Senin, 27 Mei 2013

Apa Yang Harus Anda Lakukan Ketika Kondisi Berikut (Bagian 2)

Berikut lanjutan dari serial “maadza taf’alu fii haalatit taliyah” karya Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Munajid:

1. Apa yang harus dilakukan, ketika kita merasa mendapat gangguan dari setan, terlintas pikiran yang mengganggu konsentrasi shalat, sehingga menyebabkan kita tidak bisa khusyu dalam shalat?
Jawab:
Kasus semacam ini pernah dialami oleh salah seorang sahabat, yaitu Utsman bin Abil ‘Ash radliallahu ‘anhu, beliau datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadukan gangguang yang dia alami ketika shalat.
Kemudian beliau bersabda:

ذاك شيطان يقال له خنزب فإذا أحسسته فتعوذ بالله منه واتفل على يسارك ثلاثاً

“Itu adalah setan, namanya Khinzib. Jika kamu merasa diganggu, mintalah perlilndungan kepada Allah dari gangguannya dan meludahlah ke kiri tiga kali.”
Kata Utsman: Aku-pun melakukannya, kemudian Allah menghilangkan gangguan itu dariku. (HR. Muslim no. 2203)

Pelajaran hadis:
1. Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita dua cara untuk menghilangkan gangguan setan dalam shalat:

a. Memohon perlindungan kepada Allah, dengan membaca ta’awudz (a-’udzu billahi minas syaithanir rajiim). Bacaan ini dilafadzkan, bukan dibatin. Dan ini hukumnya dibolehkan dan tidak membatalkan shalat
b. Meludah ringan ke kiri, bentuknya dengan meniupkan udara yang mengandung sedikit air ludah. Ini dibolehkan, dengan syarat tidak mengganggu orang yang berada di sebelah kirinya dan tidak mengotori masjid.
Allahu a’lam

2. Ketika sedang melaksanakan shalat witir, tiba-tiba di tengah shalat mendengarkan adzan subuh. Bolehkah kita melanjutkan shalat witir?

Jawab:
Ketika seseorang mendengar adzan subuh, sementara dia sedang shalat witir maka dia sempurnakan shalat witirnya dan semacam ini dibolehkan. (Fatawa Islamiyah Syaikh Ibn Utsaimin, 1:346)
Permasalahan semacam ini, sebenarnya termasuk dalam pembahasan waktu shalat witir. Ulama berselisih pendapat, apakah berakhirnya waktu shalat witir itu sampai terbit fajar ataukah sampai selesainya shalat subuh. Mayoritas ulama berpendapat, waktu berakhirnya shalat witir adalah sampai terbit fajar. Meskipun, banyak ulama lainnya yang membolehkan shalat witir setelah adzan subuh, bagi yang berhalangan, sehingga tidak bisa melaksanakannya sebelum subuh. (Mausu’ah Fiqhiyah Muyassarah)

3. Ketika seseorang belum sempat melaksanakan shalat asar karena alasan yang dibenarkan, kemudian di datang ke masjid, dan ternyata shalat maghrib telah dimulai, apa yang harus dilakukan?

Jawab:
Syaikhul Islam Ibn Taimiyah -rahimahullah- mengatakan:
Dia disyariatkan untuk melaksanakan shalat maghrib berjamaah bersama imam, kemudian shalat asar. Ini berdasarkan kesepakatan ulama. Apakah orang ini harus mengulangi shalat maghribnya, setelah mengerjakan shalat asar? Dalam hal ini ada dua pendapat:
a. Dia harus mengulangi maghribnya. Ini adalah pendapat Ibn Umar, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad.
b. Tidak perlu mengulangi maghribnya. Ini adalah pendapat Ibn Abbas, Imam Syafi’i, dan pendapat kedua Imam Ahmad.
Pendapat kedua lebih kuat. Karena Allah tidak-lah mewajibkan seorang hamba untuk melaksanakan shalat wajib dua kali, jika sikapnya ini disebabkan adanya udzur diperbolehkan. (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, 22:106)

4. Ketika seorang musafir hendak mengikuti shalat jamaah, sementara dia tidak tahu apakah imamnya itu musafir ataukah penduduk asli. Kemudian si musafir ini mengikuti shalat jamaah menjadi makmum, apakah dia niatkan untuk qashar ataukah niat sebagaimana shalatnya orang mukim, empat rakaat?

Jawab:
Yang lebih kuat, hendaknya dia melihat ciri imamnya, sehingga bisa memperkirakan apakah dia musafir ataukah mukim. Kemudian dia mengambil sikap sebagaimana dugaan kuat yang dia ketahui. Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibn Abbas, bahwa beliau ditanya: Mengapa musafir shalatnya diqashar ketika sendirian dan empat rakaat ketika menjadi makmum orang yang mukim? Beliau menjawab: “Itu adalah sunnah Abul Qasim (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam).” Hadis ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam ta’liq beliau untuk musnad Imam Ahmad.

Catatan:
Seorang musafir menjadi makmum masbuk, ketinggalan 2 rakaat, dan dia berniat qashar, karena beranggapan imamnya seorang musafir, padahal imamnya bukan musafir. Setelah salam bersama imam, dia mendapat info bahwa imam bukan musafir, maka dia harus menambahi dua rakaat lagi untuk menyempurnakan shalatnya dan sujud sahwi setelah salam. Demikian keterangan Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’, 4:356. Syaikh Muhammad al-Munajid menambahkan: Pembicaraan yang dilakukan orang ini di sela-sela shalatnya (setelah salam di rakaat kedua), tidaklah menyebabkan shalatnya putus. Namun dia dibolehkan melanjutkan dan menyempurnakan shalatnya, tanpa harus memulai dari awal. Selama pembicaraan itu bertujuan untuk kepentingan shalatnya.

5. Ketika di tengah shalat, tiba-tiba ada orang yang mengetuk pintu. Atau ada seorang ibu yang shalat, sementara bayinya melakukan tindakan yang berbahaya, apa yang harus dilakukan?

Jawab:
Dibolehkan bagi orang yang shalat untuk melakukan gerakan ringan, karena suatu kebutuhan yang mendesak, dengan syarat, tidak mengubah arah kiblatnya. Seperti membukakan pintu yang berada di arah kiblat.
Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan Abu Daud, dari A’isyah radliallahu ‘anha, beliau mengatakan:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat, sementara pintu rumah terkunci. Kemudian saya datang, dan saya minta agar dibukakan. Beliau-pun berjalan dan membukakan pintu, lalu beliau kembali lagi ke tempat shalatnya. Disebutkan bahwa pintu rumah beliau berada di arah kiblat. (HR. Abu Daud no. 922 dan dishahihkan al-Albani)

Demikian pula seorang ibu yang sedang shalat, dan dia melihat anaknya melakukan hal yang membahayakan, maka dia dibolehkan untuk melakukan gerakan ringan ke kanan, ke kiri, ke depan, atau belakang. Dan ini tidak merusak shalatnya. Termasuk dalam hal ini adalah orang yang shalat, tiba-tiba sarungnya mau lepas, maka dia dibolehkan untuk melakukan gerakan dalam rangka mengencangkan sarungnya. Bahkan, dalam kondisi tertentu yang sangat mendesak, syariat membolehkan melakukan gerakan yang banyak, meskipun menyebabkan kiblatnya berubah.

 Sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bunuhlah dua hewan yang hitam (meskipun) ketika sedang shalat, yaitu ular dan kalajegking.” (HR. Abu Daud no. 921 dan dishahihkan al-Albani)

6. Bagaimana cara menjawab salam ketika shalat?

Jawab:
Dari Shuhaib bin Sinan radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan: “Saya melewati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sedang shalat. Kemudian saya mengucapkan salam kepada beliau dan beliau menjawabnya dengan isyarat.” (HR. Abu Daud no. 925 dan dishahihkan al-Albani)
Bagaimana cara isyaratnya?

Disebutkan dalam beberapa riwayat, diantaranya dari Ibn Umar radliallahu ‘anhuma beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berangkat menuju masjid Quba untuk melaksanakan shalat. Kemudian datanglah sekelompok masyarakat anshar dan mengucapkan salam kepada beliau, ketika beliau sedang shalat. Ibn Umar bertanya kepada Bilal, “Bagaimana yang kamu lihat ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab orang anshar yang menngucapkan salam kepada beliau, sementara beliau sedang shalat?” Bilal menjawab: “Beliau berisyarat seperti ini.” Bilal membuka telapak tangannya. Salah seorang perawi yang bernama Ja’far bin ‘Aun membuka telapak tangannya, dimana bagian telapak tangan mengarah ke bawah dan bagaian punggung mengarah ke atas. (HR. Abu Daud no. 927 dan dishahihkan al-Albani)

7. Jika ada orang yang berhadats ketika shalat jamaah, apa yang harus dia lakukan untuk bisa meninggalkan tempat, tanpa menimbulkan rasa malu?

Jawab:
Hendaknya dia pegang hidungnya, kemudian keluar. Dalil tentang hal ini adalah hadis dari A’isyah, bahwa

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا أَحْدَثَ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلْيَأْخُذْ بِأَنْفِهِ ثُمَّ لِيَنْصَرِفْ

“Apabila kalian berhadats ketika shalat jamaah maka hendaknya dia pegang hidungnya kemudian dia meninggalkan tempat.” (HR. Abu Daud no. 1114 dan dishahihkan al-Albani)
Imam at-Thibi mengatakan: Adanya perintah memegang hidung ketika batal shalatnya, agar dikira dia mimisan. Dan ini tidak termasuk berbohong, namun sebatas menutupi keadaan dengan perbuatan. Tindakan semacam ini mendapatkan keringanan agar setan tidak menggodanya untuk tidak melaksanakan jamaah karena malu dengan jamaah lainya. (Lih. Mirqatul Mafatih, 3: 18)

Syaikh Muhammad Munajid memberikan komentar:
Semacam ini termasuk tauriyah yang dibolehkan dan tindakan menutupi diri dengan bentuk yang terpuji, dalam rangka menghilangkan ras malu. Sehingga orang yang melihatnya menyangka kalau dia keluar disebabkan mimisan di hidungnya. Disamping itu, manfaat lain dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini adalah untuk menghilangkan godaan setan, dengan tetap berada di shaf atau melanjutkan jamaah sementara dia berhadats. Ini merupakan tindakan yang tidak Allah ridhai. Betapa tidak, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk pergi.

8. Seseorang telah melaksanakan shalat di suatu masjid, kemudian dia berangkat menuju masjid yang lain untuk acara kegiatan tertentu, seperti kajian atau yang lainnya. Sesampainya di masjid kedua, ternyata shalat belum selesai. Apa yang harus dia lakukan?

Jawab:
Hendaknya dia masuk masjid dan langsung ikut shalat berjamaah, dan dia niatkan sebagai shalat sunnah. Shalat ini boleh dilakukan, meskipun dilakukan di waktu-waktu yang terlarang untuk shalat. Dalilnya adalah hadis dari Yazid bin Aswad radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
Saya ikut haji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau shalat subuh bersama beliau di masjid khaif. Setelah selesai shalat, beliau berbalik. Tiba-tiba ada dua orang duduk di belakang yang tidak ikut shalat bersama beliau. Beliau bersabda: “Suruh dua orang itu ke sini.” Keduanya-pun disuruh menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara badannya gemetaran (karena takut). Beliau bertanya: “Apa yang menghalangimu sehingga tidak shalat jamaah bersama kami?” Mereka menjawab: Wahai Rasulullah, kami tadi sudah shalat di jalan. Kemudian beliau bersabda: “Jangan kamu lakukan itu, jika kalian telah shalat di jalan, kemudian kalian singgah di masjid yang sedang dilaksanakan jamaah, ikutlah shalat bersama mereka. Sesungguhnya shalat yang kedua ini menjadi shalat sunnah bagi kalian.” (HR. Turmudzi no. 219 dan dishahihkan al-Albani)

Syaikh Muhammad Munajid mengatakan:
Dalam hadis di atas disebutkan bahwa kedua orang tersebut datang ke masjid setelah melaksanakan shalat subuh. Dan ini termasuk waktu terlarang. Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwatha’, dari Mihjan radliallahu ‘anhu, bahwa beliau berada di majlis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba adzan dikumandangkan. Rasulullah-pun melaksanakan shalat bersama jamaah. Sementara Mihjan tetap berada di tempat duduknya dan tidak ikut shalat berjamaah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Apa yang menghalangimu untuk ikut shalat jamaah, bukankah kamu seorang muslim?” Mihjan menjawab: “Betul, wahai Rasulullah, akan tetapi saya sudah shalat di rumahku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika kamu datang (di masjid), shalatlah berjamaah bersama masyarakat. Meskipun kamu sudah shalat.” (al-Muwatha’, 1:130 dan dishahihkan al-Albani).

Sumber : Muslimah.Or.Id
Shoffiyah Az Zahra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar