Jawab :
Alhamdulillah, semoga salawat dan salam tercurahkan kepada Rasulullah dan para sahabatnya.
Telah terjadi dialog yang cukup hangat
dan menarik antara dua saudara dan sahabat saya yang mulia tentang
permasalahan ini –semoga Allah menambah ilmu mereka dan memberi taufiq
kepada mereka berdua- (lihat http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/10/apa-hukum-sutrah-dalam-shalat.html).
Inilah yang mendorong saya untuk menulis tentang permasalahan ini.
Semoga bisa menjadi masukan bagi kedua saudara saya tersebut, dan semoga
mereka berdua juga bisa memberi masukan bagi saya baarokallahu
fiihimaa.
Para pembaca yang budiman, sebagaimana diketahui bersama bahwa ijmak
merupakan salah satu sumber hukum Islam, bahkan pendalilan dengan ijmak
lebih didahulukan (yiatu tentu jika ijmak tersebut bersandar kepada
dalil kitab atau sunnah) daripada pendalilan hanya dengan sekedar
Al-Qur'an dan As-Sunnah. Karena jika telah terbukti adanya suatu ijmak
maka akan memutuskan perdebatan dan perselisihan.Ibnu Hazm berkata,
إِذَا صَحَّ الإِجْمَاعُ فَقَدْ بَطَلَ الخِلاَفُ، ولا يَبْطُلُ ذلك الإجماعُ أبداً
"Jika telah sah suatu ijmak maka
telah batal khilaf (perselisihan), dan tidak terbatalkan ijmak tersebut
selamanya (dengan muncul khilaf setelah itu -pent)" (Marootibul Ijmaa'
hal 27)
Beliau juga berkata,
ومن شرط الإجماع الصحيح أن يكفَّر من خالفه بلا خلاف بين أحد من المسلمين في ذلك
"Dan diantara syarat Ijmak yang sah
adalah dikafirkannya orang yang menyelisihi ijmak tersebut, tidak ada
khilaf di antara kaum muslimin dalam hal ini" (Marootibul Ijmak 27)
ولهذا يجب عليهم تقديم الإجماع على ما يظنونه من معانى الكتاب والسنة
Oleh karenya wajib bagi mereka untuk
mendahulukan ijmak dari pada apa yang mereka persangkakan berupa
makna-makna dari Al-Kitab dan As-Sunnah (Majmuu' Al-Fataawa 22/368)
Oleh karenanya sebagian Ahlul Bid'ah berusaha untuk menolak Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan ijmak yang batil, sebagaimana dilakukan oleh Bisyr Al-Mirrisiy salah seorang gembong Jahmiyyah.
Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah, "Dan
tatkala tumbuh metode seperti ini maka lahirlah darinya penolakan
nash-nash (dalil-dalil) dengan ijmak yang majhul, dan terbukalah pintu
untuk mendakwahkan adanya ijmak. Maka jadilah orang dari kalangan para
tukang taqlid yang tidak mengetahui adanya khilaf jika didebat dengan
Al-Qur'an dan As-Sunnah maka ia akan berkata, "Ini bertentangan dengan
Ijmak".
Hal inilah (penolakan Al-Qur'an dan
As-Sunnah dengan dalil ijmak yang majhul-pent) yang telah diingkari oleh
para imam Islam, dan mereka mencela dari segala sisi terhadap orang
yang melakukannya. Mereka mendustakan orang yang mendakwahkan ijmak yang
majhul ini. Imam Ahmad berkata –sebagaimana diriwayatkan oleh putranya
Abdullah bin Ahmad-,
من ادَّعَى الْإِجْمَاعَ فَهُوَ كَاذِبٌ
لَعَلَّ الناس اخْتَلَفُوا هذه دَعْوَى بِشْرٍ الْمَرِيسِيِّ وَالْأَصَمِّ
وَلَكِنْ يقول لَا نَعْلَمُ الناس اخْتَلَفُوا أو لم يَبْلُغْنَا
Barangsiapa yang menyatakan ijmak
maka dia adalah pendusta, mungkin saja orang-orang berselisih. Ini
adalah metode Bisyr Al-Marrisiy dan Al-Asom, akan tetapi (hendaknya)
berkata : "Kami tidak tahu kalau ada perselisihan diantara manusia",
atau : "Tidak sampai kepada kami adanya perselisihan dalam permasalahan
ini" (I'laamul Muwaqqi'iin 3/558-559)
قال الإمام أحمد: "من ادعى الإجماع فهو
كاذب. فإنما هذه دعوى بشر وابن علية يريدون أن يبطلوا السنن بذلك". يعني
الإمام أحمد أن المتكلمين في الفقه من أهل الكلام إذا ناظرتهم بالسنن
والآثار، قالوا: "هذا خلاف الإجماع"
"Imam Ahmad berakta, Barangsiapa yang
menyerukan ijmak maka ia adalah pendusta, ini hanyalah merupakan
metodenya Bisyr Al-Mirriisiy dan Ibnu 'Ulaiyyah, mereka ingin
membatalkan sunnah dengan dakwah ijmak tersebut. Maksud Imam Ahmad
adalah para pembicara dalam permasalahan fiqh dari kalangan ahli
filsafat jika engkau mendebat mereka dengan dalil sunnah dan atsar maka
mereka akan berkata, "Ini menyelisihi ijmak" (Al-Fataawa Al-Kubroo
3/370)
Oleh karenanya seseorang hendaknya
berhati-hati dalam menukil permasalahan ijmak. Bahkan jika ia menemukan
ada seorang yang alim mendakwahkan ijmak maka hendaknya ia tetap
berusaha mengecek akan kebenaran ijmak tersebut, kecuali jika yang
menyerukan ijmak adalah banyak dari kalangan para ulama, dan mereka
menyerukan ijmak dengan lafal yang shorih (lafal yang tegas).
Karena sebagian ulama tasaahul (mudah) dalam mengutarakan ijmak sebagaimana diingatkan oleh para ulama.Apakah benar merupakan ijmak para ulama bahwa hukum sutroh bagi orang yang sholat adalah sunnah dan tidak wajib?
Sebagian orang memandang bahwa permasalahan sunnahnya sutroh merupkan permasalahan yang telah ijmak dikalangan para ulama. Mereka berdalil dengan penukilan ijmak dari dua ulama besar
Yang pertama : Perkataan Ibnu Rusyd Al-Hafiid dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid, dimana ia berkata :
وَاتَّفَقَ العُلَمَاءُ بِأَجْمَعِهِمْ
عَلَى اسْتِحْبَابِ السُّتْرَةِ بَيْنَ الْمُصَلِّي وَالْقِبْلَةِ إِذَا
صَلَّى مُنْفَرِدًا كَانَ أَوْ إِمَامًا
"Dan para ulama –seluruhnya- telah
berijmak akan istihbabnya (sunnahnya) sutroh untuk diletakan antara
orang yang sholat dengan kiblat, baik jika sedang sholat sendirian atau
tatkala menjadi imam" (Bidaayatul Mujtahid 1/82).
وَلاَ نَعْلَمُ فِي اسْتِحْبَابِ ذَلِكَ خِلاَفًا
"Dan kami tidak tahu ada khilaf (diantara ulama) tentang istihbabnya sutroh" (Al-Mughni 2/36)
Komentar terhadap Ijmak Ibnu Rusyd rahimahullah :
Adapun Ibnu Rusyd maka beliau
–rahimahullah- dikenal termasuk para ulama yang tasaahul (mudah) dalam
mendakwahkan ijmak. Diantara para ulama yang mudah mengutarakan ijmak
adalah :
- Ibnu Jarir At-Tobari (lihat penjelasan as-Syinqiithy dalam Mudzakkiroh Ushuul Fiqh hal 274)
- Ibnu Abdil Barr, beliau sering
mengutarakan ijmak namun ternyata banyak yang tidak benar, bahkan
khilaf yang terjadi sangat masyhuur (lihat kitab Ijmaa'aat Ibni Abdil
Barr fil 'Ibaadaat, karya Abdullah bin Mubaarok Al-Buushi). Padalah Ibnu
Abdil Barr sangat dikenal memiliki pengetahuan yang luas. Mudahnya
beliau menukilkan ijmak karena beliau menganggap bahwa penyelisihan satu
atau dua orang tidak merusak ijmak.
- Ibnu Rusyd (Al-Jad) sebagaimana hal ini diingatkan oleh para ulama Maliikyah
- Ibnu Rusyd Al-Hafiid (lihat
risaalah 'ilmiyaah Magister dengan judul Ijmaa'aat Ibni Rusyd Al-Hafiid
qismil 'Ibaadaat min khilaal kitaabihi Bidaayatul Mujtahid, karya Ibnu
Faaizah Az-Zubair), dan diantara kesimpulan yang diambil oleh penulis
bahwasanya penyelisihan satu atau dua orang 'alim tidak merusak ijmak
(lihat hal 108)
Para ulama memandang ketiga ulama ini
(yaitu Ibnu Jarir At-Thobari, Ibnu Abdil Barr, dan Ibnu Rusyd) sebagai
orang-orang yang tasahul (mudah) dalam menukil ijmak karena ketiga ulama
ini memiliki madzhab yang sama dalam masalah ijmak. Yaitu mereka
menganggap bahwa penyelisihan satu atau dua orang 'alim tidak
mempengaruhi terjadinya ijmaak. Dan madzhab ini adalah madzhab sebagian
ulama Malikiah. Adapun madzhab jumhur ulama maka ijmak yang seperti ini
bukanlah ijma'.
Dari sini kita pahami bahwa ijmak yang
diserukan oleh Ibnu Rusyd tidak bisa dijadikan hujjah karena madzhab
beliau tentang masalah ijmak bukan madzhab jumhur ulama.
Komentar terhadap ijmak Ibnu Qudaamah rahimahullah
Komentar mengenai pernyataan Ibnu Qudamah dari beberapa sisi :
Pertama : Lafal yang digunakan oleh Ibnu Qudamah dalam masalah sutroh adalah lafal yang menunjukan nafyul khilaaf. Beliau berkata
وَلاَ نَعْلَمُ فِي اسْتِحْبَابِ ذَلِكَ خِلاَفًا
"Dan kami tidak tahu ada khilaf (diantara ulama) tentang istihbabnya sutroh" (Al-Mughni 2/36)
Para ulama telah menjelaskan bahwasanya
lafal seperti ini merupakan lafal yang tidak shorih (tidak jelas dan
tidak tegas) dalam penyebutan ijmak. Lafal seperti ini masih lebih lemah
dari pada lafal أَجْمَعُوا (para ulama telah berijmak) dan juga lebih
lemah dari perkataan اتَّفَقُوْا (para ulama telah bersepakat). Bahkan
sebagian ulama seperti As-Soyrofi dan Ibnu hazm tidak menganggap lafal
seperti ini merupakan ijmak.
- Kemungkinan pertama maksud beliau –rahimahullah- adalah kesepakatan para ulama bahwa hukumnya sunnah (tidak wajib)
- Kemungkinan kedua adalah maksud beliau –rahimahullah- adalah para ulama telah sepakat akan disyari'atkannya perkara tersebut, terlepas apakah perkara tersebut hukumnya wajib atau sunnah
Ada beberapa contoh yang berkaitan dengan kemungkinan ke dua :Contoh pertama :
Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni
مسألة قال ( ولو استأذن البكر البالغة والدها كان حسنا )
لا نعلم خلافا في استحباب استئذانها فإن النبي صلى الله عليه وسلم قد أمر به ونهى عن النكاح بدونه وَأَقَلُّ أحوال ذلك الاستحباب ولأن فيه تطييب قلبها وخُرُوْجًا مِنَ الْخِلاَفِ
Permasalahan : Berkata (Al-Khiroqi) :
"Kalau seandainya sang ayah meminta izin putrinya yang telah baligh
(untuk dinikahi oleh pelamar -pent) maka hal itu lebih baik"
(Berkata Ibnu Qudamah) : Kami tidak
mengetahui adanya khilaf tentang istihbabnya meminta idzin kepada putri
yang telah baligh, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallamtelah
memerintahkannya dan melarang pernikahan tanpa izin sang putri baligh. Dan paling ringan hukumnya adalah istihbab dan pada hal itu menyenangkan hati sang putri dan agar keluar dari khilaf" (Al-Mughni 7/33)
Perhatikan : perkataan Ibnu Qudaamah "Dan paling ringan hukumnya
adalah istihbab" memberi isyarat akan adanya hukum yang lebih tinggi
dari istihbab yaitu wajib. Dan perkataan beliau "agar keluar dari
khilaf" menunjukan ada khilaf di kalangan para ulama tentang
permasalahan ini.Dan kenyataannya memang permasalahan ini bukanlah permasalahan yang disepakati oleh para ulama bahkan mashyur adanya khilaf diantara para ulama, diantara mereka ada yang berpendapat bahwa meminta idzin kepada putri yang telah baligh (dewasa) untuk menikahkannya adalah wajib hukumnya. Bahkan pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang merupakan salah satu ulama madzhab Hanabilah sebagaiman Ibnu Qudaamah.
Ibnu Taimiyyah berkata :
الْمَرْأَةُ الْبَالِغُ لَا يُزَوِّجُهَا
غَيْرُ الْأَبِ وَالْجَدِّ بِغَيْرِ إذْنِهَا بِاتِّفَاقِ الْأَئِمَّةِ،
بَلْ وَكَذَلِكَ لَا يُزَوِّجُهَا الْأَبُ إلَّا بِإِذْنِهَا فِي أَحَدِ
قَوْلَيْ الْعُلَمَاءِ، بَلْ فِي أَصَحِّهِمَا، وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي
حَنِيفَةَ، وَأَحْمَدَ فِي أَحَدِ الرِّوَايَتَيْنِ، كَمَا قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ
حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
Wanita yang baligh (dewasa) maka
selain ayahnya dan selain kakeknya tidak boleh menikahkannya tanpa idzin
sang wanita, hal ini dengan kesepakatan para imam. Bahkan
demikian juga sang ayah tidak boleh menikahkannya kecuali dengan idzin
sang wanita menurut salah satu dari dua pendapat para ulama, bahkan
ini menurut pendapat yang terbenar diantara kedua pendapat, dan ini
merupakan madzhab Imam Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam
Ahmad sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam : Tidaklah
dinikahkan wanita perawan sampai dimintai idzin…"(Al-Fataawaa Al-Kubroo
3/82)
Contoh kedua :Ibnu Qudaamah berkata dalam Al-Mughni
مسألة قال ( ويقول عند الذبح بسم الله
والله أكبر وإن نسي فلا يضره ) ثبت أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا
ذبح قال بسم الله والله وأكبر وفي حديث أنس وسمى وكبر
وكذلك كان يقول ابن عمر وبه يقول أصحاب الرأي ولا نعلم في استحباب هذا خلافا
Permasalahan : Berkata (Al-Khiroqi) :
(Dan dia tatakala menyembelih mengucapkan Bismillah wallahu Akbar, dan
jika dia lupa maka tidak mengapa).
(Ibnu Qudamah berkata) : Telah sah
bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam jika menyembelih maka
beliau berkata : Bismillah wallahu Akbar. Pada hadits Anas (bin Malik) :
Nabi menyebut nama Allah dan bertakbir.
Demikian juga Ibnu Umar ia mengucapkan demikian, dan ini merupakan pendapat Ashaab Ar-Ro'y, dan kami tidak mengetahui adanya khilaf tentang istihbabnya hal ini..." (Al-Mughni 9/361)
Tentunya tidak diragukan lagi bahwa menyebut nama Allah tatkala
menyembelih hukumnya adalah wajib dan bukan mustahab menurut jumhur
ulama (diantaranya madzhab Hanabilah). Ibnu Taimiyyah berkata
وَالتَّسْمِيَةُ عَلَى الذَّبِيحَةِ
مَشْرُوعَةٌ، لَكِنْ قِيلَ: هِيَ مُسْتَحَبَّةٌ، كَقَوْلِ الشَّافِعِيِّ
وَقِيلَ: وَاجِبَةٌ مَعَ الْعَمْدِ، وَتَسْقُطُ مَعَ السَّهْوِ، كَقَوْلِ
أَبِي حَنِيفَةَ وَمَالِكٍ وَأَحْمَدَ
"Dan menyebut nama Allah tatkala
menyembelih disyari'atkan, akan tetapi dikatakan hukumnya adalah
mustahab sebagaimana perkataan As-Syafi'i, dan dikatakn (juga) hukumnya
adalah wajib jika ingat dan jika lupa maka tidak wajib sebagaimana
pendapat Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad" (Al-Fataawaa Al-Kubroo 5/69)
Contoh ketiga :
Ibnu Qudaamah berkata dalam Al-Mughni
ولا يجب أن يحضر الإمام ولا الشهود وبهذا
قال الشافعي وابن المنذر وقال أبو حنيفة إن ثبت الحد ببينة فعليها الحضور
والبداءة بالرجم وإن ثبت باعتراف وجب على الإمام الحضور والبداءة بالرجم
...ولأنه إذا لم تحضر البينة ولا الإمام كان ذلك شبهة والحد يسقط بالشبهات
قال أحمد سنة الاعتراف أن يرجم الإمام ثم الناس، ولا نعلم خلافا في استحباب ذلك
"Dan tidak wajib bagi imam maupun
para saksi untuk menghadiri (hukum had) dan ini merupakan pendapat
As-Syafi'i dan Ibnul Mundzir. Abu hanifah berkata, "Jika hukum had
ditegakkan karena ada bukti (para saksi) maka wajib bagi para saksi
untuk hadir dan mereka yang wajib memulai pelemparan rajam, dan jika hukum had tegak karena pengakuan maka wajib bagi imam untuk
hadir dan dialah yang memulai pelemparan rajam… karena jika para saksi
tidak hadir demikian juga imam tidak hadir maka hal ini merupakan
syubhat dan hukum had menjadi gugur dengan adanya syubhat…
Imam Ahmad berkata : "Sunnahnya pengakuan adalah imam yang merajam kemudian diikuti oleh orang-orang". Dan kami tidak mengetahui adanya khilaf tentang istihbabnya hal ini" (Al-Mughni 9/47)
Perhatikanlah para pembaca yang budiman, Ibnu Qudamah menyampaikan bahwasanya beliau tidak tahu adanya khilaf tentang istihbabnya hadirnya imam jika hukum had tegak karena adanya pengakuan. Padahal sebelumnya Ibnu Qudamah telah menukil pendapat Imam Abu Hanifah bahwasanya beliau mewajibkan imam untuk hadir (dan bukan sunnah) jika hukum had tegak karena adanya pengakuan. Dengan demikian maka maksud dari perkataan Ibnu Qudaamah "istihbaab" adalah "disyari'atkannya".
Dari tiga contoh diatas sangatlah jelas bahwasanyan perkataan Ibnu Qudaamah "Kami tidak mengetahui adanya khilaf akan istihbabnya hal ini" maksudnya adalah "Kami tidak mengetahui adanya khilaf tentang disyari'atkannya hal ini", bisa jadi hukumnya mustahab dan bisa jadi wajib sebagaimana pada tiga contoh diatas. Jika ternyada ada ihtimal (kemungkinan) yang kedua ini maka gugurlah pemahaman bahwa Ibnu Qudaamah mendakwahkan ijmak ulama bahwa sutroh hukmnya mustahab dan tidak wajib. Wallahu A'lam bis Showaab.
Ketiga : Buku-buku yang khusus mengumpulkan ijmak-ijmak para ulama seperti kitab Al-Ijmaa' karya Ibnul Mundziir dan juga Marootib Al-Ijmaa' karya Ibnu Hazm tidak menyebutkan adanya ijmak akan mustahabnya sutroh dan tidak wajib. Demikian halnya mayoritas ulama mu'aashirin (zaman sekarang) seperti Syaikh Al-'Utsaimiin, Syaikh Bin Baaz, Syaikh Al-Albani, Syaikh Al-Fauzaan, Al-Lajnah Ad-Daaimah tidak menukil ijmak tentang permasalahan ini. Hal ini menunjukan bahwa ijmak dalam masalah ini tidak valid dan tidak sah, paling banter ijmaknya tidak qoth'i tapi hanyalah dzhonniy
Berkata Muhammad Al-Amiin As-Syinqiithi,
واعلم أن بعض الأصوليين يقولون بتقديم
الاجماع على النص ، لأن النص يحتمل النسخ والاجماع لا يحتمله ، ...ومرادهم
بالاجماع الذي يقدم على النص خصوص الاجماع القطعي دون الاجماع الظني ،
وضابط الاجماع القطعي هو الاجماع القولي ، لا السكوتي
"Ketahuilah bahwasanya sebagian ahli
ushul berpendapat didahulukannya ijmak di atas nash karena nash ada
kemungkinan telah mansuukh adapun ijmak tidak mungkin mansuukh…dan
maksud mereka dengan ijmak yang didahulukan di atas nash adalah khusus
ijmak qoth'iy bukan ijmak yang dzonniy. Dan definisi ijmak qoth'iy
adalah ijmak qouliy (berupa pernyataan/perkataan-pent) dan bukan ijmak
sukuutiy" (mudzakkiroh Ushuulil Fiqh hal 445)
Beliau juga berkata,
واعلم إن الإجماع الذي يذكر الأصوليون
تقديمه على النص هو الاجماع القطعي خاصة وهو الاجماع القولي المشاهد أو
المنقول بعدد التواتر ، أما غير القطعي من الاجماعات كالسكوتي والمنقول
بالآحاد فلا يقدم على النص
"Ketahuilah bahwasanya ijmak yang
disebutkan ohel para ahli ushuul didepankan dari pada nas adalah khusus
ijmak qot'iy, yaitu ijmak qouliy yang dilihat atau dinukil dengan jumlah
mutawatir, adapun ijmak-ijmak yang tidak qot'iy seperti ijmak sukuutiy
atau ijmak yang dinukil dengan ahad maka tidak didahulukan di atas nash"
(Mudzakkiroh Ushuul Fiqh hal 535)
Kesimpulan :
Permasalahan hukum sutroh bukanlah permasalahan yang ada ijmaknya, oleh karenanya ini merupakan permasalahn khilafiyah ijtihadiyah. Karenanya pentarjihan dalam masalah ini kembali pada pembahasan tentang permasalahan dalil. Maka pihak yang dalil dan hujjahnya lebih kuat maka itulah pendapat yang lebih rajih. Wallahu a'lamu bisshowaab.
Artikel: www.firanda.com
Bluesky studio Yogyakarta
Shoffiyah Az Zahra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar