurut Syeikh Ali Hasan: Hadis ini adalah hadis hasan isnadnya. Lihat: المنتقى النفس hlm. 37. Dikeluarkan oleh Al-Lalikaii dalam شرح اصول اهل السنة (1/139)) Hadis Marfu'. (Ibn Asakir dalam تاريخ دمشق: ترجمة "العباس بن يوسف الشكلى. Hlm. 286)
 
اِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةً وَثَمَّ فَتْرَةً فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ اِلَى بِدْعَةٍ فَقَدْ ضَلَّ ، وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ اِلَى سُنَّةٍ فَقَدْ اهْتَدَى

"Sesungguhnya pada setiap amal terdapat kegiatan, dan pada amal ada fitrahnya. Barangsiapa yang fitrahnya terlibat dengan bid'ah maka dia telah sesat dan barangsiapa yang fitrahnya terlibat dengan sunnah maka dia telah mendapat petunjuk". (Hadis Riwayat Ahmad (22376), Musnad. Hadis sahih. Lihat: الاتمام (23521). Lihat: اتباع السنن (8))

Imam Abu Syamah al-Muqaddisi berkata:
وَقَدْ حَذَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَصْحَابهُ وَمَنْ بَعْدَهُمْ اَهْلَ زَمَانِهِمْ الْبِدَعِ وَمُحْدَثَاتِ الاُمُوْرِ ، وَاَمَرُوْهُمْ بِالاتِّبَاعِ الَّذِيْ فِيْهِ النَّجَاةُ مِنْ كُلِّ مَحْذُوْرٍ

"Nabi Sallallahu 'alaihi wa-sallam telah memberi peringatan kepada sekalian para sahabatnya, dan orang-orang selepas zaman mereka dari melakukan bid'ah dan ciptaan-ciptaan yang baru (dalam agama). Mereka sekalian diperintahkan agar ittiba' kerana dengannya akan mendapat kejayaan (dan terselamat) dari setiap yang telah diperingatkan (oleh Nabi sallallahu 'alaihi wa-sallam)". (Lihat: الباعث على انكار البدع والحوادث hlm. 11)

Kesemua nas-nas di atas mengharamkan umat Islam dari melakukan perbuatan bid'ah. Selain amalan yang berbentuk bid'ah itu ditolak oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kerana ia menyesatkan, ternyata bid'ah ini juga amat ditakuti oleh orang-orang beriman yang berilmu. Ini disebabkan setiap amalan bid'ah terutama yang melibatkan akidah, pasti akan menyebabkan pembuatnya menjadi sesat dan di akhirat kelak akan menjadi golongan yang merugi kerana akan dihumban ke neraka. Malah seseorang itu akan dikekalkan di dalam neraka jika semasa hidupnya ia terlibat dalam perbuatan bid'ah di segi akidah yang menyebabkan kesyirikan.
Setiap orang yang beriman sepatutnya merasa gerun terhadap ancaman dari hadis-hadis di atas sehingga dapat memberi kesan menakutkan yang mendalam di hati sanubari atau perasaan mereka.

Para sahabat dan jumhur ulama Ahli Sunnah wal-Jamaah yang berpegang dengan manhaj Salaf as Soleh terlalu berjaga-jaga dari terlibat dengan segala perbuatan yang berbentuk atau berunsur bid'ah. Ketegasan mereka dalam perkara ini telah dirakamkan melalui kata-kata mereka:

قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: عَلَيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَاْلاِسْتَقَامَةِ اِتَّبِعْ وَلاَ تَبْتَدِعْ

"Dari Ibn Abbas beliau berkata: Hendaklah kamu takut (takwa) kepada Allah dan sentiasa istiqamah (sentiasa dalam ketaatan), hendaklah kamu mengikut (al-Quran dan as Sunnah) dan janganlah berbuat bid'ah".
قَالَ عُمَربْن الْخَطَّاب رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَاِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةٌ

"Setiap bid'ah itu sesat, walaupun (semua) manusia telah berpendapat satu-satu bid'ah (yang mereka lakukan itu) hasanah (baik)". (Diriwayatkan oleh Al-Lalikaii (162). Ibn Battah (205). Baihaqi dalam المدخل الى السنن (191) dan Ibn Nasr dalam السنة (70) sanadnya sahih)

قَالَ ابْنُ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: اَلاِقْتِصَادُ فِى السُّنَّةِ اَحْسَنُ مِنَ اْلاِجْتِهَادِ فِى الْبِدْعَةِ

"Berpada-pada dalam mengerjakan sunnah lebih baik dari bersungguh-sungguh dalam mengerjakan bid'ah". (Lihat: شرح اصول اعتقاد اهل السنة (114-115). As-Sunnah, hlm. 27-28 Ibn Nasr. Al-Ibanah (1/230) Ibn Battah)

Di riwayat yang lain pula:

وَاِنَّ اِقْتِصَادًا فِى سَبِيْلٍ وَسُنَّةٍ خَيْرٌ مِنْ اِجْتِهَادٍ فِى خِلاَفِ سَبِيْلِ سُنَّةٍ فَانْظُرُوْا اَنْ يَكُوْنَ عَمَلُكُمْ اِنْ كَانَ اِجْتِهَادًا اَوْ اِقْتِصَادًا اَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ عَلَى مِنْهَاجِ اْلاَنْبِيَاءِ وَسُـنَّتِهِمْ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهِمْ

"Berpada-pada dalam mengikuti jalan sunnah lebih baik dari bersungguh-sungguh dalam melakukan perkara yang boleh bertentangan dengan jalan sunnah. Lihatlah apa yang akan kamu lakukan, jika ia termasuk yang bersungguh-sungguh atau yang berpada-pada hendaklah mengikut panduan manhaj para nabi dan sunnah mereka sallallahu 'alaihi wa sallam". (Diriwayatkan oleh Al-Lalikaii (11). Ibn Mubarak dalam Az-Zuhud. Jld. 2. hlm. 12. dan Abu Na'im dalam Al-Hilyah. Jld. 1. Hlm. 252)

Al-Hafiz Fudhail bin 'Iyad rahimahullah menyatakan:
عَمَلٌ قَلِيْلٌ فِى سُنَّةٍ خَيْرٌ مِنْ عَمَلٍ كَثِيْرٍ فِى بِدْعَةٍ

"Amal yang sedikit (tetapi) dalam perkara sunnah lebih baik daripada amalan yang banyak (tetapi dalam perkara yang) bid'ah." (Lihat: الابانة عن شريعة الدينية Jld. 1. hlm. 395. (249))

Imam Malik rahimallahu ‘anhu seorang imam Ahli Sunnah wal-Jamaah dari kalangan Salaf as-Soleh amat tegas terhadap bid'ah. Beliau menganggap aktivis bid'ah sebagai orang yang mengkhianati kesempurnaan risalah (al-Quran dan al-Hadis) yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam kepada ummahnya. Beliau pernah mengeluarkan ucapannya yang tegas terhadap pembuat bid'ah:

مَنِ ابْتَدَعَ فِى اْلاِسْلاَمِ بِدْعَةٌ وَيَرَاهَا حَسَنَةٌ فَقَدْ زَعَمَ اَنَّ مُحَمَّدٌ قَدْ خَانَ الرِّسَالَةَِلاَنَّ اللهَ يَقُوْلُ: "اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَاكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلاِسْلاَمَ دِيْنًا" فَمَالَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا فَلاَ يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا

"Sesiapa yang melakukan bid'ah di dalam Islam kemudian disangkanya baik, maka dia telah menganggap bahawa Muhammad telah mengkhianati al-Risalah kerana telah jelas Allah berfirman: (Hari ini Aku telah sempurnakan agama kamu dan Aku cukupkan nikmat kamu dan Aku hanya meredai Islam sebagai agamamu). Apa yang tidak dapat dianggap sebagai agama pada masa itu (masa Nabi), maka pada masa ini ia juga tidak boleh dianggap sebagai agama." (Hadis Riwayat Malik)

قَالَ فَـيْصَلُ بْـنُ عِـيَاضٍ رَحِمَ هُ اللهُ: مَنْ اَحَبَّ صَاحِبَ بِـدْعَةٍ اَحْـبَـطَ اللهُ عَمَلَهُ وَاخْرَجَ نُـوْرَ اْلاِسْلاَمِ مِنْ قَلْبِهِ

"Berkata Faisal bin 'Eyadz: Sesiapa yang menyukai pembuat bid'ah, Allah melenyapkan (menggugurkan) amalannya dan akan dicabut cahaya Islam dari hatinya". (Lihat: تلبيس ابليس Ibn Qaiyim, hlm 84. Dan lihat: شرح السنة hlm. 138. Dikeluarkan juga oleh Al-Lalikaii dalam شرح اصول الاعتقاد اهل السنة. Jld. 1. Hlm. 139)

وَقَالَ: مَنْ جَلَسَ اِلَى صَاحِبِ بِدْعَةٍ اَحْبَطَ الله عَمَلَهُ وَاَخْرَجَ نُوْرَ اْلاِيْمَان - اَوْ قَالَ الاِسْلاَمِ - مِنْ قَلْبِهِ

"Beliau juga pernah berkata: Sesiapa yang duduk di majlis orang bid'ah Allah melenyapkan (menggugurkan) amalannya dan mengeluarkan nur (cahaya) iman - atau ia berkata - keluar nur Islam dari hatinya." (Dikeluarkan oleh Al-Lalikaii dalam شرح اصول اعتقاد اهل السنة (1/132). Dan Ali bin al-J'ad. dalam "Musnad" (1885))
اَنَّ صَاحِبَ الْبِدْعَةِ يَزْدَادُ مِنَ اللهِ بُعْدًا كُلَّمَا بَالَغَ فِى الطَّاعَةِ والْعِبَادَةِ

"Pembuat bid'ah akan bertambah-tambah jauh dari Allah sekalipun bersangatan ketaatan dan kuat ibadahnya". (Lihat: Fathul al-Qadir, jld. 1, hlm. 10)
اِنَّ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بَدْعَتَهُ

"Sesungguhnya Allah menghijab (tidak menerima) taubat setiap pembuat bid'ah sehinggalah ia meninggalkan bid'ahnya". (Hadis Riwayat at-Thabrani dengan sanad yang sahih. Dan dihasankan oleh al-Munziri. Lihat: مدارج السالكين (1/84) Ibn Qaiyim)
Imam Ibn Rajab rahimahullah pernah ditanya, apakah boleh menyebut keburukan aktivis bid'ah (مبتدع) dalam usaha menyedarkan ummah agar menjauhi mereka? Beliau menjawab:

"Adapun Ahli Bid'ah itu sesat begitu juga orang-orang yang bersertanya yang seakan-akan ulama. Maka boleh menjelaskan kejahilan, kecacatan atau kejahatan mereka dalam rangka memperingatkan ummah agar tidak mengikuti mereka". (Lihat: شرح السنة , al-Barbahari, hlm. 138. Tahqiq Abu Yasir ar-Rodadi)

Penjelasan Imam Ibn Rejab di atas menunjukkan bahawa menyebut dan membongkar perbuatan bid'ah yang diseru dan dilakukan oleh para penyeru bid'ah tidak boleh dianggap sebagai suatu kesalahan. Malah wajib didedahkan kepada umum jika tujuan dan niat seseorang yang bertindak sedemikian demi untuk menjauhkan atau menyelamatkan ummah agar tidak terlibat dan tidak terpengaruh dengan perbuatan dan hasutan ahli bid'ah.